Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)
Maka, bedah sejarah Jakarta yang paling dasar adalah menyangkut kelahiran kota Jakarta itu sendiri, yang mana telah terdefinisi sebagai sebuah kota yang lahir hampir lima abad yang lampau. Dari kata "Jakarta" definisi sejarahnya menunjuk pada tokoh sentral yang bernama Fatahillah.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)
“Bicara Jakarta tempo dulu, sebenarnya banyak aspek fundamental dalam perspektif kebangsaan atau kenegaraan secara institusi. Mengapa demikian? Jakarta telah dianggap oleh bangsa-bangsa atau negara (kerajaan) untuk ditempatkan dalam kesatuan proyeksi geo-politik dan geo-strategi.”
Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah dengan gabungan pasukan Demak dan Cirebon, berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Sejak saat itu, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta, kemudian diubah lagi menjadi Batavia, hingga menjadi nama Jakarta hingga kini.
Peristiwa tersebut dimaknai sebagai hari kelahiran kota Jakarta (Pemprov DKI Jakarta), yang saat ini (2022) Jakarta sudah berusia 495 tahun.
Tak salah bila Jakarta kemudian menjadi ibu kota negara Indonesia. Secara geografi, Jakarta sudah menjadi kota urban atau metropolitan kuno dari masa ke masa. Wajar saja hal itu terjadi, mengingat gerbang utama pulau Jawa pada jalur pelayaran internasional kuno berada di pesisir utara Jakarta, seperti wilayah Sunda Kelapa dan Tanjung Priok.
Dalam peta pelayaran dunia, pelabuhan di Jakarta telah digunakan sebagai pusat aktivitas perdagangan dan mobilitas orang pada pulau-pulau di Nusantara. Di samping itu, pelabuhan tersebut terhubung ke selat Malaka untuk kemudian terhubung ke wilayah belahan dunia lainnya.
Dengan demikian, Jakarta sejak era Sriwijaya, katakanlah, hingga kini cukup seksi bagi dunia. Menarik bagi siapa pun (bangsa-bangsa) untuk berlabuh. Banyaknya pendatang dari berbagai entitas dunia untuk berbagai kepentingan, terutama aktifitas perdagangan, telah benar-benar membuat “Jakarta” sebagai panggung dunia, hingga menancapkan pengaruh sosio-kultural masing-masing di Jakarta. Akhirnya, Jakarta tempo kuno pun seolah sudah menjadi milik dunia. Jakarta adalah kota pesisir yang strategis.
Dinamika di dalamnya yang melingkupi perjalanan peradaban suatu bangsa telah bercampur dengan melahirkan tatanan baru atau kebudayaan baru sebagai wilayah kebudayaan, yaitu “Jakarta”.
Dinamika tersebut tentu kompleks, mulai dari hal kekuasaan hingga aspek sosiologis dari latar belakang hegemoni kekuasaan seperti peperangan, kolonialisme dan aspek lainnya menjadi hal yang lumrah dalam sejarah peradaban bangsa.
Sejarah sebagai maksud untuk memahami gambaran peristiwa masa lampau tentu berpedoman dengan apa yang saat ini menjadi latar dari sejarah itu sendiri, yaitu kebudayaan atau wilayah yang saat ini bernama “Jakarta”. Definisi Jakarta saat ini dari proses perjalanannya, dapat diuraikan dalam periodesasi waktu.
Maka, bedah sejarah Jakarta yang paling dasar adalah menyangkut kelahiran kota Jakarta itu sendiri, yang mana telah terdefinisi sebagai sebuah kota yang lahir hampir lima abad yang lampau. Dari kata “Jakarta” definisi sejarahnya menunjuk pada tokoh sentral yang bernama Fatahillah.
Lantas bagaimana sejarahnya, ketika bukti primer tidak cukup data untuk menguak peristiwa masa lampau, maka penghubungan dengan bukti sekunder dilakukan. Kedua pendekatan tersebut masih belum juga memuaskan untuk mendefinisikan alur sejarahnya, maka digunakanlah analisis bedah sejarah berdasarkan pendapat ahli dan spekulasi-spekulasi dengan teori-teori baru.
Sejarah tidak benar-benar bisa dibuktikan, namun paling tidak, metode dengan pendekatan 5W 1H dapat dijadikan rumusan untuk mengungkap jejak sejarah yang mendekati fakta.
What : Apa yang terjadi?
Who : Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu?
Why : Mengapa hal itu bisa terjadi?
When : Kapan peristiwa itu terjadi?
Where : Di mana peristiwa itu terjadi?
How : Bagaimana peristiwa itu terjadi?
Mengungkap jejak sejarah dengan klaim kebenaran yang sesungguhnya, itu tidak mungkin. Proses waktu tidak bisa dibuktikan dengan mengulang putaran waktu. Namun demikian, analisa yang kritis-analitis dengan penghubungan yang logis atau masuk akal, selanjutnya akan menjadi referensi atau rujukan sejarah itu sendiri.
Dalam hal ini, Jakarta yang erat dengan tokoh Fatahillah menarik untuk dibedah. Benarkah nama Jayakarta pemberian dari Fatahillah? Apakah ekspansi Demak ke Sunda Kelapa merupakan kesatuan politik global Islam? Apakah pertempuran Fatahillah dengan Portugis murni perebutan lahan perdagangan? Benarkah ada pembantaian warga pribumi Jakarta (kerajaan Banten) oleh pasukan Fatahillah? Dan masih banyak lagi yang perlu diungkap.
Masih banyak penafsiran dengan dugaan dan teori baru yang dikemukakan oleh para ahli dan masyarakat mengenai peran dari Fatahillah yang sesungguhnya dalam peristiwa pertempuran tersebut hingga dimaknai sebagai hari kelahiran kota Jakarta.
Di samping itu tentu terdapati banyak perdebatan di dalamnya yang menyangkut perjalanannya, mulai dari hal kepahaman, menyangkut etnis atau ihwal SARA (Suku, Agama, Ras Antar Golongan). Hal itu tidak menjadi soal, karena bagian dari sejarah yang secara langsung tidak terdapati ikatan emosional, meskipun di beberapa bagian ikatan kultural itu masih ada.
Dan itu adalah konsekuensi dari “Jakarta” sendiri sebagai kota urban yang seksi, yang mana mengandung resistensi yang tinggi dampak dari berkumpulnya entitas dunia dalam satu kawasan.
Bicara Jakarta tempo dulu, sebenarnya banyak aspek fundamental dalam perspektif kebangsaan atau kenegaraan secara institusi. Mengapa demikian? Jakarta telah dianggap oleh bangsa-bangsa atau negara (kerajaan) untuk ditempatkan dalam kesatuan proyeksi geo-politik dan geo-strategi.
Bila kerajaan Demak atau Melayu terkait dengan politik global Islam, Belanda atau bangsa-bangsa Eropa telah memproyeksikan Jakarta sebagai basis ekonomi dalam kesatuan pandang lahirnya sistem kolonialisme. Maka pusat dagangnya di Ambon yang telah dikuasai oleh Portugis sebelumnya dipindah ke Jayakarta.
Hal tersebut sama juga yang dilakukan oleh Sultan Agung Mataram dalam penyerangannya ke Batavia tahun 1628-1629. Oleh Sultan Agung dalam tekadnya menyatukan Nusantara, Jakarta adalah proyeksi politik sebagai poros Nusantara. Menguasai Batavia atau Kesultanan Banten sama halnya menguasai Nusantara, dalam proyeksinya menjadikan Mataram go international.
Melihat alur sejarahnya yang demikian, Jakarta era pergerakan kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, tetap menjadi basis kekuasaan dan ekonomi, menjadikannya Jakartasentris, pun sampai saat ini.
Namun demikian, Jakarta masa kini, seiring dinamika global dengan adanya transformasi digital yang telah mengubah cara pandang dan tata kelola tatanan hidup di dalamnya, sedikit mengurangi peran Jakarta menjadi poros yang dominan bagi Indonesia. Setidaknya urbanisasi berkurang. Tapi, itu hanya mengurangi bagian yang sedikit saja, pada pokoknya Jakarta tetaplah panggung politik, setidaknya road map menuju pesta besar, Pemilu 2024.
)* bersambung bagian 2
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (2)
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Gambang Rancag Pantun Betawi, Si Jali-jali Abang Jampang, …
Moda Transportasi Massal Modern Jakarta Integrasi Masa Depan. Perbedaan KRL, MRT, LRT, BRT dan Non BRT Bus Listrik (1)
8 Museum di Jakarta, Dijamin ‘Ngeh’ Sejarah dan Instagramable
Bunga Rampai Kata Langgam dalam Konteks Kultural Indonesia (1)