Harimau Jawa Telah Mati, Hidup Abadi dalam Imajinasi Antroposentris

Harimau telah dijadikan inspirasi sosial dalam simbol-simbol kebudayaan sebagai petarung, pemenang, juara, kekuatan, dlsb. Negara-negara di Eropa atau tim sepakbola, telah menggunakan Harimau atau Singa sebagai simbol nasional/pemerintahan.

23 Juli 2022, 20:21 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Lingkungan Hidup — Harimau Jawa Telah Mati, Hidup Abadi dalam Imajinasi

“Dengan demikian, Harimau Jawa benar-benar telah punah. Kabar penampakan di berbagai daerah akan terus berkembang di masa-masa mendatang, karena Harimau Jawa bukan lagi soal keberadaan fisik sebuah hewan, namun kehadirannya selalu nyata (ada) di dalam ruang imajinasi akan romantisme keberadaan Harimau Jawa dan simbolik di dalamnya sebagai kesatuan spirit bagi masyarakat di kebudayaan Jawa, Nusantara dan Dunia.”

Pada tanggal 29 Juli nanti merupakan peringatan Hari Harimau Sedunia, mulai digagas pada tahun 2010 yang lalu di St. Petersburg, Rusia, dalam Tiger Summit “Global Tiger Day”. Penetapan hari Harimau tentu bertujuan untuk usaha konservasi Harimau. Dunia harus diingatkan bahwa keberadaan Harimau terancam punah akibat perburuan liar dan konversi hutan.

Di Indonesia, Harimau Jawa telah punah bersama Harimau Bali (Panthera tigris/sondaica baliae), saatnya harus peduli pada kelangsungan hidup Harimau lainnya, seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), satu-satunya sub-spesies Harimau yang masih hidup di Indonesia. Yang mana populasinya sudah sangat mengkhawatirkan (kritis). Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018, perkirakan bahwa jumlah harimau sumatera di alam liar kurang lebih 603 ekor yang tersebar dalam 23 lanskap di Sumatera dengan jumlah masing-masing berkisar dari 1 hingga 185 individu.

Saatnya kita peduli pada konservasi Harimau agar tidak punah seperti nasib Harimau Jawa dan Bali. Secara ekologi, Harimau berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Harimau sebagai predator tertinggi, menempati posisi puncak pada rantai makanan di alam. Hilangnya Harimau akan menyebabkan trophic cascade, sebuah fenomena ekologi ketika jumlah satwa yang berada di bawah rantai makanan harimau berlebih (over populasi).

Jika hewan di bawah Harimau over jumlahnya, maka akan membutuhkan ruang dan pangan di dalam hutan dalam jumlah lebih banyak, akibatnya hutan akan terganggu regenerasinya, dan hutan sebagai penyedia oksigen akhirnya mempengaruhi kebutuhan oksigen bagi manusia.

Kasus seperti di atas hanya variabel kecil saja dari dampak punahnya Harimau sebagai raja predator dalam mata rantai pangan, belum lagi simpul-simpul lainnya sebagai akibat dari kepunahan Harimau yang berpengaruh pada ekosistem dunia dengan dampak lanjutan yang terus mengular, termasuk pada kehidupan manusia.

Harimau Telah Mati, Hidup Abadi Dalam Imajinasi

Manusia atau kelompok budaya masyarakat mempunyai cara pandang yang spesial terhadap Harimau. Manusia menempatkan Harimau dalam perspektif antroposentris, bahwa Harimau ada dalam diri manusia. Ada dalam pengertian menjadi bagian dari kultur dan kehidupan spiritual masyarakat.

Di Jawa dan Sumatera misalnya, Harimau sangat dihormati dengan sebutan kehormatan: simbah, kyai, datuk, inyiak — bernuansa hormat dan takut. Posisi Harimau sebagai hewan yang disakralkan dalam mitologi-mitologi Nusantara dan dunia. Di Jawa misalnya, selain Harimau hewan Ular juga di posisikan sebagai “danyang” atau penunggu/penjaga spiritual suatu daerah.

Harimau dipercaya mempunyai kesaktian supernatural, lengkap dengan mitos dan legendanya. Masyarakat Sunda menganggap Harimau sebagai menak, Jawa dengan simbah, dan Sumatera menyebutnya datuk.

Harimau telah dijadikan inspirasi sosial dalam simbol-simbol kebudayaan sebagai petarung, pemenang, juara, kekuatan, dlsb. Negara-negara di Eropa atau tim sepakbola, telah menggunakan Harimau atau Singa sebagai simbol nasional/pemerintahan. Tak lain adalah karena Harimau ber-tuah dan ber-energi kemenangan. Harimau telah terdapati relasi pada mentalitas suatu bangsa.

Masyarakat di Jawa, sebegitu mengeramatkan tempat-tempat yang dianggap keramat bahwa tempat tersebut dihuni oleh sosok makhluk siluman Harimau. Barangsiapa tidak menghormati tempat tersebut akan terkena malapetaka dari kekuatan Harimau tersebut.

Secara fisik, Harimau tidak lagi dipandang sebagai wujud makhluk hidup, tetapi sebagai sosok dalam wujud gaib yang wajib dikultuskan. Terkadang, Harimau adalah jelmaan dari makhluk-makhluk gaib penunggu suatu tempat. Dalam konsep simboliknya, diri Harimau bersemayam tokoh manusia, sedangkan manusia secara fisik dapat dimasuki roh-roh kekuatan Harimau.

Dalam aktivitas seni dan budaya Jawa, Harimau sebagai metafora untuk merepresentasikan semangat, kecepatan, dan kekuatan. Aktifitas seni budaya (kultural/sosiologis) yang berkembang di tengah masyarakat selalu menghadirkan Harimau dalam wujud berkeseniannya. Seperti ornamen atau ukiran pada dinding rumah di Jawa, pertunjukan wayang kulit, seni sastra, seni musik, seni kriya, dlsb, dalam pokoknya imajinasi tentang Harimau hadir dalam berbagai rupa dan bentuk.

Namun perspektif masyarakat pada Harimau tidak semuanya sama, tergantung pada lingkungan (kebudayaan) setempat yang mempengaruhinya. Ada istilah “cosmopolitan tiger”. Bagi masyarakat perkotaan yang tidak secara langsung berada di habitat Harimau seperti hutan, harimau adalah representasi simbolik kekuatan. Namun ada sebagian masyarakat yang tinggal di desa yang bersinggungan langsung dengan habitat Harimau, memandang sebagai hewan perusak atau pemakan manusia. Seperti yang terjadi di wilayah Bengal India.

Di ruang-ruang yang lain, hubungan sosok Harimau dengan manusia telah terjadi hubungan yang spesial atau ajaib. Misalnya dalam dunia literasi (baca/tulis) banyak buku-buku cerita yang mengetengahkan hubungan antara manusia dan harimau dalam narasi fiksi. Misalnya, buku karya Eka Kurniawan dengan judul Lelaki Harimau (2004), serial 7 Manusia Harimau karya Motinggo Busye (1937-1999).

Harimau Jawa (Panthera tigris/sondaica)

Pada awal abad ke-19, masih banyak Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang berkeliaran, menurut catatan Robert Wessing. Tempat hidup Harimau tumpang-tindih dengan tempat hidup manusia di tepi hutan. Orang (masyarakat) Jawa kala itu percaya bahwa Harimau adalah jelmaan roh leluhur yang menjaga dan memantau perilaku penduduk desa.

Harimau Jawa dengan nama binomal Panthera tigris sondaica, adalah sub-spesies Harimau yang hidup terbatas (endemik) di Pulau Jawa. Dinyatakan punah tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat hidupnya.

Ukuran Harimau Jawa terhitung bertubuh kecil dibandingkan Harimau lainnya dari benua Asia. Namun lebih besar dari Harimau Bali, dan sedikit lebih kecil dari Harimau Sumatera.

Harimau jantan mempunyai berat 100-140 kg, sementara yang betina berbobot lebih ringan, antara 75–115 kg. Panjang kepala dan tubuh jantan sekitar 200-245 cm, untuk betinanya sedikit lebih kecil.

Habitat Harimau Jawa menghuni hutan-hutan dataran rendah, hutan belukar, dan berkeliaran hingga ke kebun-kebun (wanatani) di pedesaan. Pada suatu masa tertentu, Harimau dianggap sebagai hama sehingga banyak diburu dan dibunuh. Untuk jelajahnya tidak melebihi ketinggian 1.200 m dpl.

Harimau Jawa memangsa babi hutan, rusa jawa, sapi/banteng, juga reptil dan burung air.

Menurut wikipedia, awal abad ke-19, Harimau masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Pada tahun 1940-an Harimau Jawa sudah berkurang dengan hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Pada tahun 1950-an, ketika populasi Harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Dimungkinkan kepunahan Harimau Jawa sudah terjadi sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis Harimau ini. Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa, ada kemungkinan kecil belum punah sampai tahun 1990-an, meskipun kebenarannya tidak bisa diverifikasi.

Selanjutnya, masih banyak laporan secara fisik penampakan Harimau Jawa di hutan-hutan pulau Jawa, namun semuanya tidak bisa dibuktikan.

Pada tahun 1998, UGM berusaha meninjau kembali adanya Harimau dari klaim kepunahan. Laporan atau klaim penampakan Harimau terus diteliti guna mendapatkan gambaran yang tepat akan keberadaan Harimau yang sudah dinyatakan punah.

Jenis harimau yang punah pada abad ke-20, selain Harimau Jawa yaitu Harimau Bali dan Harimau Kaspia.

Catatan taksonomis dan etimologis, Harimau Jawa ditempatkan sebagai salah satu dari sembilan anak jenis Panthera tigris, yakni Panthera sondaica sebagai sub-spesies Harimau, sedangkan Harimau Sumatra sebagai spesies penuh. Untuk Harimau Bali adalah anak jenis Harimau Jawa dengan nama trinomial Panthera sondaica balica.

Harimau Jawa meskipun secara binomal dinamakan Panthera sondaica, kata sondaica merujuk pada istilah kata Sunda, namun lazim dinamakan Harimau Jawa bukan Harimau Sunda, atau bukan pula Panthera Javanica. Penamaan sebagai Harimau Jawa dikeluarkan tahun 1844, waktu itu belum diketahui bahwa taksa dari Sumatra dan Bali berbeda dengan yang dari Jawa. Pernah terjadi kerancuan bahwa Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali digolongkan sebagai Panthera sondaica, padahal Panthera tigris.

Tahun 1999-2000 dilakukan sensus tentang keberadaan Harimau Jawa yang dilakukan selama 1 tahun di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, atas permintaan langsung kepala Taman Nasional, Indra Arinal, dan didukung oleh Direktur Konservasi Flora dan Fauna, Ir. Koes Saparjadi, karena adanya laporan keberadaan penampakan Harimau, namun akhirnya hasilnya nihil.

Selanjutnya, kabar penampakan Harimau di Jawa terus tersiar, namun kesemuanya tidak pernah bisa diverifikasi. November 2008, sebuah jasad wanita tak dikenal dari pendaki gunung ditemukan di Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah, yang diduga meninggal karena serangan Harimau.

Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada bulan Januari 2009, beberapa warga mengaku telah melihat Harimau betina dengan dua anaknya berkeliaran di dekat sebuah desa yang berdekatan dengan Gunung Lawu.

Pada Oktober 2010, dua warga Indonesia telah mengklaim penampakan pasca erupsi Gunung Merapi. Pada akhir November–Desember 2020, beberapa warga mengaku melihat penampakan Harimau dan berkulit loreng sebanyak dua ekor di sekitar lereng Gunung Wilis, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Dengan demikian, Harimau Jawa benar-benar telah punah. Kabar penampakan di berbagai daerah akan terus berkembang di masa-masa mendatang, karena Harimau Jawa bukan lagi soal keberadaan fisik sebuah hewan, namun kehadirannya selalu nyata (ada) di dalam ruang imajinasi akan romantisme keberadaan Harimau Jawa dan simbolik di dalamnya sebagai kesatuan spirit bagi masyarakat di kebudayaan Jawa, Nusantara dan Dunia.

Mengenal Status Konservasi Spesies (EX, EW, CR, EN, VU, NT, LC, DD, NE)
An An, Panda Raksasa Tertua di Dunia Mati
Hiu Hidung Tumpul Berinsang Enam Ditemukan Nelayan Taiwan
Sampah dan Tantangan Daur Ulangnya (Catatan Perjalanan)
Mapian Biodiversity Conservation (MBC), Konservasi Penyu di Pulau Cendrawasih

Terkait

Terkini