Hilirisasi Nikel, Kenaikan Penerimaan Negara dari 15 Triliun Menjadi 350 Triliun, Benarkah?

"klaim pemerintah terjadi kenaikan penerimaan negara dari Rp15 triliun menjadi Rp350 triliun sangat janggal dan meragukan,"

16 Oktober 2022, 07:29 WIB

Nusantarapedia.net, Jakarta — Presiden Joko Widodo, sejak awal dilantik menjadi Presiden pada periode 2014-2019, dan periode kedua 2019-2024, terus konsisten dengan apa yang menjadi visi misinya, yakni program “Nawa Cita” yang diimplementasikan ke dalam konsep poros maritim, pembangunan infrastruktur, yang bertujuan untuk konektivitas. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Guna mendatangkan pundi-pundi keuangan negara, Jokowi terus berfokus pada hilirisasi industri dalam negeri. Dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi selalu menekankan pentingnya pengelolaan kekayaan alam Indonesia untuk mendapatkan potensi ekonomi yang besar dengan cara melakukan hilirisasi industri dalam negeri yang otomatis akan menghentikan ekspor bahan mentah.

Seperti yang disampaikan Presiden saat menghadiri Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Tahun 2022, di Sentul International Convention Center di Bogor, Jumat (5/8/2022) yang lalu.

“Saya berikan contoh, nikel, kita export bertahun-tahun nilainya saya ingat 2014 itu 1,1 billion us dollar, kira-kira 15 an triliun, per tahun ekspor bahan mentah. Begitu kita stop 2017, stop nikel, export di 2021 mencapai 300 triliun lebih, dari 15 triliun melompat menjadi 300 triliun itu baru satu komoditi, tapi kita digugat di WTO oleh Uni Eropa, dibawa ke WTO, digugat, saya sampaikan kepada mereka, silahkan digugat akan saya hadapi, Indonesia akan hadapi,” kata Presiden.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kebenaran data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel.

Menurutnya, klaim pemerintah terjadi kenaikan penerimaan negara dari Rp15 triliun menjadi Rp350 triliun sangat janggal dan meragukan. Dugaan Mulyanto, angka tersebut bukan penerimaan negara melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia.

“BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal,” kata Mulyanto Jumat (14/10/2022), dilansir dari parlementaria dpr.

Dirinya berharap pemerintah transparan dan dapat menjelaskan besarnya penerimaan negara dari hilirisasi nikel agar masyarakat tidak salah tafsir. Harapnya, pemerintah tidak main-main soal akurasi data penerimaan negara ini, sebab mempengaruhi laporan keuangan negara.

“Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya,” ujarnya.

Lanjutnya, Pemerintah perlu menjelaskan soal ini secara gamblang. Dari sumber apa penerimaan negara tersebut berasal. Karena, selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) akan berlaku pada tahun 2022. Itu pun baru rencana.

“Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn). Dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun,” tambah Mulyanto, anggota dewan Fraksi PKS.

Lebih lanjut Mulyanto menengarai, para pekerja yang didatangkan dari luar negeri tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis, dan merupakan tenaga kerja kasar. Akibatnya, menggerus penerimaan negara.

“Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara,” katanya.

Dengan dasar tersebut, Mulyanto mendesak pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel ini sebelum berlanjut pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit.

“Harus clear dahulu road map tahapan industri dan produk hilirisasinya, sehingga diharapkan benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat. Jangan sekedar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di Cina, yang mengeskpor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah,” pungkasnya. (dnA)

Sumber: parlementaria dpr

Hilirisasi dan Industrialisasi Dalam Negeri, Kunci Tambang Ekonomi ala Jokowi
Indonesia Emas 2030, Ini Syaratnya!
Indonesia Surplus Listrik 6 GW, Untuk Apa? Bagaimana Kelanjutannya!
Di Tengah Ketidakpastian Global, Indonesia Masih Dipercaya Jadi Tempat Investasi
PSN Rampung Semester I 2024, hingga Skenario Pemangkasan Jumlah PSN dan Relasinya dengan IPM (1)

Terkait

Terkini