Formula E Sirkuit Otomotif, Politik dan Kampanye Emisi (2)

Polemik berlanjut ke mana-mana. Banyak pihak yang menuduh (kontra Formula E) bahwa gelaran Formula E adalah pemborosan, tidak ada urgensinya dengan situasi dan kondisi rakyat saat ini di tengah situasi ekonomi pasca Covid-19.

4 Juni 2022, 22:36 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Formula E Sirkuit Otomotif, Politik dan Kampanye Emisi

“Arena tersebut pun juga sudah masuk dalam permainan politik yang syarat dengan adu gengsi. Ketakutan, kekawatiran dan menanggung untungnya akan impact pada hal popularitas, elektabilitas dan opini publik telah menjadi kesatuan pandang para elit dalam melihat gelaran Formula E ini dalam peta 2024.”

Gelaran ajang Formula E ini benar-benar telah menyita perhatian publik. Pro dan kontra terjadi di banyak lini, mulai adu argumen di tingkat elit dan bawah. DPRD DKI Jakarta, masyarakat, politisi (DPR), hingga tokoh-tokoh lainnya yang tentunya para pimpinan partai politik hingga lembaga-lembaga. Hal tersebut ditafsirkan sebagai aroma persaingan politik menuju Pemilu 2024 dalam kontestasi peta calon presiden dan wakil presiden, benar adanya.

Persaingan rivalitas yang sudah terseret ke mana-mana semakin menggiring opini publik bahwa selama ini, ajang gelaran Formula E yang di gelar Pemprov DKI Jakarta tidak direstui oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden (Jokowi) dan unsur yang berkenaan di dalamnya, yaitu Erick Thohir selaku Menteri BUMN dan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, untuk urusan skema pembiayaan (sponsor).

Pada awalnya, secara komunikasi, Presiden Jokowi tidak menunjukkan gelagat dengan mendukung gelaran balapan tersebut, namun pada akhirnya, Presiden Jokowi berkesempatan hadir ke sirkuit yang diterima oleh Gubernur Anies untuk melihat persiapan dan kesiapan terkait pembangunan lintasan (sirkuit).

Sebelumnya, pada Maret 2022, ajang gelaran balap motor Moto Grand Prix (GP) Mandalika 2022 yang di gelar oleh pemerintah, dalam hal ini BUMN berlangsung cukup sukses. Pada waktu itu, sudah terjadi dikotomi dengan saling ejek antara penyelenggaraan GP Mandalika versus Formula E Jakarta. Tak sedikit olok-olok keduanya benar-benar terasa pembelahannya di tingkat elit hingga bawah. Pro kontra pun berlangsung hingga kini, saling membandingkan mana yang terbaik, hingga berkenaan pada kalkulasi politik. Polemik dan dinamikanya terus berlangsung dan berkembang dengan begitu dahsyatnya.

Akhirnya, BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara tidak jadi menjadi sponsor dalam gelaran Formula E. Hal ini cukup membuat situasi tegang terasa sekali di tingkat elit.

Pertemuan pada 21 Mei 2022, antara Sahroni dengan Menteri BUMN Erick Thohir untuk membicarakan terkait sponsor. Saat itu Sahroni yakin jika BUMN akan menjadi sponsor di Formula E. Diketahui, Ahmad Sahroni adalah Ketua Panitia E-Prix Jakarta.

BUMN tidak berikan sponsor apapun, PLN untuk kelistrikan juga kami bayar full,” tulis Sahroni dalam Instagram resminya, Jumat (3/6/2022), dikutip dari detikfinance.

“Ini bukan masalah duit, ini masalah pride, untuk bahwa BUMN hadir di Formula E ini untuk Indonesia, bukan untuk Anies atau Jakarta, tapi untuk Indonesia. Setuju kan, ya? Bahwa BUMN hadir, gua melas untuk Indonesia,” tambahnya.

Sementara itu, Erick Thohir selaku Menteri BUMN, tidak secara jelas mengungkapkan alasan dibalik keputusan tersebut.

“Kita partisipasi di banyak tempat, ada G20, ada juga beberapa event yang sudah ditugaskan,” kata Erick saat ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis (2/6/2022), dikutip dari m.bisnis.com.

Diketahui, dengan keluarnya BUMN sebagai sponsor Formula E yang awalnya terdapat 31 sponsor, akhirnya sampai gelaran balapan berlangsung, terdapat 30 sponsor yang terlibat dalam gelaran tersebut. Ketiga puluh sponsor tersebut berasal dari perusahaan nasional dan global.

Di samping itu, polemik berlanjut ke mana-mana. Banyak pihak yang menuduh (kontra Formula E) bahwa gelaran Formula E adalah pemborosan, tidak ada urgensinya dengan situasi dan kondisi rakyat saat ini di tengah situasi ekonomi pasca Covid-19.

Untuk ajang Formula E ini, menelan biaya sebesar Rp.130 miliar, biaya tersebut dibagi menjadi beberapa bagian untuk fasilitas penunjang hingga biaya pembangunan lintasan yang menelan anggaran Rp.60 miliar.

Bahwa, dana APBD DKI Jakarta (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang mana uang tersebut adalah uang rakyat, tidak pantas digunakan untuk pembiayaan balapan yang tidak ada urgensinya. Hal tersebut dari kubu (Anies) balik berkilah, jika APBD tidak boleh untuk membiayai gelaran Formula E, kenapa GP Mandalika dibiayai oleh APBN melalui skema pembiayaan BUMN maupun langsung. Karena, Jakarta adalah bagian dari Indonesia, APBN dan BUMN milik rakyat Indonesia juga.

Pada waktu gelaran GP Mandalika, BUMN menggelontorkan dana sebesar 1,18 triliun, atau total dana dari APBN (keuangan) dengan sistem penyertaan modal sebesar 2,48 triliun. Hal tersebut tentu linier dengan impact-nya karena event internasional. Termasuk dalam kaitannya promosi Pertamina dan multiplier effect lainnya ditingkat enterpreuner government.

Dari polemik di atas, dapat disimpulkan bahwa skema pembiayaan keberpihakan pemerintah pusat untuk penyelenggaraan GP Mandalika dan Formula E mengundang polemik di masyarakat. Di samping itu, Pemprov DKI dengan ide penyelenggaraan tersebut tentu juga tidak bisa dipersalahkan (dibully), karena pengelolaan tata kelola pemerintahan daerah saat ini mengacu pada konteks undang-undang otonomi daerah.

Dalam hal ini, opini penulis juga setuju, bila APBN maupun BUMN seyogyanya turut serta menjadi sponsor dalam gelaran Formula E. Bila alasannya APBN dan BUMN atau pihak yang tidak menyetujui gelaran tersebut, seperti beberapa fraksi di DPRD DKI Jakarta dengan alasan, mengeluarkan dana harus ada kalkulasi untung dan ruginya. Bila tidak untung, maka tidak diperlukan lagi penggelontoran dana melalui skema pembiayaan dengan menjadi sponsor, atau tidak digelarnya saja ajang tersebut.

Boleh saja, argumentasinya seperti itu, tetapi dalam hal ini, Formula E maupun GP Mandalika adalah sama-sama berproyeksi untuk tujuan ke depannya dengan kalkulasi multiplier effect yang ditimbulkan di tingkatan enterpreuner government.

Dengan urungnya atau tidak membiayainya BUMN untuk ajang balapan Formula E, apa sebenarnya yang melandasi dari keputusan tersebut. Dalam hal ini kalau membaca keputusan Menteri BUMN, apakah hal tersebut merupakan perintah Presiden atau pun murni karena keputusan dari seorang Menteri. Dalam hal ini Erick Thohir pun juga bisa dianggap pada posisi yang dilematis.

Secara logika, keputusan-keputusan tersebut tetap arahan dari Presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi, atau Presiden menyerahkan kewenangan tersebut sepenuhnya kepada Menteri.

Bisa juga, ditangkap oleh publik bahwa Erick Thohir dalam hal ini terlibat dalam sirkuit politik terkait dengan posisi personal di 2024. Artinya, rivalitas Anies Baswedan tidak hanya di seret pada rivalitas versus Jokowi saja, tetapi rivalitas Anies sudah di seret ke dalam berbagai arena. Dalam hal ini Anies versus Prabowo, Anies versus Erick Thohir, Anies versus Puan, dan tentunya Anies dalam kaitannya dengan Megawati selaku pemimpin partai terbesar, atau dengan pemimpin partai lainnya.

Arena tersebut pun juga sudah masuk dalam permainan politik yang syarat dengan adu gengsi. Ketakutan, kekawatiran dan menanggung untungnya akan impact pada hal popularitas, elektabilitas dan opini publik telah menjadi kesatuan pandang para elit dalam melihat gelaran Formula E ini dalam peta 2024.

Bila ditarik kembali pada hal komunikasi publik dan dinamika yang terjadi sejak digelarnya GP Mandalika hingga gelaran Formula E ini berlangsung, nampak sekali bahwa sikap dan keputusan para elit sangat berubah-ubah tergantung dinamika dan arus yang berkembang.

Bagi Jokowi, Formula E adalah dilema, hadir melihat gelaran tersebut atau tidak hadir. Hadir salah, tidak hadir lebih salah lagi, seperti yang diungkapkan Rocky Gerung. Kehadiran Jokowi dengan tidak adanya peran serta negara dalam hal ini BUMN dengan tidak men-sposori balapan. Di satu sisi, Jakarta sebagai pemerintahan daerah yang wajib diayomi dan didukung kebijakan positifnya oleh pemerintah pusat (Jokowi).

Namun pada akhirnya, Jokowi tetap hadir memberikan support pada gelaran tersebut. Kemudian, publik pun juga menduga-duga, jangan-jangan dari awal Presiden (Jokowi) tidak ada masalah dengan Anies persoalan rivalitas, namun justru orang-orang di balik Jokowi yang justru menjauhkan hubungan tersebut. Hingga kemudian, dalam hal ini Menteri BUMN (Erick Thohir) terlibat dalam rivalitas politik.

Bagaimana dengan posisi Puan Maharani yang agaknya dari awal cukup “soft” dalam hal ini. Apakah kemungkinan, pada awalnya berlindung di balik perseteruan politik antara Istana dengan Gubernuran, tetapi pada akhirnya masuk dengan menjalin hubungan-hubungan secara tidak langsung dengan tidak terlibat pada pusaran permainan opini gelaran Formula E, karena sudah menangkap sinyal akan kemungkinan koalisi politik keduanya.

Kini, Formula E telah berlangsung dan di anggap sukses menurut opini yang berkembang pasca balapan. Bahkan, Presiden Jokowi mengapresiasi gelaran ini. Dan mengatakan keberpihakan dukungannya pada gelaran Formula E ini sejak awal, sepertinya faktanya pemerintah pusat dengan membantu dengan aneka perijinan.

Atas suksesnya gelaran tersebut, pasti akan riuh kembali dengan isu-isu atau narasi siapa yang diuntungkan. Bagaimana elektabilitas Anies selaku penyelenggara dan calon presiden? bagaimana Jokowi dalam hal ini selaku Presiden dan bukan calon presiden lagi di 2024? Bagaimana posisi opini publik dengan keputusan Erick Thohir yang mana BUMN tidak membiayai balapan? terlepas dari adanya mandat atau atas keputusannya sendiri. Juga, bagaimana posisi elektabilitas Prabowo maupun Puan Maharani setelah gelaran ini?

Dengan demikian, Anies telah sukses membawa Jakarta pada gelaran Formula E ini, yang otomatis elektabilitasnya, simpati dan dukungannya secara moril akan terus mengalir bahkan pada posisi politiknya. Namun, bisa juga atas gelaran balapan ini maupun celah yang lain Anies tetap di serang dari berbagai pihak.

Anies pasca gelaran bagai magnet, Anies yang saat ini dalam posisi tawar yang tinggi, juga ujian-ujian kepemimpinan Anies yang disimpulkan kuat telah membawa pada sirkuit 2024 berpeluang besar. Pantas bila sejak awal selalu di sudutkan habis-habisan atas kekawatiran akan potensi elektabilitas.

Namun apapun yang terjadi, hal tersebut di atas adalah narasi politik yang tidak pantas bila dikembalikan pada konteksnya sebagai sebuah kegiatan pemerintah daerah berupa event. Tentu betapa malunya kita atas ekspektasi dunia atas gelaran tersebut dengan pesan-pesannya mengenai isu lingkungan hidup (ramah lingkungan).

Bila narasi politik (kepentingan) selalu dikedepankan sebagai rujukan kebijakan bagi para penyelenggara pemerintahan, maka disitulah tidak tercerminnya etikabilitas atas nama penyelenggaraan pemerintahan yang good will dan good government.

Bila acuan penyelenggaraan pemerintahan oleh pusat sampai daerah selalu berbasis kepentingan politik, terlebih telah masuk pada tahun-tahun politik, takutnya esensi penyelenggaraan dan kehidupan jadi menjauh dari substansi. Akhirnya, tujuannya pun menjadi bias. Lantas, bagaimana nasib rakyat agar benar-benar menjadi individu dan bangsa yang cerdas, makmur dan sejahtera, sesuai dengan haknya, hak hidup (kodrati) hak kebangsaan atas tanah dan air.

Selesai

Formula E Sirkuit Otomotif, Politik dan Kampanye Emisi (1)
Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Konstruksi Masa Depan Dalam Fakta Sumber Daya, Kekinian, Arah dan Harapan (1)
Primbon Komprehensif, 4 Tingkatan Hari Naas dan Cara Menghitungnya
Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Lagu ‘Pok Amai-amai’, dan Konstruksi Sosial

Terkait

Terkini