Gebyar 17-an 2024

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Gebyar 17-an 2024
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
– bahwa negara itu untuk melayani rakyat. Lantas, sejauh mana hidup rakyat Indonesia saat ini, sudah sesuaikah dengan cita-cita konstitusional. Atau dalam keadaan yang susah, miskin, menderita, itu linierkah dengan kepunyaan Tanah Air yang kaya raya ini, yang dahulunya adalah hak kodrati kebangsaan, yang saat ini dimandatkan kepada negara –
JANGAN lupa, ya, selangkah lagi menuju 79 tahun Indonesia Merdeka. Nanti, saat detik-detik proklamasi, dimanapun — kapanpun berada, terlebih bila mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka segeralah berhenti dari segala aktifitas, segera ambil posisi dengan sikap “siap” dan “hormat (bendera)”. Di jalan, di pasar, di sawah, di proyek-proyek, di kantor, di sekolahan atau ruang publik lainnya, pokoknya jangan lupa! Inilah katanya, sebagai penanda nasionalisme. Dan tentunya, ini akan menjadi role model baru dunia.
Ndilalahnya, kok ada-ada saja. Lagu “Kebyar-kebyar” dan lagu “Rindu Ini” merusak suasana selebrasi kemenangan Timnas Indonesia melawan Filipina di akhir laga, ketika Anang friends diminta panitia untuk mengisi acara tersebut. Awalnya, katanya ada 3 lagu yang diapprove dan dijadikan rundown acara, yakni lagu “Indonesia Pusaka” dinyanyikan di sesi awal, dan kedua lagu tersebut dinyanyikan di sesi akhir laga pertandingan. Tak disangka, akhirnya penonton dan pemirsa Tanah Air kecewa dengan penampilan mereka, menjadikan bad mood kehilangan chemistry. Penonton di stadion pun menyaingi lagu mereka dengan menyanyikan “Indonesia Pusaka”.
Namun tunggu dulu, ya, justru itulah gambaran atau sasmita, bahwa “Kebyar-kebyar” itu sejatinya karena memang (kita) masih berada di fase “gebyar”. Jutaan keriuhan itu selalu hadir nyata tanpa esensi yang mengandung lompatan kualitas tatanan hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara, bahkan hanya sebagai mainan saja. Maka, menjadi negara gebyar yang gigantis, memainkan ilusi dengan narasi patriotik dan nasionalistik adalah kegemaran, lupa tujuan utamanya.
Namun begitu, batin ini tidak bisa dipungkiri, rasa spiritualitas dari kalbu yang manusiawi dengan tuntunan imanensi tetaplah terasa di relung hati dari gelaran hidup yang suaranya terasa di dasar (suara) kehidupan, hingga menjadikan “pribadi-pribadi” yang “Rindu Ini”, rindu akan esensi (tujuan) kehidupan negeri, dalam posisi sebagai bangsa dan negara. Keriuhan yang terlihat di depan mata mampu dimanipulasi, tetapi tidak dengan batinnya. Maka “Rindu Ini” adalah serindu-rindunya tujuan, tujuan yang adil makmur dan sejahtera.
Namun jangan berkecil hati, mungkin akan terobati dengan agenda 17-an di IKN, yang mana telah lahir peradaban baru Nusantara, ibarat pepatah sapa sira – sapa ingsun, hebat tiada tanding sebagai bangsa kelas wahid, namun lupa bahwa pembangunan IKN di saat rakyat belum sejahtera, boro-boro sejahtera, pemenuhan kebutuhan dasar saja belum cukup berkeadilan.