Gibran Idola Elit Indonesia, Spekulasi Deklarasi PRABOWO-GIBRAN, Peng-Golkar-an hingga Jurkamnas PDIP
Maka peta jalan bahwa endorsement Jokowi itu adalah Prabowo, dan pasangan Prabowo itu adalah Gibran, dapat dibaca berdasarkan analisis, sbb.

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Gibran Idola Elit Indonesia, Spekulasi Deklarasi PRABOWO-GIBRAN, Peng-Golkar-an hingga Jurkamnas PDIP
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Tak lain, pada Sabtu (21/10/2023), bahwa Gibran akan diumumkan sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju,”
– Airlangga Hartarto rela dengan tidak menjadi cawapres Prabowo pilihan Jokowi, dan setuju diisi dengan nama Gibran, tetapi dengan syarat, terlebih dahulu Gibran di-Golkar-kan, –
JOKO Widodo adalah Presiden RI ke-7, dalam pandangan spiritual saya setidaknya hingga masa jabatan presiden berakhir, adalah sosok yang dinaungi para malaikat penjaga keselamatan dan pembawa keberuntungan. Dalam kosmologi Jawa, bahkan lelembut tanah Jawa yang ada di Utara, Selatan, Timur dan Barat pun tunduk padanya. Apa yang diinginkannya dapat tercapai — terlaksana.
Terlepas dari kepemimpinannya dalam menahkodai Indonesia dengan memenuhi aspek pemimpin berbasis “Astabrata Ratu Gung Binantara” tercapai atau tidak, tulisan saya kali ini tidak membedah sejauh mana pemerintahannya berlabel good government-governance. Tetapi preferensi kebijakannya secara politik, selama kepemimpinannya bisa dikatakan sebagai pemimpin “manusia setengah dewa”. Jokowi tak terkalahkan! Jokowi menangan!
Jokowi figur kuat, loveable, hingga berposisi dalam poros yang penting/menentukan, yakni “Jokowi Factor”. Mengingat pula, PDIP kokoh bergelora karena peran Jokowi, “Jokowi Effect”. Belum lagi, Jokowi sosok yang ulung dalam hal politik “tukar tambah”, “sekakmat” dan “bargaining”. Hampir semua lawan politiknya dibuat tak berkutik — tak berdaya. Pada pokoknya, Jokowi menguasai di semua lini kekuasaan dalam konfigurasi politik dan pemerintahan.
Jokowi adalah pengambil keputusan yang berani (pemberani). Lagi-lagi dalam pandangan spiritual saya, saya yakin, satu hal yang saya mengakuinya, bahwa sosok Gibran persis seperti ayahandanya, dan itu luar biasa, yaitu aspek “MENTAL”. Keberanian Jokowi dalam memutuskan hal-hal besar dalam kapasitasnya sebagai presiden, maupun dalam preferensi kebijakan politiknya, sangatlah sulit untuk dibendung. Dan darah itu mengalir pada diri Gibran.
Gibran di usia yang masih muda, mampu untuk itu, kuat untuk itu, sebagai modal untuk kepentingan politik di level Nasional, yang mana Gibran mampu bergelut dalam lebatnya rimba politik Indonesia. Bibit keberanian pada diri Gibran itu terbaca jelas.
Senada, dibaca dari peta jalan “cawe-cawe” yang dilakukan oleh Jokowi, dalam kesatuan pandang “dinasti”. Khusus bicara soal Gibran Rakabuming Raka, bahwa Gibran yang sesungguhnya dalam konteks ini tak sekedar narasi selama ini yang berkembang (plus-minus) di jagat Tanah Air, namun pada pokoknya, bahwa keluarga adalah orang yang jelas-jelas terpercaya dalam rangka melanjutkan legacy (proyek-proyek/deal-deal itu) dan jaring pengaman yang jelas setia 99,99 persen, apabila di akhir kepemimpinannya ada jerat hukum. Untuk itu, Gibran tetap dipasang sebagai cawapres Prabowo, bukan tanpa alasan.
Maka dari itu, pilihannya, sama-sama hasil penataannya, memilihkan cawapres untuk Prabowo dengan opsi nama Erick Thohir dan Gibran, tetaplah Gibran yang paling tepat. Selain juga, ketulusan Prabowo selama ini kepada dirinya ditambah kemampuan Prabowo yang diukur mampu untuk mengcover kepentingan Jokowi.
Bagi Prabowo, dengan mengubah haluan politik dari mantan rival Jokowi dan posisi Gerindra sebagai oposisi, berbalik menjadi dalam satu kabinet Jokowi, itu membuktikan bahwa, jalan kemenangan Pilpres 2024 Prabowo presiden, tetap mudah ditempuh dengan pilihan setia dan pasrah kepada Jokowi, dari pada berseberangan dengan Jokowi. Akhirnya, hingga keputusan siapa cawapres Prabowo tetap mengikuti pilihan Jokowi, itu masuk akal. Maka, Jokowi dan Prabowo itu bagai “tumbu oleh tutup”, klop.
Sementara terkait dengan Megawati (PDIP), rivalitas keduanya selama ini dalam kepentingan positioning politik dan banyak kepentingan lainnya acap kali putus nyambung. Tentu itu wajar, tidak sepenuhnya Jokowi mau di bawah kendali Megawati yang itu PDIP, karena Jokowi adalah presiden yang dipilih rakyat, tidak etik bila diposisikan sebagai presiden petugas partai. Sebaliknya, gaya paternalistik Megawati di PDIP juga benar, mengingat Jokowi menjadi presiden atau Gibran dan Bobby menjadi wali kota berkat kendaraan PDIP, tepatnya atas jasa Megawati. Selain secara moril, Megawati merasa lebih di atas Jokowi.
Maka, rivalitas dua poros figur berpengaruh ini (Megawati-Jokowi) ada benarnya, dilihat dari riwayat dinamika politik keduanya. Namun untuk kali ini, jelang suksesi presiden yang terkait dengan masa depan eksistensi dinasti Jokowi, bahwa kalkulasinya, secara politik Jokowi sudah tidak diuntungkan di PDIP, kecuali Jokowi Ketua Umum PDIP yang itu dirasa tidak mungkin. Sebaliknya bagi Megawati, PDIP itu trah Soekarno, di samping Megawati sendiri adalah tipe yang seirama seperti Jokowi pula. Memang Megawati dihadapkan pada situasi pemurnian vs pragmatisme.
Dengan beragam view membaca kemana endorsement Jokowi, bagaimana sikap Megawati, maka pada akhirnya keputusan-keputusan sulit itu ada pada keduanya, meski Jokowi dalam konteks ini dengan keberaniannya terlihat akan memutuskan, yaitu keputusan menata pasangan Prabowo-Gibran. Ibaratnya, “terlanjur basah, ya, mandi sekalian.” Artinya dinasti Jokowi sudah all out, lossdoll, “apa yang terjadi terjadilah,” termasuk jika ada sangsi dari PDIP.
Sementara, bagi kubu PDIP, kehilangan Jokowi adalah sesuatu yang tidak diharapkan, maka sikap PDIP yang kadang galak dan lentur, tetap secara frame selalu terbuka dengan Jokowi, berharap, Jokowi tetap berada di PDIP, juga untuk kemenangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud.