Episentrum Mataram dalam Sumbu Imajiner

Akan kontradiktif bila sumbu tersebut telah menjadi warisan pengetahuan dunia, namun unsur penyangga di dalamnya berupa tata ruang dan wilayahnya semakin kabur. Terlebih menyangkut nilai religiusitas di dalamnya.

16 November 2021, 04:40 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Iptek — Episentrum Mataram dalam Sumbu Imajiner.

“Budaya Mataraman mengambil latar di Pantai Parangkusumo (laut kidul) sebagai pintu gerbang kerajaan laut selatan milik Kanjeng Ratu Kidul, adalah titik terendah spiritual manusia yang dalam konsep tata ruang karaton sebagai batas selatan. Sedangkan gunung Merapi berada di batas utara sebagai tempat tertinggi.”

Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi dalam membangun keratonnya, berhasil menggabungkan dan menduplikasi kepercayaan leluhurnya (Mataram Islam) dalam bentuk yang baru, sebagai aneka tujuan, termasuk legitimasi kekuasaan.

Kesemua tujuan itu diwujudkan dalam simbolisasi kosmik pada gaya arsitektur bangunan maupun tata ruangnya.

Penghubungan atas kepercayaan itu berhasil dinarasikan menjadi keilmuan baru yang logis dengan melahirkan landasan filosofi kehidupan manusia, mulai dari proses penciptaan manusia dan hubungannya dengan Tuhan, serta bentuk planologi maupun ketataruangan sebuah kota (landscape), dengan harapan menjadi negari yang makmur, langgeng atau awet dalam keberlangsungan praja.

Sumbu imajiner secara fisik merupakan garis lurus dari keberadaan pantai Parangkusumo-Panggung Krapyak-Karaton Kasultanan-Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi.

Sumbu imajiner yang dimaksud adalah, Keraton sebagai pusat egosentris utusan Tuhan untuk kerakyatan dalam tata kelola entitas besar pemerintahan, telah memposisikan Raja sebagai wakil Tuhan, penyambung spiritual rakyat, maka didapatkan pola Tuhan-Raja-Rakyat.

Hubungan manusia dengan Tuhan dihadirkan di dalam sumbu filosofi-kosmik ini, konsep dalam Islam sebagai “Hablun min Allah dan Hablun min an-Nas,” sebagai bentuk keseimbangan dan keselarasan hidup akan ketaqwaan pada Tuhan dalam laku kehidupan bersama.

Kuatnya pengaruh Islam dari Demak dan politik Islam sejak Mataram berdiri oleh Danang Sutowijoyo, juga era Kesultanan Turki Utsmaniyah telah membuat kefahaman Jawa era Sultan Agung penuh spiritual pada dogmatis agama, juga membentuk institusional negara berstruktur, termasuk gelar Sultan atau nama Kesultanan mulai digunakan bersama Kesultanan Banten dan Makassar, Sultan Hasanuddin.

Hal tersebut nampak sekali pada gelar penobatan raja era Yogyakarta awal, Pangeran Mangkubumi ;
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat”

Penggabungan landscape Mataram Kuno juga di aplikasikan, pewarisan konsep tanah-air, segara-gunung pada kosmik spiritual Hindu-Budha menjadi sinkretisme budaya, yang akhirnya khas menjadi Jawa Mataraman.

Disitulah diformulasikan sebagai Rekonsiliasi Budayaatas kefahaman dan kebudayaan secara menyeluruh, sejak era Panembahan Senopati. Dan itulah, spirit dari budaya Mataraman.

Budaya Mataraman mengambil latar di Pantai Parangkusumo (laut kidul) sebagai pintu gerbang kerajaan laut selatan milik Kanjeng Ratu Kidul, adalah titik terendah spiritual manusia yang dalam konsep tata ruang karaton sebagai batas selatan. Sedangkan gunung Merapi berada di batas utara sebagai tempat tertinggi.

Ditengahnya, terdapat Keraton yang diapit oleh Tugu Golog Gilig (pal putih) dan panggung Krapyak sebagai wujud kosmik keseimbangan dalam hubungannya antara manusia dengan sang pencipta, juga harmonisasi manusia dengan alam.

Secara universal merupakan pengalaman spiritual mengenai kejagadrayaan antara Sang Pencipta dan Manusia. Harapan kemakmuran tentu menjadi tujuan oleh institusi negara (kerajaan). Dari nilai yang abstrak menjadi jelas, dari semesta alam kedalam bentuk konkrit kebumian.

Dalam mitologi Siva-Budha, lambang Lingga dan Yoni, laki-laki dan perempuan diterjemahkan menjadi; di mana laut kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul dan Gunung Merapi sebagai simbol wanita dan laki-laki.

Dalam mitologi Linggodbhawa Murti, sebagai simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal. Simbol kejantanan dari organ maskulin disebut sebagai Jyotirlinga.

Pancaran dari energi penciptaan Lingga, akan bekerja bila disatukan dengan energi Shakti yang disimbolkan dalam bentuk yoni, yaitu organ feminin untuk menghasilkan energi lingga. Dengan demikian, lingga dan yoni merupakan awal dari kehidupan manusia sebagai proses penciptaan.

Konsep “Sangkan Paraning Dumadi” sebagai kesadaran atas penciptaan manusia oleh Tuhan disimbolkan pada garis khayal/imajinasi (imaginer) sebagai tuntunan kehidupan.

Manusia yang kotor, penuh nafsu dan dosa berada pada titik yang rendah diharuskan untuk meninggikan derajad keimanan dan ketaqwaan yang tinggi/mulia menuju pada puncak ke-esaannya. Disimbolkan dari titik yang rendah di pantai selatan menuju tempat yang tinggi, disimbolkan dengan gunung Merapi.

Keduniawiaan akan proses perjalanan manusia harus memenuhi aspek kemakmuran, yang dilambangkan dengan panggung Krapyak dan tugu Pal Putih.


Konsep ini sama dengan simbolisasi pada bangunan era Hindu-Budha, seperti lambang kesuburan dan kemakmuran dalam bentuk kelamin laki-laki dan wanita sebagai lingga dan yoni, seperti yang ada di candi Sukuh dan Cetho Karanganyar, bahkan di duplikasi diera modern menjadi gaya arsitektur monument, Tugu Monas contohnya.

Perjalanan hidup manusia melalui fase dalam menuju tingkat spiritual yang tinggi, dari kelahiran bayi tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua yang dilalui dengan pengalaman-pengalaman yang buruk hingga menjadi baik.

Kesadaran penciptaan atau asal usul dan sisi buruk-baik manusia (humanity), seperti yang disimbolkan dalam relief Karmawibhangga di candi Borobudur. Selain itu disimbolisasi dalam tingkatan struktur bangunan candi, dari tingkat dasar candi atau kaki disebut Arupadathu, Rupadatu bagian tubuh, dan Kamadatu bagian atap candi.

Perjalanan spiritual manusia selalu melalui tingkatan, yang itu tidak bisa dihindari oleh manusia.

Sultan Hamengku Buwono I sangat detail dalam pembangunan Mataram jilid ke-dua. Rencana tata ruang dan wilayah dibuatnya penuh makna, bila diterjemahkan dalam ilmu eksak berisi pengetahuan logis. Batas selatan berupa laut sampai batas utara berupa gunung dengan poros utamanya keraton adalah upaya mitigasi dalam pembangunan ekologi.

Ancaman kebencanaan berupa lahar gunung Merapi maupun gelombang tsunami telah menjadi analisis mitigasi kebencanaan. Posisi keraton akan aman dari ancaman keduanya, karena disangga oleh keberadaan dua sungai, Kali Winongo dan Code, yang sekaligus sebagai sumber kehidupan.

Pengetahuan di dalamnya berisi perhitungan logis mengenai aspek penggunaan lahan dan potensi alih fungsi. Gunung Merapi sebagai kawasan tangkapan air, aliran lahar telah diintegrasi dengan peruntukan pembangunan kawasan, seperti zona pertanian, pemukiman dan kota.

Dengan demikian RTRW Kasultanan memulainya dengan kiblat sumbu imajiner dalam aneka pembangunan kawasan.

Dari perhitungan diatas, lahirlah konsep pembangunan tata kota bernama “Catur Gatra Tunggal.” Catur yang berarti empat, dan tunggal adalah satu, yaitu; empat unsur yang menjadi satu kesatuan. Unsur tersebut tak lain adalah bentuk dari infrastruktur publik guna memenuhi aspek ruang sosiologis warganya.

Elemen pemerintahan sebagai poros jelas, didirikannya Keraton, untuk menyangga kebutuhan ekonomi didirikan Pasar, seperti pasar Beringharjo, untuk kebutuhan ruang terbuka, dibangunnya Alun-Alun. Sedangkan nilai religiusitasnya dibangunnya masjid Gedhe Kauman.

Konsep seperti ini yang kemudian menjadi landscape trend pembangunan kota di seluruh Indonesia, hasil dari pewarisan kerajaan dan gabungan engineering Belanda.

Jelas sudah, sumbu imajiner tidak hanya berkutat pada aspek filosofi sebagai perwujudan nilai spiritual, tetapi sebagai induk dari tata ruang dan wilayah.

Persoalannya, mampukah dinamika saat ini menjaga garis tersebut guna mencari titik keseimbangan alam agar tercipta “sustainable ekologi”. Bagaimana zona industri, jalur transportasi, pemukiman, akan hasrat dan gairah ekonomi saat ini tetap selaras.

Banyak pihak mengusulkan agar keberadaan sumbu filosofi ini masuk dalam situs warisan dunia UNESCO, namun bila itu bersifat warisan maka keberadaannya harus lestari. Lestari bukan hanya pada bangunannya, tetapi lingkungannya, mengandung kaidah esensi dari isi sumbu filosofi tersebut dalam fakta lapangan kekinian.

Akan kontradiktif bila sumbu tersebut telah menjadi warisan pengetahuan dunia, namun unsur penyangga di dalamnya berupa tata ruang dan wilayahnya semakin kabur. Terlebih menyangkut nilai religiusitas di dalamnya.

Salam Nusantara

Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa
Wangsa Mataram, Cabang Ningrat Baru
Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (1)
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati
Tsunami Alat Legitimasi, Ungkap Peristiwa berbasis Geo-Mitologi

Terkait

Terkini