Harga Sebuah Kejujuran
Lama Pak Malik tersuruk dalam sujud syukurnya. Tak hentinya rasa syukur dia ucapkan. Dia benamkan kepala di atas lantai rumahnya yang masih plester tanpa keramik

Nusantarapedia.net — Harga Sebuah Kejujuran
“Satu lagi, besok setelah lebaran saya meminta anda untuk bekerja sebagai cleaning service di salah satu anak cabang perusahaan saya. Kebetulan, letaknya tidak jauh dari sini. Dan kebetulan juga sedang membutuhkan tambahan pekerja.”
Namanya Pak Malik, seorang lelaki bertubuh kurus dengan ukuran tinggi standar, berkulit gelap dengan rambut ikal. Tahun ini genap berumur lima puluh lima tahun. Tanda usia yang sudah tidak muda lagi mulai kentara.
Siang ini, dia terlihat melangkahkan kaki panjangnya yang dibungkus sepatu booth di antara gunungan sampah yang baru saja datang. Dia dan beberapa orang lainnya segera berebut mencari-cari barang bekas yang sekiranya masih bisa di jual, meski hanya sebagai barang rongsok.
Perjalanan hidup memang tak memberinya banyak pilihan. Sejak pandemi melanda negeri ini, Pak Malik menjadi salah satu dari ratusan karyawan yang harus di rumahkan. Entah untuk sementara waktu atau selamanya. Tak ada yang tahu.
Sejak berstatus pengangguran, segala macam pekerjaan sudah lakoninya. Dia pun sudah mencari pekerjaan dari toko ke toko. Namun, memang kondisi dan keadaan yang belum memungkinkan, belum ada pekerjaan yang betul-betul menjadi sandaran untuk melanjutkan hidup dan mengais rejeki. Tidak ada toko yang membutuhkan karyawan di masa pandemi ini.
Sampai suatu hari dia bertemu dengan Kang Haris, tetangga sebelah yang sedang berjalan mencari barang-barang bekas dengan karung di punggungnya. Melihat itu cukup mengusik keingintahuannya.
“Cari apa, Kang?”
“Ini cari barang rongsokan. Kalau dikumpulkan lumayan bisa dapat duit.”
“Jualnya di mana, Kang?” tanya Pak Malik tertarik.
“Pengepul barang rongsokan. Tidak jauh kok, di ujung jalan dekat balai desa sana. Sembarang jenis rongsok bisa dijual di sana. Ada kertas, plastik, besi, dan lainnya. Ada harga tersendiri dari setiap jenisnya.”
“Oh, ya. Terima kasih infonya, Kang.”
“Iya, sama-sama. Dalam kondisi seperti ini yang ada hanya bagaimana caranya agar dapur tetap ngebul. Nggak usah mikir untuk dapat uang yang banyak. Dan harus meninggalkan ego kita. Satu yang pasti, tidak boleh jaga gengsi.”
Sejak pertemuan dengan Kang Haris, ada sebuah keinginan di pikiran Pak Malik untuk mengikuti jejak Kang Haris dalam mencari rupiah melalui barang rongsok. Benar apa yang di bicarakan Kang Haris. Untuk saat ini yang penting dapur ngebul, dan kendil ora guling (maksudnya tetap bisa masak dan makan untuk sehari-hari).
“Pak, beras tinggal satu muk*. Sementara minyak, gula dan bumbu dapur lainnya juga sudah habis.”
Itu adalah laporan perbelanjaan yang di ungkapkan Hidayah, istri Pak Malik dengan perasaan gelisah.
“Sabar sebentar. Hari ini utang dulu di tempat Lek Marsih, ya?”
“Tapi, Pak, utang yang bulan kemarin aja belum dibayar. Apa masih boleh kita pinjam lagi?”
“Ya, dicoba aja dulu. Paling tidak kamu bisa masak untuk buka puasa nanti. Terpenting untuk anak-anak. Kasihan kalau mereka sampai kelaparan saat buka puasa nanti.”
Hidayah pun segera berlalu, kemudian ke warung Lek Marsih yang berada dua puluh meteran dari rumahnya. Tubuhnya yang memang berperawakan kecil semakin kelihatan ceking sejak masa pandemi ini.
Dia harus berpikir keras, bagaimana caranya tetap bisa masak dengan budget yang nyaris tidak ada. Hanya dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah, yang diberikan satu bulan sekali. Semua itu tentu kurang untuk mencukupi segala kebutuhan hidup. Namun, bagaimana pun, dia tetap bersyukur, paling tidak ada uang masuk.
Seperempat jam sesudahnya, Hidayah bisa sedikit tersenyum karena pulang dengan membawa sekantong belanjaan sesuai kebutuhan. Meski untuk itu, catatan utangnya bertambah. Itu tak mengapa yang penting dia bisa masak untuk buka puasa nanti.
Setelah itu Hidayah pun sibuk memasak di dapur, untuk persiapan buka puasa. Semua tetap harus di syukuri, apalagi melihat kedua anak gadisnya tumbuh sehat. Toh rejeki nggak melulu tentang materi. Kesehatan pun termasuk rejeki yang tak ternilai. Dan kadang kita tidak menyadarinya.
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Kumandang azan Magrib menjadi pertanda sebuah kemenangan untuk mereka yang menjalankan puasa.
Dua gadis cilik Pak Malik yang bernama Sahila dan Samara, mengembangkan senyum saat di meja makan ada menu kesukaan mereka yaitu oseng-oseng kacang dan tempe pecak*. Meski mereka belum bisa puasa full sampai Magrib, mengingat keduanya baru berusia enam dan tujuh tahun. Jadi, masih dalam tahap pengenalan puasa.
Keceriaan mewarnai wajah polos anak-anak itu. Mereka belum tahu getirnya kehidupan orang tua yang harus dijalani saat ini. Terlebih pasca bapak mereka ‘dirumahkan’ dari tempatnya bekerja, yang sudah selama tujuh tahun mengais rejeki dari sana.
Dari pekerjaannya selama ini pun, hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
***
Siang ini begitu terik, langit berwarna biru cerah dan tak ada awan yang menutupinya. Berkali-kali Pak Malik mengusap peluh yang menetes di keningnya. Dengan masker seadanya, dia berjibaku dengan gunungan sampah yang ada di TPA. Aroma sampah tetap menganggu indera penciumannya. Namun, dia sudah bersahabat dengan bau dan kotor yang tercipta dari banyaknya sampah.
Dipikirannya saat ini yang ada hanya mencari rejeki yang halal. Walaupun harus dengan jalan yang tidak semua orang mau. Namun, Ini ada pilihan hidup yang harus dijalankan. Toh hasilnya lumayan untuk bertahan hidup.
Kerongkongan terasa kering, pandangan mata pun memicing saking teriknya. Dan saat kondisi panas seperti ini, memang penuh cobaan untuk orang yang melaksanakan puasa. Sebelumnya berangkat tadi Pak Malik sudah berwudu dan salat Dhuha. Tak lupa dia membaca Al-Quran walaupun hanya satu atau dua lembar.
Dilihatnya, ada teman-teman yang membatalkan puasa dengan meneguk air mineral yang ditemui di sekitar sampah. Tak ada lagi rasa jijik atau enggan meneguknya, biarpun tahu itu adalah sisa orang. Tak mengapa, yang penting mereka mendapatkan tanpa harus mengeluarkan uang.
Pak Malik tetap pada pendiriannya untuk tetap meneruskan puasanya. Meski dengan berkali-kali meneguk ludah, untuk sekadar membasahi kerongkongan yang terasa kering.
Dia teringat surat Al Baqarah ayat 183 dalam Al-Quran, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Pak Malik pun berpikir, sayang banget kalau sampai batal puasanya. Jangan sampai rugi dunia dan rugi ahirat. Biarlah sengsara di dunia, asal besok di akhirat mendapat kebahagiaan, karena akhirat sebenar-benar tempat kembali.
Tangannya yang menghitam akibat sengatan matahari, dengan cekatan memilah-milah jenis barang yang bisa diambilnya, kemudian dimasukkan dalam karung yang sudah menjadi teman setianya setahun belakangan ini.
Tak ada keluhan yang keluar dari mulut Pak Malik. Malah sebaliknya, dia melakukan pekerjaan itu sambil melantunkan Solawat Tibbil Qulub. Dia pun senantiasa ikhlas menerima ujian dari-Nya.
‘Srekk!’
Tiba-tiba tongkat yang digunakan untuk memilah barang rongsok, tersangkut pada sebuah kantong kresek hitam yang berukuran cukup besar. Diraihnya kresek itu dengan kedua tangannya karena cukup berat. Karena penasaran, dia buka kresek itu untuk tahu apa isinya.
Seketika ucapan Subhanallah mengalun lirih dari bibirnya, tatkala ada banyak lembaran uang berwarna merah dalam kresek hitam itu. Tangannya sedikit bergetar.
Pak Malik terkejut dengan apa yang ditemukannya. Dia betul-betul bingung, tak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan temuan itu. Tak pernah dia melihat dan memegang uang sebanyak itu.
Setelah melihat situasi sekitar dan meyakinkan diri tidak ada yang melihat. Dengan cepat Pak Malik memasukkan bungkusan kresek hitam ke dalam karung. Dia biarkan kresek itu menyatu dengan barang rongsok yang sebagian besar hanya terdiri dari botol-botol bekas air mineral. Dia harus bersikap biasa saja, agar tidak ada yang curiga saat nanti ada teman sesama pengais sampah melihatnya. Kalau sampai ketahuan teman-teman yang lain akan beda ceritanya.
“Hidayah, istriku, cepat kemari!”
Pak Malik memanggil dengan suara keras dan cukup mengagetkan Hidayah yang baru saja terlelap bersama kedua gadis kecilnya.
“Ono opo tho, Pak. Kok berisik sekali, tidak seperti biasanya?”
Pak Malik menarik nafas panjang dan mengeluarkan dengan pelan. Hidayah melihat tingkah Pak Malik denga penuh rasa penasaran.
“A_aku tadi menemukan sesuatu saat nyari rongsokan di TPA biasanya. Ini…,” kata Pak Malik sambil menunjukkan apa yang dia temukan. Istrinya terbelalak tak percaya dan menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tidak menjerit saking kagetnya.
“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan dengan temuan ini, Dayah?” tanya Pak Malik meminta pertimbangan istrinya.
“Mungkin itu rejeki dari Allah, Pak. Ambil saja beberapa untuk kebutuhan kita selama Ramadan ini.”
“Huush! Ojo ngawur. Itu bukan hak kita, Dayah. Siapa tahu sekarang pemiliknya sedang bingung mencari-cari uang itu. Kasihan, kan. “
“Ya, sudah, terserah Bapak aja mau di apakan uang itu.” Hidayah pun mendesah kecewa.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan kepada Pak RT setempat. Di sana ada anak Pak RT yang bersedia men_share hasil penemuan itu wall pribadinya dan juga di grup-grup yang ada. Setelah menyerahkan uang itu, perasaan Pak Malik lega. Sebagai orang biasa dia malahan tidak tenang memegang uang sebanyak itu. Dia tak mengambil barang selembar pun. Meski dia tahu, saat ini amat sangat membutuhkan uang. Namun, dia tetap tidak menghalalkan segala cara. Dia tahu, uang itu bukan haknya.
“Pak, coba kita ambil uang itu beberapa lembar saja, kan lumayan bisa untuk beli kebutuhan kita. Sebentar lagi juga lebaran, kebutuhan pasti akan meningkat.”
Masih terngiang dalam hati Pak Malik, apa yang diucapkan istrinya sesaat setelah uang diserahkan ke Pak RT. Raut istrinya dipenuhi kekecewaan.
Tak menunggu waktu lama. Cepatnya berita beredar di media sosial, selang tiga hari Pak Malik dikejutkan oleh tamu yang datang ke rumahnya. Seorang lelaki yang sudah cukup umur, berpenampilan parlente dengan setelan jas hitam plus sepatu hitam mengkilat. Aromanya wangi seketika menguar, memenuhi ruang tamu Pak Malik.
Setelah berkenalan sejenak, Bapak itu bernama Burhanuddin Ahmad. Dan ternyata dia pemilik uang dalam kresek kemarin.
Tak berapa lama, anak buah Pak Burhan membawa paket sembako lengkap, yang di bawa masuk ke dalam rumah Pak Malik. Ada beras, minyak, gula, telur, dan banyak lagi yang lainnya.
Pak Malik menatap takjub dan tak mampu berkata-kata, oleh karena rasa kaget akan kehadiran Pak Burhan yang tidak disangka-sangka. Semua itu, tidak pernah terpikirkan.
“Terima kasih saya ucapkan atas kejujuran anda, Pak Malik. Sebagai bentuk penghargaan atas apa yang anda lakukan, terimalah semua ini. Nilainya tak seberapa dibandingkan dengan kejujuran Bapak.”
Pak Malik bergeming, sementara Pak Burhan masih melanjutkan perkataannya.
“Satu lagi, besok setelah lebaran saya meminta anda untuk bekerja sebagai cleaning service di salah satu anak cabang perusahaan saya. Kebetulan, letaknya tidak jauh dari sini. Dan kebetulan juga sedang membutuhkan tambahan pekerja.”
‘Alhamdulillah.’
Ada hawa sejuk yang mengaliri jiwa dan raga Pak Malik. Tanpa disadari air mata sudah membasahi pipi. Dia duduk bersimpuh. Berterima kasih pada Allah atas segala karunia-Nya. Tak lupa juga dia berterima kasih pada Pak Burhan. Sejurus kemudian, Pak Burhan menyelipkan beberapa lembar uang ditangan Pak Malik.
“Semua ini rejeki dari Allah, saya hanya perantara saja, Pak,” kata Pak Burhan merendah. Meski menjadi orang kaya, Pak Burhan tidak pernah jumawa. Dia sadar, semua harta yang dia miliki hanyalah titipan dari Allah.
Berulang kali terdengar Pak Malik menyitir selawat atas Nabi Muhammad.
“Terima kasih ya Allah, atas berkah_Mu yang luar biasa di penghujung bulan Ramadan kali ini.”
Lama Pak Malik tersuruk dalam sujud syukurnya. Tak hentinya rasa syukur dia ucapkan. Dia benamkan kepala di atas lantai rumahnya yang masih plester tanpa keramik.
Seketika Pak Malik teringat pesan bapaknya dulu, saat dia masih anak-anak.
“Le, nang ndi panggonanmu sesok, dadiyo wong sing jujur, yo.
Insya Allah uripmu bakal mujur.”

Magelang, 29/07/2021
Catatan kaki:
- Satu muk : ukuran dengan satu kaleng susu
Tempe pecak : tempe dibumbui garam dan bawang yang digoreng. - Ono opo : ada apa
- Ojo ngawur : jangan gegabah.
- Pesan bapak: Nak, di manapun tempatmu besok, jadilah orang yang jujur, ya. Insya Allah hidupmu akan beruntung.
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Kalau Boleh Memilih
Sebuah Pengharapan
Penjual Klepon
Jalan ke Surga
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur