Dua Pisang, Uang, dan Topeng
Sebagian orang samar-samar menyadari, karena topeng itulah sebenarnya yang membuat dirinya tampak sangat hebat. Tanpa topeng tak bakal sanggup menutupi kemunafikan, dan tentu itu akan menjadi aib yang menghancurkan.
Nusantarapedia.net | HUMANITY — Dua Pisang, Uang, dan Topeng
Oleh : Hasan Hasir
“Di antara kesemuan itu ada satu tujuan yang ingin dicapai dan tak pernah berubah sejak sepanjang peradaban, yaitu ingin dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Walau nantinya hanya harus berakhir dengan dua potong pisang.”
PANTOMIN, badut, penari wayang, dan topeng monyet. Mereka selalu memainkan lakonnya selaras dengan ekspresi dari topeng yang dikenakan. Di antara deretan pemain topeng itu, yang terakhir paling menghibur. Pertunjukan topeng monyet selalu saja berhasil mengocok perut siapa saja yang kebetulan menonton pertunjukan atraksinya.
“Topeng monyet,” bukanlah topeng menyerupai monyet. Permainan topeng ini benar-benar dilakukan oleh seekor monyet sungguhan. Julukan topeng monyet sendiri juga tidak lahir dari dunia ceritera, seperti halnya, lutung kasarung, sun gukong, dan hanoman. Topeng monyet adalah makhluk yang lahir dari masyarakat pinggiran yang butuh hiburan murah.
Alat-alat yang mengiringi atraksi topeng monyet sangatlah sederhana, beberapa berupa perabot dapur dan mainan bekas. Kendati begitu pertunjukan ini selalu saja bisa mengusir galau para penontonnya. Saat menyuguhkan hiburan, topeng monyet mengangkat isu-isu sosial yang sama sederhana dengan alat diperagakannya.
Aksi selalu saja diakhiri dengan ritual saweran. Meski sebenarnya ia tak menginginkan uangnya, tapi ia masih saja melakukan hal sama setiap kesempatan, menjimpit duit dari setiap orang yang datang mengintipnya. Konon katanya uang-uang itu sengaja dibiarkan mengendap di kantong tuannya, dengan harapan menerima imbalan dua buah pisang.
Bagi primata lain, dua buah pisang mungkin saja jatah yang kurang. Berbeda topeng monyet, dua buah pisang memang bukan untuk mengenyangkan perutnya. Melainkan ia ingin membuktikan bisa menjadi warga negara baik, yang manut apa kata petinggi.
Topeng monyet, seserius apa pun lagak dan gayanya kala beratraksi, mulai dari cara berjalan, memonyongkan mulut, dan membuka mata lebar-lebar. Orang-orang yang melihatnya masih saja beranggapan itu hanyalah akal-akalannya supaya tampak serius dan ingin dianggap sebagai sosok penting di tengah kerumunan sosial yang riuh lantaran beberapa kebutuhan tetiba harganya menggila dan sebagian lain lenyap dari pasaran.
Penonton yang mengitari membentuk gelanggang. Tak pernah menaksir kelakuan aksi topeng monyet adalah sifat asli si monyet. Di antara desakan tetabuhan yang menggema di ruang udara. Monyet dan penonton sama-sama tak pernah berniat untuk serius melihat kenyataan di hadapannya adalah realita yang sebenarnya. Bagi mereka yang ada hanyalah arena hiburan semat.