Harga Tomat Murah, Petani pun Resah, Siapa yang Salah? Kemana UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani?
Di beberapa persawahan, ada juga yang membiarkan buah tomat yang ditanam tanpa dipanen/dipetik. Alasannya, tidak berimbang antara biaya dan tenaga untuk memanen, dengan pendapatannya
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pertanian — Harga Tomat Murah, Petani pun Resah, Siapa yang Salah? Kemana UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani?
“Bagi para petani, tidak terlalu penting untuk menghafalkan Undang-undang tersebut beserta peraturan pelaksanaannya dan petunjuk teknisnya. Yang jelas, bagaimana pemerintah punya pedoman penanganan pasca panen hasil pertanian. Itu yang perlu diimplementasikan.”
SAAT seseorang memutuskan untuk menjadi petani palawija, maka, mereka harus siap mental. Dalam artian, saat apa yang ditanamnya (contoh:tomat), harga sedang berada di level terendah. Tentunya, semua itu jauh di luar ekspektasi petani. Maka, petani harus tetap ‘tenang’. Artinya, mereka harus tetap bisa menjaga mental dan menerima semuanya dengan lapang dada. Untuk kemudian, kembali mempersiapkan lahan untuk ditanami lagi.
Menjadi petani palawija itu seperti ngadang-ngadang rejeki, kalau kata orang Jawa, karena harga di pasaran tak pernah bisa dipastikan. Kadang naik drastis dan juga bisa turun drastis. Tidak seperti petani padi yang harganya tetap statis dari dulu sampai sekarang. Tidak ada lonjakan harga padi, pun penurunan harga padi yang sangat signifikan. Ada yang bilang kalau jadi petani padi itu hasilnya flat saja. Tidak seperti petani palawija (buah dan sayur), yang naik turun tak beraturan, hingga terkadang harus berspekulasi, bahwa itu “hoki” dan “nasib”. Apakah begitu cara masyarakat ilmiah berfikirnya?
Saat beruntung, petani palawija bisa meraup uang banyak, bila apa yang dipanen sedang bagus harganya. Ambil contoh saja, pas kemarin harga cabai menyentuh angka seratus ribu per kilogramnya, bisa dipastikan petani mendapatkan untung banyak. Namun, saat harga berada di level terendah, tentu kerugiannya tak terhitung. Mulai dari pikiran, waktu, tenaga, dan biaya (ongkos produksi) yang telah dikeluarkan untuk menanami lahan. Lalu, adakah yang peduli dan menengok pada nasib petani?
Nuspedian, seperti kita ketahui dari banyaknya berita di media, saat ini harga tomat sedang murah. Bahkan, mungkin hampir di seluruh sentra penghasil hasil bumi di Indonesia. Banyak tomat yang membusuk di para pengepul karena tidak bisa terjual. Ada juga yang membuangnya di tempat sampah. Sebuah berita yang cukup mengurut dada, apalagi di jaman yang sedang dalam kondisi seperti ini. Apa-apa pada naik, malah harga hasil dari petani murah, semurah-murahnya. Sungguh, sebuah perbandingan yang berbanding terbalik.
Di beberapa persawahan, ada juga yang membiarkan buah tomat yang ditanam tanpa dipanen/dipetik. Alasannya, tidak berimbang antara biaya dan tenaga untuk memanen, dengan pendapatannya. Jadi, petani pun membiarkan begitu saja buah tomat yang tanpa dipetik.
Yang jadi pertanyaan, kenapa harga bisa sampai serendah itu?
Ada di suatu daerah, bahkan, harganya tidak sampai seribu. Ah, lagi-lagi nasib petani seperti di ujung tanduk. Bagaimana bisa mereka mbalekke modal (mengembalikan modal kalau orang sini (Magelang) menyebutnya. Sementara, harga jual murah sekali.
Jika dikalkulasi, tidak imbang antara biaya produksi (tanam+ perawatan pohon) dengan pendapatan saat panen. Lebih banyak biaya untuk produksi. Lalu, darimana petani mendapatkan uang untuk menanam kembali di musim yang akan datang? Sementara pendapatan panen kali ini tidak ada.
Masa panen, sejujurnya itu adalah masa yang ditunggu para petani, entah petani padi atau pun petani palawija. Namun, jika harga tidak sesuai keinginan mereka hanya bisa mengelus dada. Harus sabar dan tetap tawakkal. Sementara, di hadapannya ribuan pohon berbuah yang tidak ada harganya. Bahkan, jika dipanen pun belum tentu terjual semua. Hanya sebuah dilema yang ada.
Sebenarnya, di sini bukan hanya harga tomat yang murah. Ada juga kubis yang dari daerah pegunungan Merbabu, bahkan harganya dari petani cuma 500 perak saja. Miris, kan?
Ada kisah penjual kubis, yang menjajakan kubis dari desa ke desa. Dia mengambil dari petani dengan harga cuma 500 rupiah. Menurut ceritanya, banyak kubis yang dibiarkan menua di sawah tanpa dipanen. Penjual itu pun nampak lemas dan tak bersemangat. Ikut merasa prihatin dengan harga yang sangat tidak masuk di akal.
Kenapa ya, saat panen raya, justru harga berada di level terendah. Ini yang menjadi masalah inti yang belum ada solusinya. Karena pasti dan pasti, kejadian yang terus berulang, pas panen raya petani justru tidak bisa menjual hasil panennya karena banyak stok/melimpahnya barang dari daerah satu dan lainnya.
Mari menengok ke belakang sebentar. Dulu, saat menanam tomat itu pas harga lagi meroket. Waktu itu, harga di pasaran sampai Rp15.000. Untuk ukuran harga tomat itu sudah harga yang luar biasa. Karena umumnya harga jual tomat Rp3.000-5.000. Bisa jadi karena fenomena harga tinggi itu, kemudian banyak petani yang menanam tomat. Lha, sekarang pas panen raya, barang melimpah dan banyak stok dari mana-mana sampai tidak terjual, sehingga menyebabkan anjloknya harga tomat.
Nuspedian, Itulah sedikit ulasan singkat dari daerah yang ada beberapa petani palawija. Bukan keluh kesah, hanya ingin menuliskan sebuah kisah. Tentang petani dan hasil panennya yang saat ini tidak dihargai. Lantas bagaimana solusinya?
Sakit hati petani adalah saat panen melimpah justru harga berada di level paling rendah. Tanya kenapa?