Integrasi Pembangunan Kepariwisataan dengan Strategi Kebudayaan (3)
Nusantarapedia.net — Integrasi Pembangunan Kepariwisataan dengan Strategi Kebudayaan
Wisata Desa
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, ruhnya menjadikan desa yang otonom. Tata kelola penganggaran pendapatan dan belanja di dalamnya menjadikan kewenangan yang lebih pada desa. Bagaimana desa dengan semangatnya membentuk Badan Usaha Milik Desa, menjadikan desa menjamur dengan membuka aneka Desa Wisata.
Itu semua disambut positip akan dampak manfaatnya, tetapi tidak sedikit pula desa yang gagal karenanya. Inilah yang kita kawatirkan bahwa, dampak otonomi di daerah dan desa justru menjadikannya persaingan yang dipaksakan, arah dari sinkronisasi pembangunan nasional, daerah dan desa menjadi terabaikan.
Secara politik semenjak pemberlakuan otonomi daerah dan desa, pelaksanaannya perlu dievaluasi, jangan-jangan justru memecah haluan negara dengan pengkotakan pada desa-desa tanpa arah yang jelas sebagai bentuk integral kesatuan.
Dalil pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dan desa ditafsirkan sebagai bukti keberpihakan negara, alasan demokrasi, alasan desa yang sepi biar menjadi ramai. Hal tersebut perlu pencermatan oleh pemangku kebijakan. Ini perlu study mengenai hubungan tersebut dengan trend wisata desa yang prosentase kegagalannya tinggi.
Arah pembangunan desa wisata tak ubahnya sama dengan industri pariwisata nasional, hanya ruang lingkupnya saja sebagai pembedanya. Banyak kendala, tantangan dan masalah yang dihadapi. Komponen didalamnya belum menemukan arah yang sama, cara pandang mengenai kepariwisataan belum dikaji secara menyeluruh dari semua aspek, lebih terjebak pada pembangunan fisik, terutama orientasi provit, tanpa didasari pada riset yang detail.
Kemampuan sumber daya didalamnya oleh stakeholder kepariwisataan, tidak sedikit hanya melihat dalam satu persepsi mengenai objek kebendaan wisata (objek), diluar itu sama sekali tidak terintegrasi. Aspek yang lain, sering kegiatan kepariwisataan di desa hasil dari penggeloraan tujuan berdesa akan tuntutan bahwa desa harus mampu menunjukkan perfoma pembangunannya, hingga menjadikan kegiatan pariwisata dilaksanakan asal-asalan dan di ada-adakan atau di buat-buat.
Namun, tidak sedikit pula banyak desa yang berhasil mengelola desa wisata ke arah industri pariwisata dalam eskalasi yang sangat luas, menasional, tidak bersifat lokal.
Partisipasi masyarakat dalam perannya sebagai pelaku pariwisata perlu dilakukan, karena rata-rata desa wisata terjebak pada kegiatan wisata dari sumber obyek destinasi yang dijual, integrasi dan keunggulan didalamnya tidak dibangun bahwa itu sebenarnya ruh dari desa wisata. Bagaimana tinjauan tujuh unsur kebudayaan itu yang harusnya dibangun. Bagaimana bisa menjual pertaniannya, kesenian, norma sosial, arsitektur, literasi kebahasaan, teknologi dan lainnya.
Alokasi sumber pendanaannyapun juga perlu dirumuskan dalam target yang terukur, sekiranya pembangunan fisiknya tidak cukup biaya lebih baik ditangguhkan, karena pembangunan keobjekan infrastruktur destinasi yang lama dan bertahap lebih mengarah pada kegagalan, hingga gairah konsep berwisatanya akhirnya kehilangan energi. Maka alokasi pendanaan harusnya lebih diarahkan pada pembangunan daya dukung terlebih dahulu, sekiranya sudah siap, baru pada infrastruktur objeknya.
Memang butuh kesabaran, karena pembukaan atau launching destinasi wisata desa adalah hal yang paling mudah. Yang harus dilakukan dalam jangka menengah atau panjang, meski harus membutuhkan waktu minimal 5 sampai 10 tahun mulai tahap persiapannya yaitu pembangunan infrastruktur daya dukung. Ini yang kebanyakan tidak sabar.
Jabatan kepemimpinan tidak ada kesinambungan kala pergantian pemimpin, selalu terkotak sesuai masa jabatannya tanpa melihat rangkaian rencana pembangunan jangka panjangnya dan rata-rata tidak mau mengakui warisan kebijakan yang sebenarnya perlu dilanjutkan.
Variabel seperti ini perlu digariskan kembali dalam rangka implementasi undang-undang desa. Penguatan kelembagaan juga perlu dipandang sebagai keharusan, mengingat liding sektor tetap menjadi leadernya, masyarakat akan cenderung mengikuti dengan kebijakan yang telah dibuat.
Pada hal kepariwisataan desa, banyak hal yang perlu dirumuskan, bagaimana pemberdayaan masyarakat yang dimaksud nyata. Hal lain banyak terkait dengan aspek yang lain seperti; kemampuan dalam memproduksi produk, pemasaran paket wisata, ketahanan dan sustainable ekonominya, hingga goal pencapaiannya dalam pengukuran yang benar dari semua aspek.
Kesemuanya itu mutlak disepakati dalam rencana induknya, dan itu urusan teknis, yang terpenting satu visi dalam menterjemahkan ruh pembangunan desa wisata.
Persoalan dalam Pengembangan Desa Wisata
Beberapa persolan dalam pengembangan desa wisata, antara lain;
(1) Duplikasi dan Deferensiasi
Banyak peniruan objek dan produk wisata yang di ada-adakan, tanpa melihat sumber daya secara jujur. Duplikasi model wisata di daerah atau desa tertentu di copy paste. Bahkan ada destinasi wisata tingkat daerah yang membangun ikon atau brandnya dengan ikon negara-negara dunia, yang itu tidak mengedukasi dan menjauhkan karakter kebangsaan, padahal punya potensi ikon atau brand milik sendiri.
Deferensiasi produk tidak dilakukan dengan percaya diri, semata mengejar trend atau takut tidak laku di pasaran.
(2) Fake Story
Narasi yang dibangun tidak bisa menghadirkan pemahaman yang komprehensif kepada pengunjungnya. Cerita yang ada merupakan karangan untuk kebutuhan branding. Pengunjung dibawa pada pemahaman yang klenik, halu, tanpa pendekatan rasionalitas dengan data otentik dan komprehensif menurut disiplin ilmu.
(3) Perfom Art
Atraksi adat atau kesenian ditampilkan dalam durasi yang insidental/parsial. Aneka tari-tarian, drama musikal dan lainnya yang seharusnya menjadi kebiasaan masyarakat sehari-hari sebagai bagian dari spirit hidupnya, entah dalam kebutuhan seni individu maupun sosial dan ritus keagamaan, dikebut untuk dilatihkan dalam memenuhi agenda/kalender kepariwisataan. Yang selanjutnya tidak ada keberlanjutan program ketika projek tersebut kehabisan dana.
(4) Ruang Publik
Di Bali, balai adat, sanggar seni, maupun ruang publik yang lain tersaji sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat yang wajib ada, maka terjadi aktifitas budaya didalamnya, sekalipun tidak ada kalender pariwisata. Di luar Bali, sangat minim sekali ruang publik yang masih ada atau di bangun sebagai bagian pokok dalam keberlangsungan kehidupan sosial.
Rumah adat seperti Joglo terbuka sudah tidak lagi tersedia secara masif hampir di semua daerah yang bersifat publik. Meski trend pembangunan rumah adat saat ini meningkat tetapi berada diranah privat.
Harapan kita semua, bagaimana menjadi gerakan budaya agar di setiap rukun wilayah, padukuhan, kampung, nagri, terdapati ruang publik berarsitektur budaya setempat untuk aneka kegiatan sosial masyarakat.
Episentrum Mataraman dalam Sumbu Imajiner
(5) Transformasi Berpikir
Mari mencoba untuk merubah mindset berfikir yang hanya ala kadarnya sederhana dengan pemaham yang lebar. Sering kita dalam upaya mendesain program terjebak pada kata-kata sekedar menambah dan meningkatkan penghasilan. Maksudnya adalah, meskipun desa wisata dipandang dalam lingkup yang lokal, tidak boleh dilakukan dengan coba-coba, berharap ada pemasukan atau peningkatan pendapatan seadanya.
Pemikiran itu sudah harus dirubah dan dibawa pada level yang lebih besar, yaitu desa wisata harus menjadi industri kepariwisataan sekalipun berbasis desa. Dengan demikian, penerjemahan kata industri sebagai upaya yang maksimal dalam pembangunannya, pengelolaannya dan hasilnya atau profit ekonomi tentu maksimal.
(6) Pengkerdilan Ekonomi Kreatip dan Usaha Mikro Kecil Menengah.
Di atas sudah tergambar, bagaimana produk lokal UMKM ataupun home industri berkualitas standard. Maksudnya adalah, keaslian dan unsur seni didalamnya tidak bisa ditiru, dipalsukan oleh industri manapun. Produk aneka bathik, tenun, manik-manik, senjata tradisional, instrument musik, sepatu cibaduyut misalnya, adalah khas Indonesia yang bernilai seni tinggi. Hal inilah yang seharusnya diberikan ruang-ruang untuk menjadikannya industri, mampu membuka jaringan pasar dan ekspor.
Kalau Tiongkok bisa membuat kain bathik cap dan di impor ke Solo dan Yogja, kenapa UMKM kita tidak membuat stand dipusat mode di Milan atau Prancis. Wacana seperti ini pernah dilempar mantan Bupati Boyolali Seno Samodra, yang akan menjadikan Boyolali sebagai pusat fashion dunia.
Memang semua daerah maupun desa tidak salah, pemaknaan otonomi daerah memang seperti itu meski tidak ada koherensi dengan strategi pembangunan nasional yang akhirnya jalan sendiri-sendiri.
Harapan Kepariwisataan secara Menyeluruh
Semoga covid-19 segera berakhir, sektor pariwisata sudah sebegitu besar terkena dampak wabah ini. Dari lingkup pariwisata nasional sampai lokal hampir lumpuh total.
Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dampak ekonomi keuangan selama pandemi sampai akhir tahun 2020 mencapai angka 10 trilyun, sedangkan menurut Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatip, sektor pariwisata dan ekonomi kreatip kehilangan 30 juta lapangan pekerjaan.
Termasuk kebijakan diawal covid-19 diketemukan, pada saat Indonesia tengah menstrategikan pariwisatanya di dunia untuk menarik wisatawan dengan merekrut influencernya, sesuatu yang tidak diprediksikan sebelumnya oleh banyak pihak akan kejadian ini.
Salah satu daya tarik kepariwisataan Indonesia, selain pada objek wisata alamnya, wisatawan dunia mempunyai motivasi kunjungannya atas dasar wisata budaya atau gabungan alam dan budaya.
Pembangunan sektor kepariwisataan khas Indonesia tak ubahnya juga membangun sektor kebudayaannya. Strategi Kebudayaan yang dimaksud, bukan halnya pada bidang kesenian dan adatnya. Selalu berpedoman pada tiga hal dalam sinerginya di semua tata kelola kehidupan, yaitu;
(1) Dasar Strategi Kebudayaan sebagai landasan berfikir yang melahirkan konsep pemikiran yang baru ala diskursus nusantara. Merupakan landasan pemikiran yang bersumber dari filsafat kehidupan.
(2) Strategi Kebudayaan sebagai alat yang aplikatif harus melahirkan keilmuan yang baru, bersifat dinamis dan rasional. Keilmuan harus bersumber pada konsep pemikiran baru.
(3) Kelahiran suatu Karya adalah wujud nyata peradaban manusia yang berkembang. Maka kekaryaan harus ideal menurut landasan keilmuan dan konsep pemikiran.
Ketiganya harus ditempatkam dalam koherensi yang jelas dalam implementasi tata kelola kehidupan, baik untuk individu, sosial, organisasi maupun kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pembangunan kepariwisataan.
Harapannya, menjadikan kepariwisataan Indonesia yang berdaulat dengan kemerdekaan berfikir dan egaliter, perlu diterapkan dalam tata kelolanya dengan melihat kenyataan globalisasi.
Sudah pasti, alam Indonesia menjual karena keindahannya dan budaya Indonesia sejatinya yang menarik, khas dan unik. Disitulah gairah kepariwisataan Indonesia menjadi magnet dunia. Kesimpulannya, membangun pariwisata Indonesia sama halnya dengan merekonstruksi kebudayaan Nusantara. Rumusan tersebut dengan tagline: Kapitalisasi Bisnis dan Industri Pariwisata yang Berkebudayaan Indonesia.
Ronggo Warsito, Pujangga Pamungkas Sastra Jawa Klasik
Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa
Daftar Bacaan;
- Kinanti Fitra Asri. 2012. Anime Lucky Star Sebagai Motivator Aktivitas Pariwisata. Depok : Program Studi Jepang Universitas Indonesia.
- Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
- Sensus BPS, 2010
- Badan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, 2019