“Gonjang-ganjing” Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup
Belajar dari pengalaman sebelumnya pada tiga kali gelaran Pemilu, sistem proporsional terbuka dirasa cukup demokratis, tidak memilih kucing dalam karung, serta dengan alasan demokrasi itu sendiri, seperti hak dipilih dan memilih, juga hak konstitusional rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung, dirasa masih cukup relevan, kecuali amandemen UU No. 7 dan UUD 1945, guna mendapatkan sistem pemilu yang ideal. Itupun harus di luar tahapan Pemilu
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — “Gonjang-ganjing” Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proposional Tertutup
“Hal ini yang ditangkap sistem proporsional tertutup menguntungkan partai-partai yang sudah mempunyai brand, dan menjadi kelemahan bagi partai baru yang belum mempunyai basis pemilih ideologi, serta tidak adanya greget dari para caleg yang enggan untuk berkompetisi di sesama internal, karena perhitungannya, hanya akan menguntungkan caleg di nomor atau ranking atas. Dampaknya, suara partai middle atau partai bawah perolehan suaranya tidak terdongkrak atas movement para caleg.”
SISTEM Pemilihan Umum (Pemilu) “Proporsional Terbuka” sebagaimana yang sudah diterapkan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019 masihlah cukup relevan untuk sistem Pemilu 2024. Dasar argumentasinya, ketiga Pemilu terakhir dengan menggunakan sistem proporsional terbuka hasil dari penyempurnaan Pemilu 2004 yang menggunakan sistem “Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka” dan sebelumnya, pemilu pertama 1999 pasca reformasi dengan sistem “Proporsional Tertutup”.
Pemilu 1999 yang pyur proporsional tertutup, adalah pemilu multipartai pertama yang digelar pasca orde baru, yang mana sebelumnya peserta pemilu hanya disederhanakan menjadi 3 partai.
Sedangkan Pemilu 2004, daftar calon anggota legislatif terpampang pada surat suara pemilihan. Bagi DCT (daftar caleg tetap) yang memperoleh suara sebesar BPP (bilangan pembagi pemilih), maka berhak lolos menduduki kursi. Apabila tidak ada yang mencapai BPP, dan secara keseluruhan suara partai memperoleh kuota kursi, maka yang berhak duduk adalah DC (daftar caleg) berdasarkan nomor urutan DC. Bila partai mendapatkan dua kursi di daerah pemilihan (dapil), maka caleg nomor 1 dan 2 yang berhak melenggang.
Kemudian, pada Pemilu 2009, MK (Mahkamah Konstitusi) merubah sistem Pemilu menjadi proporsional terbuka. Secara teknis, DC terpampang di surat suara, sama seperti Pemilu 2004. Perbedaannya, yang berhak duduk sebagai wakil rakyat adalah yang suara by name calegnya terbanyak. Misalnya, total suara partai dan suara caleg mendapatkan tiga kursi, maka yang berhak duduk adalah caleg dengan perolehan tertinggi 1, 2 dan 3. Dalam hal ini nomor urut caleg tidak terlalu penting.
Secara teknis lainnya, sistem Pemilu 2004 menjadi sah apabila dicoblos partai dan calegnya (maka suara akan dihitung menjadi pemilik DC), dicoblos partainya saja sah, dicoblos calegnya saja tidak sah. Sedangkan Pemilu 2009 hingga 2019 dicoblos partainya saja sah, calegnya saja sah, dan keduanya juga sah.
Hal ini yang ditangkap sistem proporsional tertutup menguntungkan partai-partai yang sudah mempunyai brand, dan menjadi kelemahan bagi partai baru yang belum mempunyai basis pemilih ideologi, serta tidak adanya greget dari para caleg yang enggan untuk berkompetisi di sesama internal, karena perhitungannya, hanya akan menguntungkan caleg di nomor atau ranking atas. Dampaknya, suara partai middle atau partai bawah perolehan suaranya tidak terdongkrak atas movement para caleg.
Buah dari reformasi, termasuk amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menjadikan perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia ihwal landasan konstitusi negara, termasuk penyelenggaraan Pemilu. Memang ada sisi kelebihan dan kekurangan dampak dari lahirnya era reformasi. Salah satu kelebihannya adalah demokratisasi politik yang tumbuh, terutama pada kebebasan berpolitik (parpol). Kelemahannya, arah ekonomi berciri neoliberal kapitalistik.
Saat ini muncul isu bahwa sistem Pemilu 2024 akan dirubah ke sistem proporsional tertutup, bisa ala 1999 atau 2004. Hal ini diawali dari gugatan uji materiil UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atas Pasal 168 ayat (2), oleh para pemohon ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mana memohon agar sistem Pemilu dirubah ke sistem proporsional tertutup.
Nah, pertanyaannya, apakah MK akan mengabulkan permohonan tersebut, yang mana menurut informasi yang berkembang, MK akan memutuskan hal ini pada awal Juni, yang mana setelah ke-9 hakim berembug soal ini.
Sebelumnya, bahwa dari 9 parpol parlemen, PDIP mendukung sistem proporsional tertutup, sedangkan ke-8 partai (fraksi) lainnya di DPR menolak sistem ini dengan menghendaki Pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka. Dibaca, incumbent/kekuasaan (“status quo”) lebih condong ke sistem proporsional tertutup.
Denny Indrayana seorang pakar hukum, telah membocorkan kepada publik, bahwa dirinya mengklaim mendapatkan informasi A1, bahwa para hakim akan mengabulkan gugatan tersebut, dalam pokok, sistem pemilu akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Akhirnya, menjadi isu nasional, spekulasi dan tafsir-tafsir pun mengemuka di seluruh lapisan, juga sebagai keniscayaan.
Tak sedikit yang menilai, bila itu benar, maka ruhnya mengkhianati amanat reformasi dengan kembali menghidupkan semangat orde baru yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.