Dunia Batin Manusia Jawa
Nusantarapedia.net | RELIGI — Dunia Batin Manusia Jawa
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Sedang sekarang jika ada yang bertanya, seperti apakah itu intisari dari ajaran leluhur Jawa yang sedang ingin kukiblati itu? Maka jawabanku: itu tidak lain adalah soal “cerdas rasa”, itulah puncak dari kebudayaan, intelektualitas, dan spiritualitas manusia Jawa. Boleh saja orang memiliki darah suku Jawa, tetapi jika ia belum menggapai “kecerdasan rasa”, sesungghunya secara de facto dia belumlah menjadi manusia Jawa”
“Maka secerdas-cerdasnya tingkat intelektual atau IQ seorang manusia Jawa, jika ia memang menghayati ngelmu Jawa dari leluhurnya, sudah pasti ia tidak akan meninggalkan karakter rasa pangrasa (ketajaman perasaan), isa rumangsa (tahu diri), dan rasa mulat sarira (instropeksi diri)”
LEBIH wening (hening) dan lebih menep (mengendap) adalah laku yang sedang kucercapi saat ini. Baik itu mengenai beragam pengetahuan dan pengalaman hidup, semua akan lebih kuendapkan dan lebih kuheningkan kembali. Karena kini semakin kusadari, beragam sikap yang dulu telah kuanggap sudah begitu bijak di masa lalu, ternyata seiring pertumbuhan kesadaran tidak lagi terlihat bijak, bahkan juga tidak mencerminkan keterpelajaran dalam menempa “kecerdasan rasa”. Jujur sesunggunnya dari situ, diri ini merasa malu telah jauh dari jati diri mental kepribadian yang telah diajarkan oleh para leluhur Jawa.
Maka kini sudah saatnya aku berpulang ke rumah kearifan leluhurku, ke dunia batin manusia-manusia yang kental dalam pendidikan olah rasa, manusia-manusia yang karena olah laku spiritualitasnya memiliki kuda-kuda mental setenang dan sekokoh gunung, manusia-manusia pertapa yang ahli dalam “meredam” segala gejolak gemuruh emosi. Langgam psikis mereka tidak nggumunan dan kagetan. Mereka manusia-manusia yang sudah mencapai tingkatan spiritual dan intelektual yang tidak lagi “menyalak” dan apalagi “menggertak” orang lain.
Jika sebelumnya langgam manusia-manusia Jawa yang ganas dan tajam, baik dalam kata-kata, tulisan, dan perbuatannya, seperti Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, dan Pramoedya Ananta Toer, itu yang semata kukagumi dan kuadopsi dalam karakter mental kepribadianku, akan tetapi kini akan mulai kusintesiskan dengan karakter kepribadian yang lebih meneb dan wening, sebagaimana yang dimiliki oleh para leluhur Jawa yang getol dalam menggladi batin dan mengolah rasa.
Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, dan Pramoedya Ananta Toer, meski mereka semua itu tetaplah guru-guru terbaik yang berpengaruh dalam alam pemikiran intelektualku, tetapi sepemahamanku ajaran-ajaran mereka pun juga tidak menyurung orang untuk membebek pula pada langgam pola pikir dan gaya hidup mereka. Kukuh pada jalan hidup yang diyakini, itulah intisari ajaran 3 manusia Jawa revolusioner itu. Oleh karena itupun aku juga tidak ingin membebek, akan kuteruskan dengan pola langgamku sendiri perjalanan intelektualitas dan petualangan pemikiranku.