Editor Bagai Matador
”Yang penting, editor sungguh-sungguh itu harus seperti pemain matador. Banteng buas ibarat naskah mentah. Hanya pemain matador tangguh yang mampu menaklukkan banteng buas itu,”
Nusantarapedia.net, Gerai | Resensi — Editor Bagai Matador
DALAM jagat penerbitan buku, peran penyunting (editor bahasa) tidak dapat disepelekan keberadaannya. Hanya acap kali jagat penerbitan kesulitan merekrut penyunting bahasa yang andal. Kok bisa begitu, ya? Jawabannya adalah, mungkin, karena minimnya orang yang berkualifikasi sebagai editor bahasa. Alasan lain adalah kurang diketahuinya profesi penyunting bahasa sebagai profesi yang amat diperlukan dalam jagat industri perbukuan—terlebih lagi dalam kemajuan ilmu dan teknologi saat ini. Hal ini kerap menimbulkan keprihatinan. Padahal, jumlah penerbit buku di Jawa Barat saja lebih dari 100 anggota Ikapi.
Dalam perekrutan calon penyunting bahasa, kerap dijumpai kendala rendahnya kualifikasi para calon. Kendatipun dahulu ada D-3 Editing/Penyuntingan, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Padjadjaran, mereka yang lulus dari program studi ini dianggap kurang berkualifikasi, seperti diharapkan oleh tuntutan para penerbit. Tambah lagi keprihatinan itu, para calon penyunting berpendidikan S-1 pun belum memiliki pengalaman memadai untuk menyunting naskah. Berdasar pada kenyataan ini, menyeruak pertanyaan. Ada apakah dengan rendahnya kualifikasi calon penyunting bahasa? Adakah kurikulum program studi bahasa di perguruan tinggi mencantumkan matakuliah Penyuntingan?
Andai diselisik pada beberapa perguruan tinggi, kurikulum itu rupa-rupanya ada. Hanya, mengapa keterampilan sarjana muda dan sarjana strata salah satu program studi itu tidak sesuai dengan tuntutan pasar kerja? Mungkin ada hal yang kurang sehingga terjadi keprihatinan ini. Dari sekian banyak faktor, ada satu yang luput dari amatan, yakni minimnya buku rujukan penyuntingan bahasa. Bahkan, buku praktis tentangnya pun langka. Terlebih lagi, buku perihal penyunting bahasa yang memuat contoh, proses, dan keterangan suntingan sama sekali langka.
Penulis buku ini, Eli Syarifah Aeni adalah salah satu lulusan Prodi Editing, FIB Unpad, yang istikamah menjalankan profesi editor. Dia hendak melanjutkan berbagai upaya pengadaan rujukan untuk para calon editor, seperti yang pernah dilakukan oleh: Hasan Pambudi (Dasar dan Teknik Penerbitan Buku, 1981), Adjat Sakri (Petunjuk bagi Pengarang, Penyunting, dan Korektor, 1984), Judith Butcher (Naskah Ketikan, Cetak Coba, dan Indeks, 1986), Judith Butcher (Penyuntingan Naskah: Buku Pegangan Cambridge, 1988), Stanley Unwin (Mengenal Dunia Penerbitan, 1988) Arjatmo Tjokronegoro, dkk. (Peranan Editor dalam Penerbitan Buku dan Majalah Ilmiah, 1989), Datus C. Smith Jr. (Penuntun Penerbitan Buku, 1992), Sofia Mansoor (Pengantar Penerbitan, 1993), H.G. Adriese C.S. (Pengelolaan Penerbitan Buku I dari Naskah Menjadi Buku, 1993), Pamusuk Eneste (Buku Pintar Penyuntingan, 1995), Frans M. Parera/Tim Grasindo (Buku Pintar Penerbitan Buku, 1995), Mien A. Rifai (Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia, 1995), Frans M. Parera (Editologi dalam Media Cetak di Indonesia, Kurun Waktu 1960-2001, 1995), Bambang Trim (Taktis Menyunting Buku, 2009), Frans M. Parera, dkk., (Penyuntingan, 2002), Sugihastuti (Editor Bahasa, 2006), Iyan Wb. (Anatomi Buku, 2007), Dadi Pakar (Bagaimana dan Mengapa Penerbitan Buku: Pengantar Ihwal Penerbitan, 2005), dan R. Kunjana Rahardi (Dasar-Dasar Penyuntingan Bahasa Media, 2010).
Buku Editlingustik, Mahir Menyunting Naskah ini terdiri atas 14 pembahasan, yakni sejarah huruf, sejarah perbukuan dan penyuntingan, profesi editor, tugas penyunting naskah dalam aspek kebahasaan, editor dan keajaiban kata, aspek-aspek editing naskah, anatomi buku, tugas dan tanggung jawab editor, perbedaan yang sering diartikan salah, hak cipta dan hak terbit, peran editor dan bahasa Indonesia, perbaikan aspek-aspek kebahasaan, cerdas memilih kata, serta bahasa baku.
Penulis buku ini menjuduli karyanya ini dengan Editlingustik, Mahir Menyunting Naskah. Judul buku ini membatasi pembahasannya hanya pada ihwal penyuntingan naskah di dalam proses penerbitan buku. Di dalamnya, Eli Syarifah Aeni praktis telah menginventarisasi semua jenis pekerjan seorang penyunting naskah. Setelah menunjukkan berbagai syarat menjadi penyunting, penulis mengulas hal penting pada tahap pra-penyuntingan naskah dan pasca-penyuntingan. Lalu, pula secara ringkas penulis memperlihatkan bermacam naskah yang mau tidak mau mempengaruhi cara penanganannya.
Sejak semula buku ini melulu hanya berurusan dengan soal penyuntingan naskah. Oleh karena itu, pembicaraannya cenderung bersifat teknis dan tidak menyentuh beberapa persoalan lain yang sebenarnya juga penting dalam jagat sunting-menyunting ini. Hanya sayang, buku ini tampak masih baru pada tahap mencoba memetakan dunia penyuntingan naskah dalam garis besar. Sebagai semacam vademekum untuk memasuki jagat penanganan naskah, pembahasan yang meluas walaupun kurang tuntas, seperti yang disajikan buku ini mungkin bukan tidak ada gunanya.
Pembahasannya saya katakan meluas sebab nyaris tidak ada sisi jagat penyuntingan yang tidak disinggung di dalam buku—yang tujuannya memasyarakatkan editologi atau ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk penyuntingan (Editologi dalam Media Cetak di Indonesia, Kurun Waktu 1960—2001, Frans M. Parera, Poltek UI dan Pusgrafin, 2006). Mulai saat materinya masih berupa naskah sampai segera setelah naskah dicetak dan siap dipasarkan. Saya katakan kurang tuntas sebab di beberapa bagian kurang tuntas pembicaraannya memang memberikan kesan sambil lalu, seperti pembicaraan mengenai ”Sejarah Perbukuan dan Penyuntingan” (hlm. 6). Padahal, merujuk pada ”Syair Jalanan Kreta Api” karya Tan Teng Kie (dalam Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebudayaan Indonesia-Jilid 1, Gramedia, 2000), kata editor sudah digunakan sejak 1890. ”Jika sudah buku terkarang/Oleh editor dipereksa terang/Serta ditambah apa yang kurang/Supaya pantes dibaca orang …”
Selain itu, pada subbab ”Keterbacaan” (hlm. 54) bahasannya hanya pada tugas seorang pengatak (layouter) setelah menerima naskah suntingan pertama. Padahal, satu bagian aspek penyuntingan ini bukan hanya perwajahan bahasa naskah, melainkan sejauh mana penyunting membantu penulis agar naskah itu benar-benar dipahami pembaca. Keterbacaan ini dipengaruhi oleh ketepatan kaidah, struktur bahasa, diksi, dan gaya bahasa yang digunakan. Dalam konteks ini, editor dan penulis bersama-sama mengukur terlebih dahulu tingkat keterbacaan isi teks sebelum naik cetak. Untuk buku pelajaran, ada formula keterbacaan, seperti New Dale, Flesch Grade Level, Spache, Fog Index, Poers-Sumner-Kearl, SMOG, dan Forecast. Formula ini bagus diketahui editor dan penulis sebab menekankan pada tingkat keterbacaan yang fokusnya pada jumlah suku kata, jumlah kata, dan panjang kalimat.
Pada akhirnya harus diakui bahwa buku ini toh ada gunanya, terutama karena cakupannya yang cukup komprehensif seputar jagat sunting-menyunting walaupun tentu dengan beberapa catatan yang harus ditambahkan. Akan tetapi, mudahan-mudahan juga tidak dilupakan bahwa buku ini sedari mula hanya membicarakan penyuntingan naskah. Jadi, dapat dipahami kalau persoalan seperti kriteria layak terbit, komputerisasi di dunia penerbitan, atau batas-batas otoritas seorang penyunting naskah tidak tampak di dalamnya kendatipun sebenarnya tidak begitu penting dewasa ini. ”Yang penting, editor sungguh-sungguh itu harus seperti pemain matador. Banteng buas ibarat naskah mentah. Hanya pemain matador tangguh yang mampu menaklukkan banteng buas itu,” tulis novelis Ernest Hemingway.
Dari kekuatan buku ini, tampak pula sedikit kelemahan buku, terutama salah tik (typo) untuk istilah, kalimat tidak sejajar, dan kalimat mubazir. Misalnya, istilah pitograf (hlm. 4) yang seharusnya piktograf. …. Naskah yang dieditnya harus mampu menghipnosis pembaca …(hlm. 11). Padahal, hipnosis adalah suatu ilmu atau seni berkomunikasi dengan alam bawah sadar kita, sedangkan hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis.
Edi Warsidi,
selepas menjabat Kepala Divisi Penyuntingan di ITB Press (Juni 2022), dia masih diberi amanah menjadi penulis dan editor di beberapa penerbit buku di Bandung, juga pengisi materi pada lokakarya pelatihan penyuntingan/editing naskah. Pengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Literasi Keilmuan di sebuah kampus di Bandung.
Buku Iqra’ karya K.H. As’ad Humam, ”Pahlawan Pemberantas Buta Huruf Al-Qur’an”.
Grand Theori George Ritzer, Sosiologi Berparadigma Ganda
Mabok ISBN, Akhirnya Ditegur, Ayo Sadar Mutu!
Sejarah Jalan Braga Paris Van Java, hingga Kebangkitan Pasca Pandemi Melalui Kolaborasi
Budaya Mundur Kian Kendur