Hilirisasi dan Industrialisasi Dalam Negeri, Kunci Tambang Ekonomi ala Jokowi

Jokowi dalam masa kepemimpinan nya di periode pertama dan kedua dengan visi misi Nawa Cita-nya termasuk agenda poros maritim telah membawa Indonesia ke dalam pembangunan infrastruktur yang besar. Karena, dengan infrastruktur adalah kunci untuk mewujudkan impian tersebut.

10 Agustus 2022, 16:55 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri, kunci tambang ekonomi ala Jokowi. Senadakah dengan jargon “Net Outflow of National Wealth“, yang pernah diusung Prabowo Subianto ketika nyapres di Pemilu 2014.

“Produktivitas nasional, termasuk potensi ekonomi dan keuangan hingga endingnya sebagai negara Indonesia Maju di tahun 2030 dan 2045 berangkat dari peta jalan tersebut.”

Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan Terminal Kijing Pelabuhan Pontianak yang terletak di Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat, pada Selasa, 9 Agustus 2022.

Presiden mengatakan bahwa kehadiran pelabuhan ini akan memperkuat daya saing Provinsi Kalimantan Barat.

“Pelabuhan ini akan memperkuat competitiveness, daya saing dari produk-produk unggulan yang dihasilkan oleh Provinsi Kalimantan Barat, karena di sini memiliki kekuatan besar crude palm oil (CPO), alumina, bauksit, dan produk-produk lainnya,”

“Jangan sampai investasi yang besar seperti itu tidak bisa memperkuat daya saing dan tidak bisa memperbaiki konektivitas antar pelabuhan, antar pulau, dan antar negara.” (Jokowi)

Pembangunan Terminal Kijing dilakukan sejak tahun 2016 dan selesai pada Mei 2022 dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp.2,9 triliun. Pelabuhan ini sendiri merupakan pelabuhan terbesar di Pulau Kalimantan yang memiliki kapasitas 500 ribu TEUs dan 8 juta non peti kemas.

Peresmian tersebut sebagai variabel maksud arah tujuan geo-politik dan geo-strategi Presiden dalam visi misi kepemimpinannya yang include ke dalam RPJM-Nas (Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Panjang Nasional) yang teradministrasi dalam APBN.

Jokowi dalam masa kepemimpinan nya di periode pertama dan kedua dengan visi misi Nawa Cita-nya termasuk agenda poros maritim telah membawa Indonesia ke dalam pembangunan infrastruktur yang besar. Karena, dengan infrastruktur adalah kunci untuk mewujudkan impian tersebut.

Produktivitas nasional, termasuk potensi ekonomi dan keuangan hingga endingnya sebagai negara Indonesia Maju di tahun 2030 dan 2045 berangkat dari peta jalan tersebut.

Bila dahulu kampanye Prabowo Subianto dengan jargonnya, “Net Outflow of National Wealth” atau mengalir keluarnya kekayaan (uang) Indonesia ke luar. Hal tersebut senada dengan maksud Jokowi dengan strategi hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri saat ini, yang mana sebagai maksud agar tidak kehilangan potensi ekonomi: kekayaan tidak keluar, uang tidak keluar, investasi datang, dan tumbuhnya ekonomi dalam negeri. Di samping dibaca sebagai pemerataan dan keadilan pembangunan dalam konteks wawasan Nusantara ihwal geografi Indonesia yang kepulauan.

Presiden beranggapan, kekurangan Indonesia selama ini, tidak dilakukan hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri. Seperti di sektor energi sumber daya mineral, pengalaman dahulu Indonesia hanya ekspor bahan mentah. Dengan tidak adanya industrialisasi dalam negeri maka banyak kehilangan potensi ekonomi.

Mengutip dari pidato Presiden pada saat menghadiri Silatnas Purnawirawan TNI beberapa waktu yang lalu, bisa dipahami kemana arah dan haluan Indonesia.

“Kemudian yang kedua, yang ini tidak berani kita lakukan dalam kurun waktu yang lama sekali, yaitu hilirisasi, industrialisasi. Kita sejak zaman VOC exportnya bahan mentah, bahan mentah, memang itu paling enak, batubara keruk langsung kirim bahan mentah. Nikel keruk, kirim bahan mentah, tembaga keruk, kirim bahan mentah. Bertahun-tahun kita menikmati itu dan lupa menyiapkan fondasi industrialisasinya,”

“Saya berikan contoh, nikel, kita export bertahun-tahun nilainya saya ingat 2014 itu 1,1 billion us dollar, kira-kira 15 an triliun, per tahun ekspor bahan mentah. Begitu kita stop 2017, stop nikel, export di 2021 mencapai 300 triliun lebih, dari 15 triliun melompat menjadi 300 triliun itu baru satu komoditi, tapi kita digugat di WTO oleh Uni Eropa, dibawa ke WTO, digugat, saya sampaikan kepada mereka, silahkan digugat akan saya hadapi, Indonesia akan hadapi,”

“Apa yang kita dapatkan kalau kita melakukan industrialisasi, pertama pajak kepada pemerintah akan melompat dari tadi yang 15 triliun pajaknya hanya dapat berapa? 300 triliun wajibnya dapat lipat berapa, lipat 20 kali. Lapangan kerja juga ada di Indonesia bukan ada di Uni Eropa, membuka lapangan pekerjaan yang sangat banyak, inilah yang lama tidak kita pikirkan dan kita tidak berani menstop, setelah nikel ini, meskipun belum rampung di WTO, akan kita stop lagi, tahun ini mungkin timah atau bauksit, stop, kerjakan oleh BUMN bekerjasama dengan swasta,”

“Kalau BUMN sama swasta belum siap teknologinya, ngambil partner nggak papa, padahal asing untuk transfer teknologi nggak papa, kenapa kita alergi, tapi pabrik industrinya ada di dalam negeri,”

“Dulu Freeport bertahun-tahun saya perintah untuk membuat smelter saja untuk industrialisasi smelter saja tidak pernah didengerin, tapi begitu Freeport sekarang 51% menjadi miliknya BUMN, menjadi milik kita, tahun lalu smelter langsung saya perintah langsung dibangun karena sudah milik kita sendiri, mayoritas milik kita, langsung dibangun di Gresik, nanti kita lihat dari tembaga ini akan di smeltering, ini akan dapat berapa milyar kita belum tahu, tapi saya meyakini bisa lipat juga sama 20 kali yang biasanya kita kirim, kadang-kadang kita kirim bukan hanya tembaga saja, bahan mentah kita kirim di dalamnya juga ada emasnya juga, mana kita tahu, nanti kalau sudah smelternya jadi baru kita tahu, 40 tahun lebih mungkin kita dibohongi, emasnya mungkin lebih banyak dari tembaganya, tapi saya belum bisa menyampaikan karena memang belum dilakukan produksi di smelter kita, tembaga stop, bauksit stop. Inilah nanti yang akan berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi kita, berkontribusi membuka lapangan kerja yang sebanyak-banyaknya,”

“Dalam 7 tahun ini telah tambah 2042 km jalan tol, 5.500 jalan non tol, bandara baru 16, pelabuhan baru 18, bendungan baru 38, irigasi 1,1 juta hektar, inilah fondasi kita untuk nanti berkompetisi dengan negara-negara lain. Mungkin tidak bisa kita rasakan instan sekarang, dan nanti efeknya akan ke APBN.” (Joko Widodo)

Untuk menunjang proyeksi tersebut, maka infrastruktur menjadi kunci, seperti dengan membangun jalan tol dan non tol, bandara, pelabuhan, irigasi, dsb.

Melihat proyeksi di atas dengan langkah-langkah konkrit nya, tentu kita setuju, namun apakah hal tersebut sudah benar-benar diperhitungkan ke dalam aspek lainnya dalam konteks makro dan mikro.

Relasi dengan Berbagai Aspek untuk Indonesia Masa Depan

Kita tidak pernah tahu data yang sebenarnya, berapa cadangan energi dan sumber daya alam Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebut sebagai maksud, jangan sampai kekayaan Indonesia dikeruk dengan instan tanpa mempertimbangkan untuk cadangan Indonesia masa depan.

Tentu hitungan cadangan sumber daya masa depan dengan skenario terburuk sudah dikalkulasi oleh pemerintah. Jangan sampai kemudian target Indonesia Maju tahun 2045 dengan posisi cadangan sumber daya sudah habis. Sedangkan di satu sisi, produktivitas mandiri rakyat dan negara belum mencapai puncaknya.

Jangan salah kemudian, investasi yang dimaksudkan sebagai celah untuk menguras sumber daya alam Indonesia berlindung dengan argumentasi hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri.

Seringkali argumen investasi sebagai maksud percepatan pembangunan harus terdapati relasi dan urgensi yang kuat pada haluan bernegara sebagai negara yang berdaulat akan ekonomi, wilayah dan budaya, sesuai dengan amanat konstitusi ihwal keadilan sosial, kemakmuran, kemanusiaan, dsb.

Hal tersebut bila ditarik dalam sisi pembiayaan atau investasi di dalamnya, melalui BUMN Indonesia membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui berbagai sistem dan skema pembiayaan. Tentu, aneka PSN tersebut dimaknai bukan sebagai ajang pasar bebas untuk membuka atau meng-adakan proyek-proyek baru sebagai lahan garapan, terlebih kepentingan neo-liberalisme dan kapitalisme.

Artinya, Indonesia ingin membangun megaproyek apapun bisa terlaksana dengan sistem investasi, tetapi adilkah itu semua. Dalam hal ini BUMN yang seharusnya sebagai lokomotif ekonomi Indonesia yang berdaulat, justru menjadi agen dan portal masuk untuk membawa pada proyek-proyek tersebut. Jangan sampai itu terjadi!

Tentu si investor baik dalam dan luar negeri hanya dengan dasar yang sederhana, yaitu soal untung dan ruginya. Bila untung akan di ambil, sekiranya rugi tidak akan diprospek. Tentu sebaliknya, berkeadilan tidak untuk Indonesia dalam kepentingan nasional untuk rakyatnya untuk sekarang dan jangka panjang. Yang mana pada inti kita berorganisasi dalam bernegara adalah ihwal keadilan, terpenuhinya hak-hak hidup rakyat yang linier dengan potensi sumber daya tersebut. Jauh dari paradoksal.

Kemudian, hilirisasi dan industrialisasi yang dimaksud juga jangan sampai Indonesia hanya dijadikan lahan untuk mencetak buruh-buruh baru di Indonesia. Yang mana harusnya rakyat diberdayakan dan dikapitalkan untuk hal produktivitas, namun akhirnya hanya masuk dalam jerat kapitalisme sebagai buruh. Hal tersebut perlu dikaji ulang bahwa UU Omnibus Law benar-benar dalam rangka melahirkan produktivitas rakyat, bukan mencetak menjadi buruh massal yang massiv.

Maka, pembangunan infrastruktur selama ini sebagai maksud hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri jangan sampai menjadi kedok pembangunanisme yang pada akhirnya tidak berwawasan lingkungan (problem ekologi), semakin menipisnya cadangan sumber daya alam, semakin meningkatnya jumlah buruh, semakin menjadikan rakyat terjebak dalam hal konsumsi/ketergantungan, dan menjadikannya Indonesia yang riuh penuh gebyar sebagai panggung pasar bebas untuk menghidupi ekonomi dunia, namun jauh dari indeks pembangunan manusia Indonesia yang sesuai dengan hak hidup/kodrati, hak indegenous (bangsa pribumi) dan amanat konstitusi bagi rakyat.

Dengan demikian, apabila ini tarik pada ranah politik, bagaimana kelanjutan hilirisasi dan industrialisasi ala Jokowi ini berlanjut. Sedangkan Jokowi akan purna di 2024, juga terpilihnya presiden baru. Apakah pemimpin yang baru tersebut akan 100 persen melanjutkan program tersebut. Karena, PSN yang sekarang ini sedang on progress ditargetkan selesai pada semester I tahun 2024.

Di samping itu, bagaimana kelanjutan dari proyek pembangunan ibu kota negara (IKN), yang mana mau tidak mau harus dilanjutkan, terlebih APBN 2023 juga akan difokuskan untuk proyek tersebut.

Dengan demikian, maka konstelasi politik pada Pemilu 2024 memang dalam tensi yang tinggi, karena banyaknya kepentingan dan termasuk atas dasar hal di atas. Mengapa? karena belum ada jaminan, dalam hal ini UU RPJMNas atau GBHN mampu mengikat manuver politik dan kepemimpinan presiden baru setelah 2024 dengan arah dan haluan yang berbeda atas program Jokowi (pemerintah) tersebut.

Dan, yang terpenting sebagai rakyat adalah, bagaimana hak hidup sebagai hak kodrati, hak indegenous dan amanat konstitusi tersebut benar-benar dipenuhi dan terpenuhi untuk rakyat secara berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban.

Semuanya akan menjadi lain ketika megaproyek tersebut di bangun dari 100 persen APBN. Yang dikhawatirkan adalah ketika berpotensi masuk ke dalam jerat dan tersandera ke dalam kepentingan dan skenario geo-politik dan geo-strategi global.

Pada sisi lain, perlu kiranya kembali mereduksi, merekonstruksi, merestorasi, dan merevolusi pemikiran kita semuanya untuk satu hal, yaitu bagaimana sebenarnya konsep kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks organisasi di gali ulang untuk tujuan yang ideal. Tidak kemudian terjebak pada narasi ekonomi dan keuangan.

PSN Rampung Semester I 2024, hingga Skenario Pemangkasan Jumlah PSN dan Relasinya dengan IPM (1)
Budaya Mundur Kian Kendur
IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur

Terkait

Terkini