Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (3)

Artinya, Fatahillah bersama gabungan pasukan kerajaan lainnya, ada sisi nasionalisme yang ditampakkan karena melibatkan entitas lokal. Meskipun di bagian lain, korban perang dari bangsa pribumi ikut menanggung deritanya.

20 Agustus 2022, 22:47 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta

“Adolf Heyken juga menyebutkan bahwa, Fatahillah tidak mungkin memberi nama daerah yang ditakhlukkan dengan nama Sansekerta, apalagi Fatahillah seorang muslim Arab, yang mana istilah “Jayakerta” lebih ke budaya Hindu-Buddha.”

Penetapan Hari Jadi Kota Jakarta

Berdasarkan penelitian dari para ahli, yaitu Mohammad Yamin, Dr. Sukanto, dan Sudarjo Tjokrosiswoyo, membuat rumusan ditetapkannya hari jadi kota Jakarta yang diperingati setiap tanggal 22 Juni 1527 dalam rumusan naskah berjudul “Dari Jayakarta ke Jakarta”, pada tahun 1953-1958.

Rumusan tersebut perlu untuk meneguhkan akan kebenaran kelahiran kota Jakarta berdasarkan peristiwa Fatahillah di Sunda Kelapa. Hal itu wajar dilakukan, mengingat pasca kemerdekaan, Soekarno (presiden pertama) menyerukan untuk menghapus budaya kolonial (post kolonial). Karena selama ini, Hindia Belanda hingga tahun 1949 pada masa revolusi nasional Indonesia merayakan hari jadi kota Jakarta jatuh pada 30 Mei 1619 berdasarkan penaklukan Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen. Atas keberhasilan ekspansi Belanda (VOC) dari Ambon ke Batavia yang juga mengusir Portugis mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

Dari kedua peringatan tersebut, silang pendapat terkait kebenaran hari jadi kota Jakarta masih terus berlangsung. Bahkan silang pendapat hal pemberian nama Jayakarta oleh Fatahillah. Bagi Indonesia, menguatkan sejarah Jakarta berdasarkan peristiwa Fatahillah tentu mengandung maksud untuk kepentingan penghapusan kolonialisme. Sedangkan bila hari kelahiran berdasarkan peristiwa JP. Coen, juga benar, hanya saja dirasa tidak nasionalisme, karena sama saja pro dengan sejarah (warisan) kolonial.

Bahkan penulis sejarah Adolf Heyken (peneliti Jerman) pernah mengatakan bahwa hari kelahiran kota Jakarta hanyalah sebuah dongeng. Hal tersebut karena minimnya bukti-bukti sejarah berdasarkan sumber primer. Karena banyak sejarah ditetapkan dari proses penghubungan dan kesepakatan, yang mana rawan spekulasi. Adolf Heyken juga menyebutkan bahwa, Fatahillah tidak mungkin memberi nama daerah yang ditakhlukkan dengan nama Sansekerta, apalagi Fatahillah seorang muslim Arab, yang mana istilah “Jayakerta” lebih ke budaya Hindu-Buddha.

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi pada acara bertajuk “Kontroversi HUT Jakarta” pada 22 Juni 2011 yang lalu, dikutip dari tirto.id mengatakan, bahwa pasukan Fatahillah telah membumihanguskan Sunda Kelapa dan mengusir penduduk Betawi asli yang sudah sejak lama menetap di situ, membuat penduduk harus menyingkir ke balik-balik bukit, “namun kok malah dijadikan hari jadi kota?”.

Ridwan tidak sependapat bahwa Fatahillah yang memberikan nama Jayakarta untuk menggantikan Sunda Kelapa, karena nama Jayakarta sudah ada sejak lama. Seperti, nama desa di Karawang yang namanya Jayakerta yang merupakan wilayah kebudayaaan Betawi. Nama itu (Jayakerta) sudah ada sejak zaman Siliwangi.

Selain itu, Jayakerta adalah tempat pengasingan salah satu istri Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang bertakhta pada 1482-1521. Selir sang raja yang sedang mengandung itu kemudian melahirkan bayi laki-laki. Sayang, bayi tersebut meninggal dunia tak lama setelah dilahirkan. Kemudian peringatan kematian sang bayi dengan memberikan nama untuk daerah tersebut dengan istilah Jayakerta yang berarti “kemenangan yang jaya.”

Ridwan juga menyebutkan bahwa peristiwa di Sunda Kelapa tersebut dinamakan dengan istilah Perang Betawi. Sedangkan nama lain dari Sunda Kelapa adalah Nusa Kalapa.

Namun demikian, Ridwan Saidi menyimpulkan teorinya tersebut adalah kemungkinan berdasarkan folklor atau cerita rakyat yang diyakininya masih hidup dan berkembang di kalangan penduduk Bogor asli (Saputra, 2008: 147). Menurutnya, Bogor pada masa itu adalah pusat pemerintahan Kerajaan (Pakuan) Pajajaran yang menguasai Sunda Kelapa sebelum direbut oleh Fatahillah. (tirto.id)

Menurut Yahya Andi Saputra dalam buku Upacara Daur Hidup Adat Betawi yang menyertakan pengakuan Ridwan Saidi, bahwa teori Ridwan Saidi belum bisa dikonfirmasi, masih diperlukan bukti-bukti yang lebih komprehensif.

Pertempuran di Sunda Kelapa tidak hanya berlangsung pada 1527 saat menghadapi Portugis saja, namun sejak tahun 1521 sudah dimulainya syiar Islam oleh Fatahillah atau kubu Islam gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten melawan Pajajaran yang masih menganut kepercayaan Hindu-Buddha.

Demak dengan strateginya memecah potensi kerjasama antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran bersatu. Maka, Pajajaran harus ditundukkan agar misi syiar Islam dan kepentingan lainnya dalam geo-politik dan geo-strategi Demak berjalan. Dan, di Sunda Kelapa lah sebagai bandar dagang yang besar perlu untuk dikuasi, baik oleh Demak maupun Portugis, dan tentunya Pajajaran.

Jayakerta, khususnya di pusat pelabuhan Sunda Kelapa diperkirakan telah ramai sejak era Tarumanegara abad ke-4. Nama (tempat) Jayakerta atau Sunda Kelapa (pelabuhan) telah digunakan sejak tahun 397 Masehi. Sedangkan nama Batavia digunakan sejak tahun 1619 hingga 1942 jaman Jepang.

Menurut kesaksian para pelancong Portugis, Sunda Kelapa dipimpin oleh pejabat-pejabat tinggi seperti Tumenggung Sang Adipati dan Syahbandar. Berarti membuktikan bahwa sebelum tahun 1521 di Sunda Kelapa sudah tercipta tata kelola pemerintahan kerajaan. Runutannya bisa dimulai dari kerajaan Tarumanegara, Sunda, Galuh, Sunda-Galuh, Pajajaran dan Banten.

Melihat minimnya bukti sejarah, kesimpulannya saat ini, peringatan hari jadi kota Jakarta yang jatuh tanggal 22 Juni (1527), tetap berpedoman pada peristiwa Fatahillah. Mengapa demikian? Ya, karena peristiwa Fatahillah adalah yang terdekat dengan bukti-bukti literasi yang dapat dirumuskan. Hal tersebut sebagai pilihan ketimbang hari jadi kota Jakarta dipilih dari peristiwa JP Coen yang merebut Sunda Kelapa dari Portugis, sama-sama kepentingan bangsa pendatang. Artinya, Fatahillah bersama gabungan pasukan kerajaan lainnya, ada sisi nasionalisme yang ditampakkan karena melibatkan entitas lokal. Meskipun di bagian lain, korban perang dari bangsa pribumi ikut menanggung deritanya.

(Selesai)

Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (2)
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)
Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)

Terkait

Terkini