Isu “Tampar dan Cekik”, Tamparan Peradaban Politik Indonesia
- menggoreng isu-isu seperti ini untuk memperoleh kemenangan memanglah manjur, meski ini adalah strategi usang Pemilu. Inilah gambaran, sejauh mana kualitas demokrasi kita, dari Pemilu ke Pemilu masihlah jalan di tempat (stagnan) -

Nusantarapedia.net | OPINI – POLHUKAM — Isu “Tampar dan Cekik”, Tamparan Peradaban Politik Indonesia
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Tidak terlihatnya Indonesia di pentas dunia, karena kita masih senang ingin ditampar, hingga tamparan itu benar-benar menempatkan kita pada lokasi yang sama sekali tidak terlihat atau tidak ditemukan (not found/404), seperti cara-cara kompetisi murahan seperti ini.”
Memang, Indonesia terlihat jelas di pentas global, yakni sumber daya alamnya dan potensi demografinya, ketika global ada maunya (incaran) pada hal yang sifatnya ekonomi.
DALAM KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata tampar:tam·par, berarti pukul (dengan telapak tangan); menampar:me·nam·par, berarti memukul dengan telapak tangan; sedangkan tamparan:tam·par·an, berarti pukulan dengan telapak tangan, atau bermakna sesuatu (kejadian, peristiwa) yang tidak mengenakkan hati: menjadi pukulan, hantaman. Sedangkan kata cekik:ce·kik:men·ce·kik, berarti memegang dan mencekam leher (merih) sehingga yang dipegang tidak bisa bernapas.
Tindakan menampar dan mencekik merupakan bentuk kekerasan non verbal, dengan obyek pukul bagian kepala terutama pipi dan leher, dilakukan dengan menyentuh korban secara langsung dan mengakibatkan luka fisik pada korban. Skala kekuatan tamparan dan cekikan mengakibatkan cedera ringan, berat, hingga kematian, tergantung kekuatan tekanannya (gaya), masa benda (berat) dan kecepatannya. Bisa saja memar, tulang pipi dan leher patah, hingga gagal nafas, berujung kematian. Namun ada juga yang tidak berakibat karena skala kekuatannya yang lemah, juga bentuk tamparan dan cekikan untuk maksud guyonan – bahan tertawaan, seperti yang ditampilkan oleh seorang pelawak di panggung sandiwara. Ya, panggungnya milik dagelan!
Namun begitu, tamparan dan cekikan yang dimaksud sebagai bentuk kekerasan non verbal, justru berubah menjadi kekerasan verbal, dari aksi menampar atau ditampar oleh dua orang oknum membuahkan tamparan bagi orang lain. Yang awalnya kejadian di TKP (Tempat Kejadian Perkara) hanya melibatkan dua orang di ranah privat/internal, berdampak luas menampar banyak orang di ranah publik, yaitu wilayah sosial politik. Dari sekedar guyonan dadi tenanan, kriwikan dadi grojogan, atau pepatah wong legan golek momongan. Dari sekedar kontak fisik yang ringan menjadi kekuatan non-fisik yang dahsyat. Inilah perang urat syaraf/psywar (psychological warfare) bermula dari insiden kecil atau murni penggorengan (isu) menjadi letupan besar.
Hal-hal seperti ini mengingatkan peristiwa Perang Karansebes yang terjadi pada masa Perang Austria-Turki (1788–1791). Peperangan ini disebut sebagai salah satu perang dagelan terkonyol di dunia karena terjadi di antara pasukan Austria sendiri. Turki menang perang dengan tidak berperang, karena pasukan Austria sedang dalam keadaan mabuk berat. Kawan pun dikira lawan atau sebaliknya. Ya, mabuk memang mengasyikkan, serba yang enak-enak, dari mabuk miras, mabuk judi, mabuk harta, mabuk “bakpaw tengah ana irenge”, dan tentunya mabuk kekuasaan, mabuk masa depan, mabuk tujuan dengan narasi-narasi keberhasilan – kecemerlangan, superioritas, telah lahir kekuatan baru dunia, saat ini dan masa depan, dengan tema-tema yang memabukkan rakyat sendiri, padahal itu hanya kembang tidur semata alias nglindur, karena tidak tampak peta jalannya.