Dr. BRM Kusumo Putro, Usulkan Gelar Pahlawan Nasional Untuk PB XII dan Mangkunegara VIII
Nusantarapedia.net | SOLO — Ketua Umum Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM) Dr. BRM Kusumo Putro, S.H., M.H, mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Pakubuwana (PB) XII dan Mangkunegara (MN) VIII.
Diketahui, keduanya adalah Raja Kasunanan Surakarta dan Adipati Mangkunegara, yang mana memiliki andil besar turut mewujudkan berdirinya Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara utuh.
Menurut Ketua DPPSBI (Dewan Pemerhati Penyelamat Seni Budaya Indonesia), Dr. BRM Kusumo Putro, S.H., M.H, usulan tersebut tak lepas dari peran PB XII dan Mangkunegara VIII.
“Beliau, dengan penuh kerelaanya menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara penuh,” kata Kusumo, Kamis (20/06/2024) ketika dikonfirmasi media ini.
Lanjut Kusumo memaparkan, dinyatakan dalam maklumat PB XII, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam daerah Negeri Surakarta Hadiningrat terletak di tangan Susuhunan Surakarta Hadiningrat dengan keadaan dewasa ini, maka kekuasaan yang sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinya kembali ke tangan kami.
Begitupun berhubungan antara Negeri Surakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
“Kami memerintahkan dan percaya kepada seluruh penduduk Negeri Surakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap sesuai dengan sabda kami tersebut di atas,” tulis PB XII dalam maklumatnya.
Sementara itu dalam maklumat MN VIII, menyampaikan atas nama rakyat dan keluarga Mangkunegaran.
Bahwa semua urusan pemerintahan dalem Kerajaan Mangkunegaran, kini ditetapkan dan dipimpin oleh Pemerintah Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
“Bahwa perhubungan Pemerintah Mangkunegaran dengan Pemerintah Republik Indonesia bersifat langsung,” bagian isi maklumat MN VIII.
“Maklumat yang disampaikan PB XII dan MN VIII memperjelas peran mereka berdua yang penuh dengan kerelaan berada di belakang Pemerintah Republik Indonesia, atau dapat ditafsirkan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia,” kata Kusuma menafsirkan.
Dr. Kusumo, yang juga bakal calon wali kota Solo dari Partai PDI-P ini, setelah memaparkan isi maklumat dilanjutkan dengan memberikan konteks. Ia menilai, menilik dari sejarah perjuangan para penerus Dinasti Mataram di masa perang penjajahan Belanda, tak sedikit keluarga kerajaan dan rakyat Mataram terbunuh akibat menentang penjajahan.
“Sebagai pusat pemerintahan suatu negara kerajaan yang berdaulat, kebijakan politik raja tentu mempertimbangkan berbagai aspek sosial, politik dan ekonomi. Apalagi hubungan antara pemerintah kolonial dengan kerajaan kala itu bersifat hubungan dagang, sehingga mereka diterima dengan baik,” terang budayawan asal Kota Solo ini.
Lanjutnya, “Hanya saja seiring dengan perkembangan jaman dan semakin luasnya kaum penjajah mencengkeramkan kukunya di Nusantara, kebijakan kekuasaan kerajaan berdaulat yang semula ditentukan sendiri, lambat laun disetir oleh kaum pendatang.”
Ketua FBM ini juga menguraikan dari aspek sejarah kolonial kala bercokol di Nusantara dalam hubungannya dengan kekuasaan kerajaan.
“Mereka tak hanya memonopoli perdagangan, namun juga menyandera kebijakan dan kebebasan rakyat. Sedangkan (keraton) Mataram sebagai pemilik kekuasan terbesar di pulau Jawa, rupanya tak mampu berbuat banyak. Mereka termakan monopoli ekonomi dan kebijakan politik yang diterapkan oleh Belanda melalui siasat adu domba,” urai Kusuma.
“Oleh sebab itu di dalam lingkungan istana sendiri, akhirnya banyak yang melakukan gerakan menentang penjajahan, namun dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak merugikan kerajaan dan rakyat. Mereka yang berjuang terang-terangan harus berada di luar tembok istana agar tidak menyeret konflik peperangan ke dalam istana,” lanjut Kusumo.
Masih Kusumo menceritakan, sebagai bangsa pejuang yang secara turun temurun mewarisi sejarah besar peradaban Nusantara, Raja-raja Mataram tidak hanya berkorban dan berjuang membela kepentingan rakyat. Baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi.
“Bahkan pengorbanan yang begitu besar dicontohkan oleh Paku Buwono VI, yang harus rela dibuang ke Ambon bersama dengan Pangeran Diponegara di Ujung Pandang (Makassar) akibat menentang kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda,” tutur Kusumo.
Menurutnya, perjuangan Raja-raja Kasunanan menentang penjajahan tidak hanya berhenti sampai pada PB VI saja, para penerusnya juga melakukan hal yang sama meski cara dan strategi yang diterapkan berbeda beda.
“Sebagai kerajaan yang memiliki kedaulatan penuh, Belanda sadar betul, jika kerajaan Mataram memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng. Bila seluruh kekuatan yang ada di istana bergabung dengan para pejuang yang ada di luar, Belanda tentu akan kewalahan dan berakhir dengan kekalahan. Untuk menyiasati hal tersebut, maka diterapkanlah politik devide et impera atau politik adu domba di lingkungan istana Mataram,” urai Kusumo.
“Kelompok-kelompok penentang Belanda yang ada di dalam istana dipecah belah melalui framing politik dan pembunuhan karakter. Imbasnya kerajaan Mataram akhirnya mulai berseteru sendiri dan terpecah belah,” imbuhnya memberikan penilaian.
Lanjut Kusuma sembari menyesalkan, “Tanpa kita sadari framing yang dibuat oleh Belanda sampai saat ini masih melekat sebagai maindset masyarakat. Mereka beranggapan bahwa Kasunanan bersahabat dengan Belanda. Padahal jika melihat sejarah masuknya kolonial di Nusantara, justru yang paling besar jasanya menentang penjajahan adalah Raja-raja Mataram.”
“Sultan agung berkali-kali menggempur markas Belanda di Batavia, Pangeran Purubaya yang dikenal sebagai Banteng Mataram juga bertempur melawan Belanda. Raden Mas Said, Pangeran Diponegoro, Sinuhun PB VI, Sinuhun PB X hinga berlanjut ke PB XII dan MN VIII yang juga turut berjuang di awal-awal jelang kemerdekaan bangsa Indonesia,” tegas Kusumo mencontohkan.
Bakal calon wakil wali kota Solo ini memberikan kesimpulan akan dampak kolonialisme yang merugikan bangsa, baik dari aspek mental hingga material, hingga menjadikan perubahan tatanan sosial (kutural).
“Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda melalui korporasi perusahaan dagang VOC merupakan kejahatan biadab. Sebab penjajahan tersebut tidak hanya mengekang kebebasan rakyat, merampok sumber daya alam, sosial dan politik, akan tetapi juga melakukan pembodohan maindset rakyat Indonesia,” tegasnya menyesalkan.
Oleh karena itu, mengingat jasa Raja-raja Mataram yang begitu besar, hemat Kusuma, maka sudah sepantasnya kedua tokoh tersebut diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional.
“Dengan harapan pengorbanan mereka yang begitu besar terhadap bangsa dan negara dihargai, serta dapat menjadi suri tauladan bagi para generasi muda. Sebagai masyarakat yang diajarkan nilai-nilai luhur budi pekerti ‘mikul duwur mendhem jero’, tentu filosofi makna tersebut mengajarkan pada kita, agar generasi muda menatap masa depan dengan mencontoh suri teladan yang baik dari para leluhur. Hal yang kurang baik ditinggalkan, dikubur dalam-dalam, agar generasi berikutnya hanya meniru dan mencontoh kesuritauladanan yang ditinggalkan,” ujar putra asli Surakarta ini penuh harap.
“Jadikan peristiwa kelam bagian dari sisi sejarah yang tak disertakan dalam roda kehidupan, agar langkah menapaki masa depan bangsa berjalan penuh semangat dan optimisme,” tukas Ketua Umum FBM dalam alasan dan uraian usulan mengajukan PB XII dan MN VIII sebagai Pahlawan Nasional.
Di akhir keterangannya, Kusumo mewanti-wanti, khususnya kepada generasi muda, bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa-jasa dan perjuangan para pahlawannya.” (Inh)
Pengukuhan Nasi Liwet sebagai Ikon Kota Solo Berlangsung Sukses dan Meriah
Nasi Liwet, Kuliner Legend Siap Jadi Ikon Kota Solo
Pameran Keris “Peradaban Nusantara”, Warisan Budaya Tak Benda Dunia Digelar