Hidup kok, Dibuat Ribet! “Urip kok, Sajak Angil” (Sebuah Harapan)

Perlu diketahui juga, bagi rakyat miskin jam kerja sampai terabaikan. Tidak peduli jam kerja para buruh-buruh di luar batas jam kerja yang manusiawi. Semuanya hanya untuk sekedar menyambung hidup

8 November 2022, 23:53 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Hidup kok, Dibuat Ribet! “Urip kok, Sajak Angil” (Sebuah Harapan)

14 Februari 2024 digelarnya Pileg-Pilpres atau Pemilu (Pemilihan Umum) Serentak 2024. Pemilihan Legislatif untuk memilih Anggota DPR (pusat/daerah/DPD) dan Pemilihan Presiden memilih Presiden-Wakil Presiden. Sedangkan Pilkada Serentak 2024 (Pemilihan Kepala Daerah) direncanakan digelar 27 November 2024 untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota.

Khusus pada Pemilihan Presiden (Pilpres), menjadi prioritas utama dalam aneka pemilihan tersebut menurut hemat penulis, dibandingkan Pileg dan Pilkada. Mengapa demikian?

Sebelumnya, dalam proses pencalonan presiden, meski tidak bisa berdiri sendiri (mencalonkan) tanpa diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik yang telah memenuhi syarat ambang batas presidential threshold (PT) sebesar 20 persen suara kursi di DPR, atau 25 persen suara partai di tingkat nasional. Sesaknya menjadi capres akibat PT sebesar 20 persen, memaksa para parpol dan tokoh-tokoh kandidat capres harus pusing, alot penuh dinamika untuk merumuskan dan meracik formulasi yang ampuh guna memenuhi persyaratan legal dan menghitung potensi kemenangan dengan harus berkoalisi.

Dari proses inilah, penulis “pesimis” bahwa outcame dari Pilpres 2024 tidak dapat menghasilkan calon pemimpin (Presiden) yang bebas dari jerat dan tersandera pada politik tukar tambah, kecuali bisa terlepas. Terlebih bila nanti “dimungkinkan” para capres-cawapres akan berporos pada kekuatan besar untuk meraih kemenangan (pesan sponsor). Yang artinya, harapan menuju masyarakat yang maju, adil, makmur untuk rakyat hanya dapat dirasakan secara “bias”.

Agar cita-cita tersebut seperti yang termaktub dalam amanat konstitusi dapat tercapai, hanya ada satu alasan dan cara untuk mewujudkannya, yaitu dengan kedaulatan penuh atas nama negara dalam semua hal penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.

Ya, karena (calon) presiden adalah sebagai kepala negara dan pemerintahan. Presiden Indonesia dengan peran gandanya berlaku sebagai perdana menteri dan raja, tidak seperti dalam sistem monarki konstitusional terjadi pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan presiden (eksekutif) yang dimaksud dalam sistem Trias Politica yang membagi kekuasaan dalam kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif, kekuasaan presiden (berpotensi) menguasai lebih dari kekuasaan Trias Politica secara politik.

Cheks and balance antara perdana menteri dan parlemen saling dilakukan dengan raja sebagai penengahnya, begitu juga dengan raja yang tidak bisa seenaknya menjalankan kebijakan di level pemerintahan, karena sudah ada perdana menteri, pun dengan kekuasaan parlemen yang tidak bisa seenaknya menggalang kekuatan untuk melakukan pemakzulan tanpa alasan yang jelas.

Dengan demikian, seorang calon presiden Indonesia bisa diibaratkan sebagai “manusia setengah dewa,” yang mana harus berkapasitas “kompleks/super” dalam menjalankan tata kelola pemerintahan, namun juga harus mampu berperan sebagai simbol negara, atau justru melahirkan kekuasaan (presiden) yang akhirnya menjadi “absolute” yang sangat sulit direvisi kebijakannya karena secara politik telah berhasil mengkondisikan parlemen (DPR).

Terkait

Terkini