Dua Guru dari Blora
Nusantarapedia.net | SOSBUD — Dua Guru dari Blora
Oleh : Alvian Fachrurrozi
– surplus keterpelajaran atau intelektualitas itu harus mengejawantah, berguna, dan berpihak pada masyarakat, terlebih-lebih masyarakat kelas bawah yang tertindas secara sistemik, tidak bisa modal intelektual itu hanya menjadi sekadar “klangenan pribadi” sebagaimana para liberalis atau neo-priyayi yang menggunakan intelektualitas semata dalam diskusi-diskusi yang eksklusif elitis di menara gading, dan tidak memiliki jejak-jejak kebermanfaatan yang nyata pada masyarakat secara luas –
“Meski Bhante Pannavaro sendiri selama ini tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ada jalan lain selain agama Buddha untuk menuju Nibbana, tetapi dari bahasa wejangan-wejangan ceramahnya sudah terasa sekali muatan spirit universalnya itu, wejangan-wejangan dhammanya soal keheningan dan welas asih, saya yakin akan mudah diterima siapa saja pendengarnya meski dari lintas agama dan lintas keyakinan. Karena sekali lagi, universal dan beyond religion.”
BLORA-Jawa Tengah, salah satu daerah basis kaum abangan di seberang utara benteng Van den Bosch Ngawi itu, memiliki kesan tersendiri bagi saya, bukan semata waktu bersekolah di SMK Muhammadiyah 1 Ngawi banyak sekali teman saya yang berasal dari daerah itu, bukan pula karena secara historis Blora banyak melahirkan para revolusioner para pemberani, sebut saja Samin Surosentiko, Tirtho Adhi Suryo, Mas Marco Kartodikromo, Pramoedya Ananta Toer, Mbah Suro Nginggil, dan ada juga nama-nama para pemberontak pemberani yang sayangnya picik sektarian dalam visi perjuangannya, seperti Kartosuwiryo penggagas DI/TII dan pendahulunya Arya Penangsang yang ingin memaksakan pola Islam puritan di tanah Jawa di masa akhir kerajaan Demak Bintara.
Dengan bekal kegemaran membaca sejarah, menekuri beberapa nama tokoh yang saya sebutkan itu, dan beberapa kali blusukan ke jalan-jalan hutan untuk bermain ke tempat teman saya, tentu saja saya sudah merasa memiliki persentuhan batin dengan daerah yang masih sangat luas rimba hutan jatinya itu. Tetapi sebenarnya “perasaan” persentuhan batin saya yang lebih “mendalam” dengan Blora bukan karena hal-hal itu, melainkan karena di sanalah titik tempat lahir dua guru yang sangat berpengaruh dalam world view intelektual dan worldview spiritual saya, tanpa persentuhan dengan dua guru itu, mungkin saya tidak akan menjadi saya versi yang sekarang, mungkin saya akan menjadi versi pribadi yang sangat lain. Dua guru dari tanah Blora yang sangat berpengaruh dalam hidup saya itu adalah sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer yang mulai saya akrabi tulisan-tulisannya di semester-semester akhir waktu kuliah, dan satunya lagi adalah sesepuh sekaligus ketua STI (Sangha Theravada Indonesia) Bhante Sri Pannavaro Mahathera yang mulai saya akrabi wejangan-wejangan ceramah dhammanya di akhir kelas 3 SMK.
Jika Pramoedya sangat berjasa dalam mengukir corak dunia intelektual saya, maka Bhante Pannavaro sangat berjasa dalam melukis kanvas dunia batin saya. Tanpa “persentuhan sintetis” dari beliau berdua, mungkin saya tidak akan menjadi pribadi yang utuh, bisa saja terjebak menjadi manusia yang berapi-api secara intelektual tetapi tidak mengenal semilir angin sejuk dari dunia rohani, atau bisa saja saya menjadi pribadi yang hanya berumah di atas angin spiritualitas tetapi lumpuh dan tidak bisa menjejak ke dalam bumi realitas.