Fenomena SCBD, Bentuk Perlawanan?

Faktor penariknya adalah Jakarta sedang berbenah, mulai banyak memiliki public space. Hal itu menjadi daya tarik banyak orang, termasuk generasi muda dari pinggiran Ibu Kota.

18 Juli 2022, 13:02 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Fenomena SCBD, Bentuk Perlawanan?

“Faktor pendorong lebih ke ekspektasi anak muda untuk menjadi bagian dari wilayah Ibu Kota. Seperti, bekerja atau menjadi warga Jakarta.”

Street Fashion Citayam, belakangan menjadi perbincangan publik di media massa dan media sosial. Citayam Fashion Week, begitu pula namanya, adalah panggung yang diciptakan para remaja Citayam, Depok, Bojonggede, Bogor yang kerap menjadikan Jalan Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat berkumpul.

Istilah Street Fashion muncul karena para ABG yang nongkrong, mengenakan outfit yang unik dan nyentrik.

Istilah itu muncul karena para anak baru gede atau ABG yang nongkrong itu kerap memakai pakaian street data-style yang cukup modis, hingga viral di media sosial.

Para ABG tidak hanya berasal dari Citayam dan Bojonggede yang nongkrong di kawasan Dukuh Atas. Para ABG dari Bekasi hingga seluruh penjuru DKI juga ada.

Banyak persoalan sosial yang muncul sebagai akibat eksistensi komunitas ini. Mulai dari ABG merokok, persoalan sampah, hingga fenomena seks bebas.

Lalu, bagaimana kacamata sosial memandang fenomena ini?

Dilansir dari tempo.id Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Asep Suryana, menilai maraknya remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok) yang berkumpul di Dukuh Atas itu sebagai bentuk perlawanan. Alasannya mereka datang ke tempat yang dicitrakan sebagai metropolitan dan selama ini dikesankan milik high class.

Sementara, menurut Asep, anak Citayam dan daerah lainnya ini adalah masyarakat pinggiran bagian dari struktur kelas bawah. Simbol-simbol yang diekspresikan mereka pun berbeda. Pakaian dan sikapnya berbeda, mereka lebih selengean dan lebih resisten.

Menurut Asep, remaja Citayam ini merupakan kaum bawah yang berasal dari pelosok dan harus diterima di Dukuh Atas, tempat yang didominasi dengan stigma modern dan bersih. Namun Asep meminta masyarakat tidak memberikan stigma buruk kepada remaja SCBD itu, melainkan memfasilitasinya dengan baik.

Asep menjelaskan para ABG tersebut memerlukan masa depan, sehingga Pemerintah Provinsi DKI harus memfasilitasi mereka.

Sementara itu, dikutip dari laman mediaindonesia. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis menilai, keunikan SCBD tersebut sebagai hal positif. Dalam hal ini, untuk membawa Jakarta sebagai kota multikultural. Layaknya kota elit di dunia, keberagaman fashion, bahasa, hingga tempat berekspresi, sudah sepatutnya ada di Jakarta.

Rissalwan pun mengajak publik untuk melihat fenomena remaja SCBD dari sisi positif. Menurutnya, Jakarta sudah seharusnya memiliki ruang publik untuk berekspresi, khususnya bagi generasi muda. Fenomena SCBD juga tidak sebatas remaja datang dan menikmati suasana Ibu Kota.

Dia menjelaskan ada tiga faktor dalam fenomena remaja SCBD. Rinciannya, faktor penarik, pendorong dan mobilitas. Faktor penariknya adalah Jakarta sedang berbenah, mulai banyak memiliki public space. Hal itu menjadi daya tarik banyak orang, termasuk generasi muda dari pinggiran Ibu Kota.

Lalu, faktor pendorong lebih ke ekspektasi anak muda untuk menjadi bagian dari wilayah Ibu Kota. Seperti, bekerja atau menjadi warga Jakarta. Permasalahannya, lanjut dia, banyak remaja SCBD yang tidak mempunyai karakteristik budaya yang sama dengan warga perkotaan.

Secara sosial ekonomi, Kemenparekraf, Sandiaga Uno berpendapat. Fenomena keberadaan anak-anak Sudirman Citayam Bojonggede Depok (SCBD) di kawasan Dukuh Atas, Tanah Abang, Jakarta Pusat menjadi bukti besarnya peluang usaha dalam sektor ekonomi kreatif.

Kegiatan anak-anak yang berubah menjadi ajang peragaan busana yang dikenal dengan nama “Fashion Show SCBD” itu katanya menggerakkan ekonomi.

Sejurus dengan hal tersebut, menurutnya ajang fashion show tersebut menginspirasi kota-kota lain seperti Kota Lama Semarang. Dengan begitu, para pelaku ekonomi kreatif dari kota lain, seperti Wonosobo, Grobogan, Tegal atau lainnya bisa bergabung dalam satu pagelaran.

Street Fashion ala ABG Citayam di Sudirman
Slebew!
BTS Meal dan Fetisisme Komoditas
“Oi, Kiyumasa. Nande, nande? Ganbare, ganbare!”, Apa, sih, artinya?
Bank Keliling dan Cara Menghindarinya

Terkait

Terkini