Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (2)
Hijrahnya ke Jawa untuk membantu penguatan kerajaan Islam di Jawa (Demak-Cirebon) agar kekuasaan Portugis tidak meluas ke Jawa, yang mana wilayah Malaka sudah hampir keseluruhan jatuh ke tangan Portugis.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta
Namun demikian, Jakarta masa kini, seiring dinamika global dengan adanya transformasi digital yang telah mengubah cara pandang dan tata kelola tatanan hidup di dalamnya, sedikit mengurangi peran Jakarta menjadi poros yang dominan bagi Indonesia. Setidaknya urbanisasi berkurang. Tapi, itu hanya mengurangi bagian yang sedikit saja, pada pokoknya Jakarta tetaplah panggung politik, setidaknya road map menuju pesta besar, Pemilu 2024. (bagian 1)

Siapakah Fatahillah?
Fatahillah yang terkenal karena berhasil menduduki Sunda Kelapa dari hegemoni Portugis tahun 1527, adalah seorang panglima militer atau tokoh penyebar Islam yang berporos pada kerajaan Demak Bintara maupun kekuasaan Cirebon.
Fatahillah meninggal pada tahun 1570. Saat penyerangan ke Sunda Kelapa tahun 1527, dimungkinkan pada usia emas (produktif). Dengan demikian, apabila sampai meninggalnya berusia 90 tahun, maka tahun 1480 Fatahillah sudah lahir, setidaknya tahun 1500 Fatahillah sudah lahir dan meninggal di usia 70 tahun.
Fatahillah lahir di Samudera Pasai, Aceh Utara, menurut catatan Barros. Pada kisaran tahun 1500-an Portugis dengan memulai dan membuka rute baru pelayaran dunia, yang mana telah sampai di kawasan Nusantara. Tujuan berdagang dan geo-politik bangsa Portugis sebagai bagian dari ekspansi seiring munculnya kolonialisasi awal sebelum bangsa Eropa, telah menjadikan konfrontasi dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang mana juga dalam masa perkembangan dan perluasan wilayah ke seluruh Nusantara oleh kerajaan Islam.
Runtuhnya Majapahit 1478 dilanjutkan dengan kerajaan Islam berciri maritim, yaitu Demak Bintara (Demak, Jawa Tengah), juga berkembangnya kerajaan lainnya di luar Jawa (Nusantara) dalam kesatuan politik global Islam. Telah terjadi rivalitas kuasa antar kerajaan itu sendiri, juga melawan bangsa Portugis.
Hegemoni Islam di pesisir utara Jawa, Melayu dan seluruh kawasan Nusantara, juga berbarengan dengan berkembangnya Portugis ke seluruh dunia, terutama kawasan Nusantara. Hal tersebut telah menjadikan konfrontasi keduanya dalam perebutan hegemoni kuasa di Nusantara sering pecah.
Samudera Pasai hingga semenanjung Malaya (Malaka) yang telah dikuasai oleh Portugis, menjadikan Fatahillah meninggalkan Pasai untuk memperdalam ilmu agama ke Mekah. Untuk beberapa saat di Mekah, Fatahillah pulang ke Pasai, namun keadaan masih sama saja, bahkan perluasan kekuasaan Portugis makin besar.
Situasi tersebut yang akhirnya menjadikan Fatahillah memutuskan untuk hijrah ke Jepara. Menurut Graaf dan Pigeaud, wilayah Jepara yang dimaksud adalah kerajaan Demak Bintara dengan rajanya sepeninggal Pati Unus “raja kedua Demak setelah Raden Fattah”, yakni (Sultan) Trenggana, raja ketiga dan sebenarnya raja kedua setelah Raden Fattah.
Kepergiannya ke Jepara (Demak) untuk mengabdi kepada raja Trenggana. Pengabdian dalam hal kemiliteran maupun dakwah Islam kepada kerajaan dengan prestasinya, menjadikan Fatahillah berhasil menyunting putri atau adik dari Sultan Trenggana.
Orang-orang Portugis menyebut Fatahillah dengan nama Faletehan, menurut catatan João de Barros dalam seri bukunya yang berjudul Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia). Baros melaporkan, bahwa salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho [en] yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan muslim di bawah pimpinan Fatahillah dan membunuh semua orang-orang Portugis di kapal tersebut.
Adolf Heuken berpendapat bahwa peristiwa terdamparnya armada Duarte Coelho di pantai Kalapa (Sunda Kelapa) terjadi pada akhir November 1526.
Fatahillah atas perintah kerajaan (kesultanan) Demak, berangkat untuk mengislamkan wilayah Banten dengan 1500-2000 orang prajurit Demak. Mengapa harus Portugis yang ditakhlukkan untuk menguasai wilayah kerajaan Sunda (Banten), karena pintu masuk Banten berada di Sunda Kelapa, yang mana Portugis sudah dulu ada di wilayah tersebut, dimungkinkan sudah menguasai Banten pada khususnya pelabuhan Sunda Kelapa. Pola yang sama ketika politik ekspansi tersebut diadopsi oleh Sultan Agung tahun 1628-1629. Untuk menguasai Banten, Mataram harus menundukkan VOC (Batavia) terlebih dahulu di Sunda Kelapa (Jayakarta).
Artinya, misi Fatahillah ke Banten dalam rangka mengislamkan wilayah Banten yang belum sepenuhnya menjadi Islam, juga dalam rangka melanjutkan konfrontasi dengan Portugis setelah sebelumnya Pati Unus gugur dalam menyerang Portugis di Malaka tahun 1513 dan 1521 dalam perebutan kawasan. Artinya, luka lama antara Demak versus Portugis dalam memperebutkan wilayah Malaka termasuk Sunda Kelapa, telah terjadi perebutan kawasan atau konflik kawasan antar keduanya. Dan itu logis, mengingat tahun konfrontasi di Malaka oleh Pati Unus tidak berjarak lama dengan pendudukan di Sunda Kelapa oleh Fatahillah. Rentang tahun 1513-(1521-1527) hanya berjarak 6 tahun.
Sejarawan seperti Hoesein Djajadiningrat, H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Slamet Muljana, dan Adolf Heuken berpendapat bahwa Fatahillah tak lain adalah Sunan Gunung Jati Cirebon. Yang mana pada kisaran tahun 1480 dan seterusnya, Cirebon telah menjalin hubungan dengan Demak sebagai bawahan.
Menurut catatan sejarawan tersebut, misi Fatahillah menguasai kerajaan Sunda (Banten dan Sunda Kelapa) telah dilakukan beberapa kali penyerangan atau misi, yaitu periode tahun 1524-1525 dan 1526-1527. Pada periode kedua tersebut, Fatahillah hendak mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Berhasilnya Fatahilah mengalahkan Portugis, menjadikannya berkuasa atas Sunda Kelapa setidaknya selama 30 tahun. Pada sekitar tahun 1552, Fatahillah meninggalkan Banten menuju Cirebon; dan menyerahkan kekuasaannya atas Banten kepada puteranya, Maulana Hasanuddin. Fatahillah kemudian tinggal sebagai penguasa dan pemuka agama di Cirebon sampai dengan wafatnya, hingga kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Versi lain juga menyebutkan, bahwa Fatahillah adalah seorang panglima Pasai bernama Fadhlulah Khan. Hijrahnya ke Jawa untuk membantu penguatan kerajaan Islam di Jawa (Demak-Cirebon) agar kekuasaan Portugis tidak meluas ke Jawa, yang mana wilayah Malaka sudah hampir keseluruhan jatuh ke tangan Portugis.
Jalur kenasaban Fatahillah menurut Saleh Danasasmita, masih berkerabat dengan Walisongo, karena kakek buyutnya Zainul Alam Barakat, adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat, India.
Menurut Ahmad-Noor A. Noor dalam bukunya From Majapahit to Putrajaya. Fatahillah atau Faletehan adalah seorang muslim keturunan Arab yang berasal dari Gujarat (India). Ketika diangkat menantu atau dijodohkan dengan adik Sultan Trenggana, terjadi pada tahun 1505-1518.
Berdasarkan penghubungan pada periodesasi waktu kepemimpinan raja, maka benar bila Fatahillah dalam politiknya merebut Sunda Kelapa terjadi sewaktu kepemimpinan raja Trenggana di Demak. Penataan oleh Demak dalam tata kelola pemerintahan dengan tujuan perdagangan maupun dakwah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, terutama dilakukan dengan pola politik ekspansi berupa kampanye militer yang lazim dilakukan oleh kerajaan.
Kerajaan Demak mempunyai kepanjangan tangan penguasa di Cirebon. Secara kultural Cirebon lebih dekat dengan kebudayaan Sunda (Banten) daripada Jawa (Demak), maka dalam hal pendudukan atas Sunda Kelapa ini Cirebon berperan besar. Maka tidak salah, bila penghubungan tokoh Fatahillah diduga sebagai orang yang sama sebagai Sunan Gunung Jati. Namun pendapat tersebut tidak kuat, Fatahillah bukan (orang) Sunan Gunung Jati.
Periodesasi kekuasaan Kerajaan Demak :
• 1478–1504 : Raden Patah di Bintara
• 1505-1518 : Trenggana (Pati Unus) di Bintoro
• 1518-1521 : Pati Unus di Bintara
• 1521-1546 : Trenggana di Bintara
• 1546-1547 : Sunan Prawoto di Sukolilo Pati
• 1547-1554 : Arya Penangsang di Jipang
Dari peristiwa pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dengan gabungan pasukan Demak-Cirebon, diyakini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Selanjutnya, ditetapkan menjadi hari kelahiran kota Jakarta. Namun demikian, tidak sedikit tokoh (pihak) yang tidak setuju bahwa hari kelahiran kota Jakarta ditetapkan berangkat dari peristiwa tersebut. Yang mana ditafsirkan sebagai peristiwa kelam yang telah menghina harkat dan martabat entitas kebudayaan Sunda, dalam hal ini khususnya pada entitas kebudayaan Sunda Kelapa (Betawi).
Kerajaan Sunda yang wilayah strategisnya berada di daerah Banten dengan pelabuhan bandar dagangnya yang bernama Sunda Kelapa. Banyak yang berpendapat bahwa nama Jakarta berawal dari nama Jayakarta yang tidak diberikan oleh Fatahillah atas kemenangan pendudukan tersebut, namun nama Jayakarta sudah terlebih dulu ada merujuk pada nama kota atau daerah di wilayah kerajaan Sunda yang berbasis Hindu-Buddha.
Selama ini, terkait dengan hari kelahiran kota Jakarta, nama Jakarta dari kata Jayakarta yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah karena kemenangan pasukannya. Pasukannya yang jaya atau menang, jayakarta:kemenangan, selanjutnya dari nama Jayakarta menjadi Jakarta, dan sempat berubah menjadi Batavia saat VOC berhasil menguasai Jayakarta.
Pergantian nama tersebut dengan runutan:
• Jayakarta (Hindu-Buddha/Sansekerta) – Sunda Kelapa – Batavia – Jakarta (versi yang tidak sepakat dengan sejarah Fatahillah)
• Sunda Kelapa – Jayakarta – Batavia – Jakarta (versi sejarah Fatahillah)
(bersambung bagian 3)
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (3)
Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)
Gambang Rancag Pantun Betawi, Si Jali-jali Abang Jampang, …