Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (3)

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Geopolitik dan strategi Sultan Agung menuju kejayaan Nusantara di pentas dunia.
Strategi mengunci VOC agar Jawa tetap steril dengan konsekuensi membuat Jawa yang sudah berjaya akan kemaritiman menjadi sepi di semua jalur perdagangan dan kota pelabuhan di pantura. Hal itu tentu sudah menjadi kalkulasi politik, yang mana Jawa tidak akan kelaparan dengan menutup diri, tidak menjadikan stabilitas dalam negeri terganggu, berkat sumber daya di dalamnya.
Terlebih pada abad 15-16 telah dimulainya era kolonialisasi baru oleh bangsa Eropa, hal itu membuat peta politik global juga berubah, termasuk kebijakan tersebut yang dilakukan Sultan Agung tentu dalam kesatuan pandang politik luar negri.
Upaya sterilisasi yang dilakukan merupakan strategi dalam menyusun kekuatan dalam negri agar tidak terjadi infiltrasi dan intervensi di tubuh kerajaan-kerajaan vasal milik Mataram. Dikarenakan guna persiapan menyerang Batavia dan menguasai Banten sebagaimana maksud strategi global dengan memulainya menyatukan Jawa terlebih dahulu.
Tentu, bila skenario itu berhasil, sudah dapat ditebak arahnya, yaitu menyatukan Nusantara. Apakah penyatuan tersebut berbentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Gowa dan Melayu, ataupun mereka saling bertempur atas tidak adanya kesepakatan kekuasaan tunggal atas Nusantara, yang jelas kedua pilihan politik tersebut pasti terjadi.
Tinggal satu kekuatan bahari di Jawa-Sunda yang mengganggu proyeksi politik Mataram, yaitu VOC di Batavia dan menundukkan kasultanan Banten yang dianggap tidak satu visi dengan Mataram atas pulau Jawa. Yang mana VOC telah diijinkan oleh kesultanan Banten membuka pos perdagangan di Sunda Kelapa.
Lagi-lagi penafsiran sejarah Sultan Agung saat ini atas proyeksi politiknya dianggap memundurkan kemaritiman Jawa. Tetapi sesungguhnya justru ingin membangun Mataram dengan desain kemaritiman yang total dikuasai negara, sekalipun di perintah dari dalam yang jauh dari kebudayaan maritim, itu tidak masalah, hanya soal teknis.
Tetapi, cita-cita tersebut tidak pernah terwujud, strategi yang telah dijalankan dengan proyeksi politik global harus terkubur dalam-dalam karena kekalahan Mataram dalam menyingkirkan VOC dari Sunda Kelapa, dan setelahnya justru Jawa jatuh ke tangan VOC.
Mataram gagal dalam mendesain global atas kekalahan tersebut, dilanjutkan kejatuhan Mataram atas penerusnya yang kurang cakap. Andai juga, Mataram berhasil menundukkan Batavia, akan seperti apa Indonesia sekarang dalam desain gabungan negara agraris-maritim. Tentu, menjadi macan dunia di abad 22 ini bukan isapan jempol, bahkan revolusi tatanan 4.0 dimulai oleh Indonesia.
Dan, mungkin juga, semua itu hanya nafsu ambisi Sultan Agung sendiri atas hegemoni kekuasan (tunggal) yang memabukkan, tanpa konsep yang jelas akan haluan bernegara meski menang terhadap Batavia. Namun, terlalu berlebihan bila analisisnya demikian, dilihat dari cara dan langkahnya itu sangat logis dengan manajemen yang terencana, terstruktur dan massiv dalam actionnya. Berarti bukan semata ambisius kekuasaan.
