Ganja dalam Kebudayaan Dunia dan Medis

Yang dilegalkan adalah obat dari produk ganja, bukan legalisasi tanaman ganjanya.

30 Juni 2022, 14:45 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Kesehatan — Ganja dalam Kebudayaan Dunia dan Medis

“Dalam peta dunia, ganja juga disebut sebagai opium yang didengungkan oleh sebagian kelompok sebagai simbol perlawanan terhadap bentuk ketidakadilan.”

Ganja atau mariyuana dengan nama binomal Cannabis Sativa, adalah tumbuhan budidaya yang dikenal sebagai obat psikotropika. Ruang lingkup ganja termasuk dalam kategori narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Ganja adalah tanaman semusim dengan tinggi mencapai 2 meter. Bentuk daunnya menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. (wikipedia)

Praktik penggunaan ganja non medis, pada umumnya dibuat menjadi rokok untuk dihisap agar mendapatkan reaksi atau efek dari zat yang terkandung. Ganja mengandung tetrahidrokanabinol (THC) dan kanabidiol dengan efek pada pemakainya mengalami euforia. Rasa senang yang dihasilkan dengan tanpa sebab dan durasi waktu yang panjang.

Praktik merokok ganja akan merasakan efeknya antara 1-10 menit atau satu jam bila dikonsumsi (makan). Ganja masuk ke sistem tubuh terdeteksi selama 30 hari setelah digunakan.

Efek penggunaan ganja non medis dapat menyebabkan gangguan yang bervariasi, pada umumnya rasa kecemasan yang berlebihan dan mengganggu konsentrasi dan memori otak. Pada penggunaan yang berlebihan dapat memperlambat pengolahan informasi dalam otak yang mengarah ke kinerja mental menjadi lamban. Artinya mengakibatkan gangguan mental.

Ganja Pada Kebudayaan Dunia

Pada kebudayaan dunia, secara sosiologis ganja telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan untuk aneka kepentingan bahkan menjadi simbol budaya.

Di Amerika Serikat populer dengan budaya “hippie“, yang dilambangkan dengan bentuk daun ganja. Menurut wikipedia, budaya Hippie muncul sekitar tahun pertengahan 1960-an. Mereka biasa mendengarkan musik psychedelic rock. Terkadang para hippie menggunaan narkoba dan ganja yang dapat memberikan mereka efek terbang sehingga merangsang imajinasi. Dalam sebuah imajinasi seseorang yang sedang dalam pengaruh narkoba biasanya terlihat hal-hal abstrak penuh warna-warni dan memberikan efek euforia. Hal tersebut dimanifestokan dalam karya seni psychedelic art kaum hippie. Kaum Hippie ini juga kerap menggunakan pakaian yang berwarna-warni.

Dalam peta dunia, ganja juga disebut sebagai opium yang didengungkan oleh sebagian kelompok sebagai simbol perlawanan terhadap bentuk ketidakadilan. Di India, oleh sebagian aliran kepercayaan, ganja atau “sadu” sebagai produk derivatif untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap hasis melalui bong dan minum bhang dalam ritual menyembah dewa Siwa.

Di negara Belanda penggunaan ganja dilegalkan dengan syarat-syarat tertentu, seperti penggunaan ganja di tempat-tempat tertentu seperti coffeeshop (kedai kopi). Juga kepemilikan ganja hingga 5 gram untuk penggunaan pribadi tidak terjerat hukum.

Sejak tahun 1976, Belanda telah melisensi penjualan ganja yang dipisahkan sebagai obat keras (hard drugs) dan lunak (soft drugs). Belanda memasukkan ganja ke dalam kategori soft drugs.

Pada tahun 2013, negara di Amerika latin seperti Uruguay telah melegalkan ganja untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi di negera tersebut. Negara lainnya seperti Ekuador, Kolombia dan Kanada juga telah melegalkan praktik penggunaan dan jual beli ganja dengan aturan yang berbeda-beda di setiap negara.

Dikutip dari kompas.com, keputusan PBB tidak lagi mengategorikan tanaman ganja sebagai zat berbahaya, bahkan merekomendasikan ratifikasi ganja untuk mengubah ruang lingkup untuk pengendalian dan penggunaan zat ini. Keputusan tersebut didasarkan pada voting yang dilakukan oleh Commission on Narcotic Drugs (CND) yang beranggotakan 53 negara. Hasilnya, 27 negara menyetujuinya ganja untuk dilegalkan dan sisanya masih menentangnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia cukup jelas mengatur regulasi ganja dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada Pasal 8 ayat (1) menetapkan ganja sebagai narkotika Golongan 1. Dengan demikian, praktik penggunaan ganja adalah tindakan yang ilegal melawan hukum. Praktik tersebut berlaku untuk pengedar dan pengguna narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang).

Di Indonesia, pemahaman mengenai ganja terkait dengan narkotika dan psikotropika. Secara medis, psikotropika merujuk pada zat kimia yang bekerja pada pikiran, yaitu mengenai kehidupan mental sadar atau tidak sadar seseorang. Sedangkan definisi narkotika yaitu zat yang menyebabkan pingsan, relaksasi otot, dan pengurangan atau penghapusan kepekaan.

Selain regulasi di atas, berkaitan dengan narkotika diatur dengan UU No.2 Tahun 1997, sedangkan psikotropika diatur dengan UU No.5 Tahun 1997. Kedua UU ini sebagai jawaban langkah pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konferensi PBB Gelap Narkotika Psikotropika Tahun 1988.

Di Indonesia, lembaga yang mengurusi masalah narkotika dan psikotropika, termasuk di dalamnya ganja dilakukan khususnya oleh BNN (Badan Narkotika Nasional).

Di negara lainnya seperti Malaysia, Rusia, dan China, masih menolak legalisasi ganja yang dianggap masih tergolong obat berbahaya. Di Singapura, ganja ilegal untuk dikonsumsi kecuali untuk penggunaan medis.

Pendapat Ahli Mengenai Ganja Medis

Di Indonesia, baru-baru ini viral dengan aksi serorang ibu dengan anak penderita “cerebral palsy“. Dalam aksinya, ibu tersebut mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melegalkan ganja sebagai obat medis.

Menanggapi hal tersebut, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, dikutip dari ugm.ac.id, (30/6/2022) menjelaskan, bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

Senyawa lainnya dalam ganja adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.

CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

CBD telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Kendati begitu untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

Prof. Apt. Zullies Ikawati menjelaskan, bahwa ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk “cerebral palsy“, namun masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.

Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

Terkait dengan regulasi untuk legaliasai ganja medis, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

Untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari daftar obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.

Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitupun dengan ganja. Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya. (Prof. Apt. Zullies Ikawati)

Jelas sudah Nuspedian, pendapat ahli yang dapat dijadikan rujukan legalisasi penggunaan ganja untuk medis. Yang dilegalkan adalah obat dari produk ganja, bukan legalisasi tanaman ganjanya. (ASM)

6 Langkah Pertolongan Pertama Gangguan Kejang (Epilepsi)
Kemunculan Kaum Halu, Antara Gangguan Jiwa dan Cari Sensasi
CTEV, Gejala, dan Penanganannya
Temper Tantrum Pada Anak dan Cara Mengatasinya
Bullying, Pengertian dan Dampaknya (1)
Sopi Suna’ Likaf, Minuman Tradisional Timor Tengah Selatan

Terkait

Terkini