Jacob Ereste : Warga Masyarakat Tidak Akan Menolak Investasi Jika Tidak Merugikan, Menggusur dan Membuldozer Rakyat dari Tanah Leluhurnya
Lalu mengapa harus ada gerakan pengosongan penduduk dari tanah kelahiran dan peninggalan para leluhurnya itu. Lantas, kok harus ada insinuasi akan memiting dan dibuldozer, dan ancaman untuk mengosongkan lahan yang telah dihuni sejak 300 tahun lalu itu?
Padahal, menurut Tomy Winata yang telah cukup berjasa mengajak investor tertarik dan ingin masuk menanamkan modal usahanya di negeri kita, patut disyukuri dan dijaga dengan baik, sehingga tidak perlu terjadi masalah yang merusak dan merugikan bangsa Indonesia yang masih perlu banyak membangun agar pengangguran di negeri kita dapat segera teratasi. Toh, jumlah orang miskin dan pengangguran dapat ditekan sampai titik nol dengan banyaknya investasi yang dikembangkan di negeri kita.
Kemampuan dari Tomy Winata untuk membawa masuk investor ke Indonesia, patut diapresiasi dan dilihat lebih positif. Toh, kesulitan yang telah dialami langsung oleh pemerintah untuk menggaet para pemilik modal mau masuk ke Indonesia terbukti tidak gampang. Seperti IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara di Kutai Kertanegara yang tersendat-sendat, meski telah dipaksakan dengan berbagai cara, hingga bonus untuk menempati lahan di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur itu diberi konsesi sampai 190 tahun.
Jadi sungguh semakin tidak rasional bila masih hendak mengusir atau membuldozer penduduk Pulau Rempang yang bisa dimanfaatkan tenaga dan potensinya untuk ikut serta dalam pembangunan atau proyek raksasa itu. Sebab hanya dengan begitu idealisme pemerintah untuk melakukan alih teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai upaya mewujudkan amanah Proklamasi Bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kepentingan umum serta demi dan untuk kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa, memang harus dan wajib untuk diwujudkan. Meski realitasnya kelak tenaga kerja lokal kita harus memulai dari pekerja atau buruh pada level yang paling rendah.
Dari pengakuan jujur Tomy Winata, selaku boss PT. Makmur Elok Graha, setidaknya proyek di Pulau Rempang itu pada tahap pertama akan menyerap 35.000 tenaga kerja. Dan lahan di Pulau Rempang hanya akan digunakan sebagai lokasinya dari proyek raksasa itu tidak lebih dari 7.500 hektar. Artinya, tidak seluruh lahan yang ada di Pulau Rempang akan digunakan, karena lahan yang diperlukan hanya 7.500 hektar dari jumlah luas keseluruhan Pulau Rempang yang terbilang 17.000 hektar. Lantas mengapa harus menggusur warga dari lahan dan tempat tinggal yang telah mereka huni sejak ratusan tahun silam ini, sehingga mereka harus diusir dan buldozer dari tanah kelahiran leluhurnya?
Inilah pertanyaan yang mengganjal dan tak terjawab, sesungguhnya ada apa di balik pemberian konsesi yang sesungguhnya bisa diatur dengan baik oleh pemerintah yang memang harus dan wajib memberi perlindungan bagi segenap warga bangsa Indonesia, seperti amanah dan tekad dari proklamasi bangsa Indonesia yang juga harus memenuhi serta merujuk pada sila-sila Pancasila sebagai pedoman hidup serta ideologi negara Indonesia.
Intinya, rakyat tidak mungkin menolak investasi jika benar tidak merugikan, tidak menggusur dan tidak akan membuldozer rakyat dari tanah leluhur yang tidak lagi cuma bernilai ekonomi belaka, tapi juga memiliki nilai historis dan tuah para leluhur yang sakral serta bersifat spiritual di setiap jengkal tanah kelahiran. (JE)
Banten, 20 September 2023
Jacob Ereste, tinggal di Banten. Aktif menulis di berbagai media massa cetak dan online. Hobi menulis dari remaja hingga kini.
Prinsip “SPECIAL and DIFFERENTIAL TREATMENT” Dalam Sengketa Perdagangan Uni Eropa dan Indonesia
Melingsir, Mengusir dan Terusir di Bhumi Malayu (Prahara di Tanah Rempang-Galang [1])
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1)
Isu “Tampar dan Cekik”, Tamparan Peradaban Politik Indonesia
Serba Liberal, Bagaimana Capres 2024? Hadirnya Negara untuk Rakyat yang Sehadir-hadirnya!