Indonesianomics dengan Merudapaksa Alam Seisinya (Buncahan Pikiran, Keniscayaan Menuju [Tidak] Bubar)

19 Juni 2024, 22:51 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Indonesianomics dengan Merudapaksa Alam Seisinya (Buncahan Pikiran, Keniscayaan Menuju [Tidak] Bubar)

Oleh : B. Ari Koeswanto ASM

“Aspek ekonomi dan keuangan Indonesia, seperti; pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, investasi, pembangunan infrastrukturnya, serta sistem nilai tukar rupiah, apakah berkonteks Pancasila. Bukannya hulu dan hilir ekonominya adalah hitungan makro, milik segelintir kelompok saja, yang mana mereka telah menguasai pemerintahan, memonopolinya habis-habisan”

“Modeling ekonominya tak lebih hanya menciptakan pasar baru bagi kepentingan pemodal besar, namun akses produksi masyarakatnya dilucuti, yang kemudian lagi-lagi rudapaksa sumber daya alamnya sampai terkeruk habis menjadi fokus perdagangan (ekonomi & keuangan) karena nilainya yang fantastis, yang kemudian bagian ini menjadi kebanggaan semu Indonesia demi puja puji dunia, sementara rakyat dikelabuhi dengan imajinasi pembangunan yang kesemuanya itu hanya manipulatif belaka”

INDONESIA yang maju, adil, makmur dan sejahtera adalah cita-cita bangsa, sesuai dengan tujuan konstitusional negara. Peta jalan potongan itu termasuk target Indonesia Emas 2045 sebagai visi jangka panjang, tepat 100 tahun dirgahayu kemerdekaan, yang mana momentum HUT RI Ke-79 tahun 2024 ini sebagai penanda kita masih punya waktu 21 tahun mendatang untuk mewujudkannya.

Namun tunggu dulu, bahwa Indonesia Emas 2045 adalah variabel saja (visi), yang utama adalah sejauh mana tujuan konstitusional tercapai untuk dikatakan sebagai negara maju atau negara gagal bahkan bubar dengan target/jangka tertentu (RPJMP-Nas). Mengingat, perjalanan selama 79 tahun merdeka belumlah tercapai tujuan (ideal) itu, baik target jangka pendek, menengah dan panjang. Seharusnya output dan outcame tata kelola penyelenggaraan negara berbasis potensi sumber daya alam dan manusianya, yang idealnya 50 tahun saja (jangka panjang) tujuan itu sudah tercapai, ini masih harus menunggu 21 tahun lagi. Apa yang didapatkan rakyat dari target jangka pendek dan menengah? Mengapa kemudian harus menunggu selama 100 tahun, yang artinya rakyat harus prihatin, menderita, berkorban selama 100 tahun. Pertanyaannya, ya, kalau sumber daya alamnya masih ada, kalau sudah habis, lantas apa modalnya, jikalau modal utamanya berupa kecerdasan sebagai sumber daya manusia telah dikerdilkan dan dilumpuhkan aspek moral dan mentalnya, intelektualnya bahkan spiritualnya. Semua akses telah tertutup rapat.

Kita mulai dari dasarnya, dimanakah kedudukan bangsa dan negara. Bahwa, bangsa adalah subyek, sedangkan negara adalah alat. Maka, gunanya kita mengikatkan diri ke dalam satu kebangsaan (bangsa Indonesia) dengan kemudian membentuk negara, adalah guna dari bangsa mendirikan negara. Seluruh kepunyaan Tanah Air dan seisinya milik bangsa-bangsa, yang itu sebagai hak kodrati dan takdir (indegenous), telah dikuasakan kepada negara untuk dikelola — digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka, negara sebagai penerima mandat rakyat, sudah seharusnya semua arah, haluan dan kebijakan pengelolaannya berdasarkan kepentingan rakyat (nasional).

Satu parameter saja, bahwa di usianya yang hampir 79 tahun merdeka, negara bertindak sebagai mandatory atau mandatory spending dalam konteks penyelenggaraan, urusan indeks pembangunan manusia (IPM) saja nyatanya belum selesai. Masalah pangan, kesehatan dan pendidikan masihlah terus menjadi problem, kala kemiskinan, kesenjangan sosial, disparitas keadilan jauh panggang dari api. Lihatlah tata kelola bidang pangan, kesehatan dan pendidikan belum seutuhnya paripurna sebagai hak, bukankah itu potret sesungguhnya. Ironisnya, justru ketiga bidang tersebut dijadikan aset potensi ekonomi — sumber pundi keuangan, dijadikan market society. Hal kebutuhan dasar pun dijadikan bisnis lantaran potensi demografi.

Lantas, bila kebutuhan dasar saja sudah penuh monopoli, bagaimana (penyelenggaraan) bidang lainnya, bisa dikatakan “ugal-ugalan”, aspek pembangunan itu hanya dilihat dari perspektif ekonomi saja, narasinya hanya berkutat soal ekonomi dan ekonomi — uang dan uang, lupa bahwa urusan ekonomi itu adalah muara saja.

Dari-oleh dan untuk siapa, sampai sejauh mana parameter tujuan itu, bagaimana tantangannya, dalam pokok menuju tercapainya tujuan konstitusional, kalau tidak ingin (dikata) menjadi negara gagal yang bakal bubar. Itu yang kemudian kita wajib (otomatis) berhadapan pada dua pilihan untuk dipilih, dalam konteks saat ini mengandung urgensi (kegawatdaruratan). Secara konstruksi adalah bentuk tanggung jawab (kewajiban) setiap warga negara, secara institusional adalah tugas pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam pengelolaannya. Maka, kalau tidak sekarang kapan lagi! kalau bukan kita (negara seisinya) kapan lagi memulai mewujudkan tujuan itu dengan cara yang revolusioner, karena peta jalan selama ini telah menjauh dari tujuan utamanya. Maka, bagaimana kita atas nama pribadi dan institusi lekas membawa ke dalam gerakan besar-besaran “Indonesia Mengerti” untuk penyelamatan sebagai kesadaran kolektif bangsa. Di situlah harapan itu ditumbuhkan, kalau tak ingin Indonesia bubar.

Terkait

Terkini