Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)

Mengobok-obok kebijakan, menyusupkan spionaze, mengutus agen-agen, mendikte regulasi. Teknik intervensi dan infiltrasi berhasil masuk dalam inti kekuasaan.

6 April 2022, 11:04 WIB

Nusantarapedia.net — Geopolitik negara dan sumber daya

Wilayah darat, laut dan udara didiami oleh sekumpulan individu yang disebut entitas sosial masyarakat atau rakyat yang dipimpin oleh kekuasaan, diatur melalui kesepakatan bersama dalam wadah organisasi (negara).

Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya (KBBI).

Pengakuan dari bangsa lain bukan pokoknya, karena manusia dan wilayah tersebut adalah pribumi (indigenous) yang turun temurun, sedangkan legitimasi dari luar hanyalah konsensus hasil kompetisi. Dengan demikian, kemerdekaan dan kedaulatan itu anugrah, luar negri (Indonesia) tidak menjadi keharusan tujuan selama tidak mengganggu dan diganggu, atau oleh keadaan yang sifatnya force majeure mendunia.

Fokus hubungan antar negara sebagai geopolitik dalam negeri menjadi hubungan geostrategi ke luar negeri pada pokoknya mengenai hal global yang tidak menjadi keharusan kebijakan dalam negeri. Sifatnya lebih pada hubungan menjaga ketertiban dan perdamaian dunia, seperti amanat dalam pembukaan UUD 1945.

Dengan demikian, geopolitik dalam negri tetap sebagai prioritas, mutlak atas penguasaan hajat hidup rakyat yang berkemanusiaan, berkeadilan dan beradab. Tidak boleh ada satu kekuatan luar negeri yang meng-intervensi, meng-infiltrasi, atau meng-invasi kedaulatan dalam negeri.

Meski era globalisasi dan pasar bebas saat ini seolah menjadi keharusan, namun bukan hal prinsip dalam pengelolaan politik dalam negeri, terutama untuk menuju pada tujuan negara yang adil makmur sesuai cita-cita konstitusi. Justru pasar bebas globalisasi diciptakan oleh kekuatan global untuk menguasai atau menumpang hidup pada negara-negara dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang melimpah seperti Indonesia.

Dengan demikian, saat ini erat relasi antara narasi globalisasi dengan kebijakan politik dalam negeri. Hal ini menuju pada pembahasan dalam kerangka kedaulatan, termasuk kedaulatan kebijakan ekonomi. Kebijakan yang dimaksud erat dengan cara pandang haluan bernegara dengan pilihannya sebagai negara yang berdaulat penuh dari sisi politik dalam negeri, atau berhaluan liberal kapitalistik, neo liberal bahkan evolusi gaya baru kapitalisme, bahkan saat ini menghadapi revolusi industri 5.0.

Perjalanan entitas kebudayaan oleh bangsa-bangsa dunia, dipahami sebagai bentuk peradaban, menuju pada bentuk yang lebih jelas menjadi definisi negara sebagai wadah. Peradaban modern saat ini, tidak mewakili kebangsaan secara rinci, tetapi mengerucut pada batas-batas negara atau mewakili atas nama negara. Dalam hal ini negara Indonesia, sebagai dampak dari dinamika global dalam ruang lingkup hubungan antar negara.

Dari landasan pemahaman di atas, pokok hidup oleh entitas negara seisinya adalah merdeka. Bila ditinjau dari aspek strategi kebudayaan, pergumulan didalamnya dengan kompleksitas masalah yang membawahi kehidupan berbangsa dan bernegara melahirkan konsep mitologi dan agama sebagai panduan dan sandaran yang memerdekakan. Dalam hal ini Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah final. Indonesia tidak bisa menjadi negara sekuler sebagai spirit negara dari nafas kultural bangsa.

Setelahnya, memunculkan alat-alat geopolitik negara untuk mencapai tujuan, yaitu ideologi negara, dalam hal ini Indonesia dengan ideologi Pancasila sebagai landasan konstitusi negara.

Ancaman, gangguan dan potensi didalamnya sebagai bentuk ketahanan (survival) dan cita-cita, secara teknis menghasilkan aneka rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadikan bentuk tatanan dan tata kelola administratif. Komponen tersebut menjadi dikenali dengan ciri fisik dan karakter berupa watak dan mental sebagai bangsa atau negara. Dalam hal ini sebagai bentuk tata kelola pemerintahan, seperti aspek regulasi, good will, good government, profesionalitas, dsb.

Sumberdaya yang dimaksud (Indonesia) karena kaya potensi alam dan demografi menjadikan banyak pilihan. Berasal dari solar system (space) di tempat kebumian (the place) Indonesia, sebagai identifikasi potensi untuk menentukan langkah kebijakan sebagai geopolitik dalam negeri. Apakah memilih menjadi negara dengan pendekatan agraris, maritim, maupun industri.

Dengan demikian, geopolitik dalam negeri menjadi satu kesatuan pandang sebagai geostrategi negara. Dalam hal ini Indonesia cukup jelas arahnya berpedoman pada isi Pancasila dan UUD 1945.

“Harusnya tidak mengikuti sistem dan pola yang diciptakannya, baik dengan perlawanan frontal maupun boikot halus, tanpa harus menarik diri dalam percaturan globalisasi, menempatkan politik bebas aktif yang merdeka dan berperi-kemanusiaan.”

Melihat kenyataan tersebut, tiada satupun pemodelan yang jitu untuk menguasai Nusantara, kecuali menciptakan dan memanfaatkan perang saudara (intrastate conflict) dan adu domba pecah belah.

Sejarah Kolonialisme Indonesia

Eropa dan bangsa (negara) lain contohnya, pada awalnya di Nusantara murni aktifitas ekonomi, disusupkannya dasar kemiliteran, dikonfigurasikan dalam alat politik, dipraktekan dengan taktik, dileburkan dalam entitas sosiologis, dipertahankan dengan penguasaan informasi.

Bermula dari keadaan kebumian yang tidak memenuhi hajat pokok dan keinginan, mengharuskan pelayarannya ke negri timur (ekspansi), konsekuensinya (niat) mengganggu, akan tetapi produktif dan sustainability sebagai upaya pertahanan, bahkan berbalik menguasai dengan me-monopoli ekonomi dan kekuasaan pada akhirnya.

Akan stuck bila yang lemah (dalam negeri) berhasil membuat sistem protektif dengan umpan balik produktifitas (kedaulatan-mandiri) kepada kolonial. Menjadi kalah (terjajah) karena budaya konsumtif (misalnya) diterapkan, terjebak dan terbelenggu dalam jerat sistem yang mereka buat.

Harusnya tidak mengikuti sistem dan pola yang diciptakannya, baik dengan perlawanan frontal maupun boikot halus, tanpa harus menarik diri dalam percaturan globalisasi, menempatkan politik bebas aktif yang merdeka dan berperi-kemanusiaan.

Nusantara, tongkat batu jadi tanaman, udang dan ikan menghampiri, matahari terus bersinar, tanpa kedinginan dan kepanasan, dalam pokok lingkungan geografi yang ideal untuk kelangsungan bangsa dan negara.

“Gemah Ripah Loh Jinawi,” menjadikan keadaan tidak membentuk sebagai mental penjelajah dan penjajah, dirasa mencukupi, pokok makmur (laras, ayem-tentrem, makmur).
Resikonya diganggu, terlena, nina bobo, unproductive (stuck). Keberlangsungannya mengandalkan cadangan sumber daya alam. Disitulah akhirnya Indonesia menjadi ajang pasar bebas dunia dan menjerat ketergantungan bangsa pribumi sendiri (jerat sistem).

Candi Borobudur dibangun tahun 782, akhir kegelapan Eropa tahun 1500. Kertanegara sudah punya Djung atau kapal besar dalam ekspedisi Pamalayu (1275). Tahun 1500-1800 Eropa dalam periode modern awal pembentukan kebudayaan, puncaknya revolusi Prancis 1789 dengan dimulainya periode modern sebagai cikal bakal peradaban modern saat ini.

Tahun 1568, Demak sudah runtuh setelah berjaya dengan maritimnya, 1613 Mataram sudah berada di puncak peradaban, dengan rekonsiliasi kebudayaan ala Sultan Agung.
Fakta ini hanya menegaskan bahwa kita tidak kalah start, bukan bangsa mallon juga borjuis maupun chauvinisme, utopis, overproud, underestimate dengan mental inferiority, penjilat dan lemah.

Melihat kenyataan tersebut, tiada satupun pemodelan yang jitu untuk menguasai Nusantara, kecuali menciptakan dan memanfaatkan perang saudara (intrastate conflict) dan adu domba pecah belah.

Perang saudara yang dimaksud sejak kedatangan bangsa asing, kita ambil contoh perjalanan bangsa Jawa (Nusantara) dari tahun 1680-1945. Selama 265 tahun, bagaimana politik penjajah dengan “divide et impera” berhasil memecah Mataram menjadi empat matahari kembar, dan terus dijalankannya taktik itu, hingga berakibat akumulasi kekecewaan bangsa pribumi dengan lahirnya Kebangkitan Nasional hingga Proklamasi 17-8-1945, sebagai akumulasi penderitaan dan ketertindasan bangsa pribumi.

Dampak terbesarnya adalah perubahan karakter, mindset dan mentalitas yang mentradisi, terjebak dalam sesat kompetisi lokal, “plenyak-plenyek”, penjilat, ego, kompetitif, dan lainnya.

Penggunaan taktik yang kotor dengan pembenturan internal dan potensi sumber daya sangat efektif dan efisien. Saling jegal, berkomplot, ber-afiliasi, penikaman, pembunuhan karakter, tipu daya, pinjam tangan, menjilat, mencari kambing hitam, provokasi, mengambil situasi, melempar umpan, memperlemah persepsi, mengalihkan perhatian, menebar isu, balas dendam, membuat jebakan, menyerang psikologis, dan skandal, serta penyuapan kompensasi.

Sementara taktik dijalankan, skenario diplomasi, pertahanan, dan penguatan struktur komponen disiapkan menuju perundingan, bila gagal mobilisasi menuju chaos dan perang terbuka dijalankan.

VOC contohnya, taktik dan teknik tersebut di lempar kepublik (berkaitan hajat hidup), sedang strategi perongrongan melalui episentrum kekuasaan dan distribusi dari dalam dikuasai. Kuasa informasi telah benar-benar menjadikan VOC kuat di Nusantara.

Mengobok-obok kebijakan, menyusupkan spionaze, mengutus agen-agen, mendikte regulasi. Teknik intervensi dan infiltrasi berhasil masuk dalam inti kekuasaan.
Setelah berada dilingkaran, membuat narasi framing dengan kajian ilmiah, riset, naskah akademik berbasis data (big data) yang disetting, digunakan untuk mengintimidasi kebijakan, bahwa paramater dan indikator didalamnya sangat urgen untuk dilakukan perubahan, hingga invasi terselubung berhasil masuk dengan argumentasi kekurangan stok sdm dan sda.

“Divide et Impera,” dengan menciptakan situasi dan kondisi penuh kompensasi, ketegangan distabilisasi menjadi stabilisasi dengan syarat tertentu (bargaining). Ini terus berangkai dengan skema antonim, disintegrasi-integrasi, yang akhirnya dijembatani dengan langkah kompromi sebagai solusi namun merugikan dalam negeri.

Titik bidik itu berhasil mengabstraksi dua kompenen pokok, penguasa dan rakyat. Dimulai dari penggerusan karakter (jati diri), mentalitas dan mindset. Hasilnya, harkat-martabat dan kehormatan bangsa runtuh, tidak berdaulat dan mandiri, atas ketidakadilan, ketimpangan yang terjadi dimana-mana, kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan yang sengaja diciptakan dengan jerat sistem, seperti membelenggu dalam sistem distribusi “supplay and demand.”

Kondisi seperti ini yang tidak diinginkan oleh bangsa dan negara manapun di dunia.

bersambung bagian 2 …

Human Development Index — Indek Pembangunan Manusia

Geopolitik Negara dan Sumber Daya (2)
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1)
Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)

Terkait

Terkini