Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (1)

Salah satunya, muncul sekuel film untuk menghapus stigma tersebut dengan film berjudul "Si Doel Anak Modern" tahun 1976.

31 Agustus 2022, 03:05 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura

“Tentu keadaan di atas sangat menggambarkan betapa riuhnya kehidupan kota Jakarta di tengah maraknya urbanisasi besar-besaran pasca kemerdekaan-masa revolusioner dan terutama pasca era Soekarno ke Soeharto (orde lama-orde baru) yang semakin mengedukasi-mendorong pola pikir dan praktik Jakartasentris,”

HALO, Nuspedian! Sudah diakui dunia bahwa kota Jakarta adalah “Kampung Besar” (The Big Village). Sebuah kota metropolitan sejak jaman kuna, kota bersejarah lahirnya Republik Indonesia, dan tentunya sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.

Dahulu memang, stigma minor terhadap kultur Jakarta dalam kesatuan entitas besar kota metropolis yang kontradiktif. Masih dengan pola pikir orang “kampung” di tengah pesatnya laju pembangunan Jakarta yang ditafsirkan modern:budaya popular:urban. Itulah yang digambarkan dalam film Big Village (1969) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Sebuah sketsa tentang Jakarta yang meski wujud fisiknya kota besar, tetapi perilaku orang-orangnya masih dusun (kampung).

Hal tersebut juga digambarkan melalui novel karangan Aman Datuk Madjoindo yang berjudul “Si Doel Anak Betawi“, yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama tahun 1972 yang disutradarai oleh Sjuman Djaja. Novel dan film tersebut bergenre drama keluarga yang sangat merepresentasikan budaya keluarga (masyarakat) Betawi-nan.

Novel dan film “Si Doel Anak Betawi” senada dengan film “Big Village” yang mengetengahkan keadaan kultural budaya Betawi. Namun, seiring perkembangan zaman, untuk menghapus stigma tersebut berbagai upaya dilakukan oleh semua pihak melalui “gerakan sosial” dengan otomatis, utamanya dalam konteks budaya, seperti perubahan “mindset.”

Salah satunya, muncul sekuel film untuk menghapus stigma tersebut dengan film berjudul “Si Doel Anak Modern” tahun 1976. Tidak berhenti disitu, muncul lagi film “Si Doel Anak Sekolahan” pada tahun 1994 yang dibintangi oleh Rano Karno, Benyamin Sueb, Mandra, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Basuki, dan lainnya.

Tentu keadaan di atas sangat menggambarkan betapa riuhnya kehidupan kota Jakarta di tengah maraknya urbanisasi besar-besaran pasca kemerdekaan-masa revolusioner dan terutama pasca era Soekarno ke Soeharto (orde lama-orde baru) yang semakin mengedukasi-mendorong pola pikir dan praktik Jakartasentris, Jakarta sebagai pusat dari segala impian dari kelas atas sampai bawah. Sebelumnya, Soekarno juga gencar mengkampanyekan isu penghapusan budaya kolonial (post kolonial).

Menilik ke belakang lagi, bagaimana riuhnya Jakarta dalam era pergerakan kemerdekaan Indonesia selepas 1908 Budi Utomo, yang mana kultur daerah yang dibawa suku-suku di Indonesia yang datang ke Jakarta menjadi berakulturasi di kota Jakarta.

Semangat 1908 adalah cerminan, sebelumnya bagaimana kolonial (Hindia Belanda) benar-benar telah menancapkan kekuasaannya dengan tidak memberikan hak hidup yang semestinya kepada warga pribumi, hingga Belanda melahirkan budaya baru Indonesia khususnya kota Jakarta penuh warna khas kebudayaan Eropa menjadi khas “kultur Betawi-nan atau Jakarta-nan.

Menilik ke belakang lagi, kedatangan bangsa-bangsa dunia seperti, Portugis, Timur Tengah (Arab, India, Turki, dsb), Spanyol, Tionghoa, Belanda (Eropa) juga suku-suku dari Nusantara untuk banyak kepentingan, seperti berdagang, syiar dan dakwah agama, juga kolonialisme telah bercampur sebegitu riuh dan melekatnya dalam bentuk kultural baru di kota Jakarta sebagai wujud kebudayaan.

Peristiwa 1527 misalnya, kala pertempuran Fatahillah versus Portugis untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan atas Sunda Kelapa (Nusa Kalapa). Begitu juga ketika tahun 1620 markas dagang VOC Belanda di Ambon dipindahkan ke Jayakerta (Sunda Kelapa) yang kemudian kota itu diubah namanya menjadi Batavia.

Setelahnya, bagaimana geopolitik dan strategi Sultan Agung Mataram bersama Sultan Hasanuddin ingin mendirikan Daulat Nagari Nusantara, yang harus ditempuh dengan mengalahkan Banten dan Batavia, yang kemudian pecahlah perang (penyerangan) Mataram versus Batavia tahun 1628 dan 1629.

Jauh sebelumnya lagi, Jakarta pada abad ke-5 adalah wilayah kebudayaan kerajaan Tarumanegara yang kemudian secara turun temurun menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran Pakwan (Pakuan), Sunda, hingga era Sunda-Galuh.

Dari runutan sejarah peradaban di Jakarta seperti di atas, bahwa Jakarta sebagai metropolitan sejak kuna benar adanya. Secara geografi, letak Jakarta yang dekat dengan semenanjung Malaka dan terhubung pada jalur pelayaran dunia yang menghubungkan ke negara-negara dunia, telah menjadikan Jakarta sebagai poros pelabuhan atau bandar dagang internasional dan Nusantara.

Hingga akhirnya, Jakarta sebagai pusat urbanisasi (kota tujuan), menjadikan dampak pada masyarakat pribumi (Betawi), di bagian tertentu menjadi ‘terpinggirkan’ atau kurang update seperti dalam penggambaran sketsa film di atas. Namun demikian secara umum telah melahirkan kebudayaan baru yang dinamakan “budaya Betawi.”

Berbicara soal sejarah Jakarta, seolah tidak ada habisnya. Bila ditinjau dari aspek 7 unsur kebudayaan dalam buku Strategi Kebudayaan karya C. van Puersen, kebudayaan Betawi adalah cermin kebudayaan miniatur dunia. Mulai dari budaya sosial-politik, hingga soal kuliner, kesenian, arsitektur, dsb. Sebagai contoh pada musik etniknya, bagaimana musik gaya Betawi dalam set orkes Gambang Kromong, Tanjidor, Kroncong, juga musik barat (diatonis) sangat kental dengan nuansa musik Ambon (Portugis), ada rasa melodi Tionghoa, Sunda, Jawa, Melayu dan musik-musik Portugis.

Dalam seni sastranya, tentu Betawi punya seni berpantun atau Pantun Betawi. Pantun yang terpengaruh dari gaya Melayu. Pantun Betawi berawal dari budaya lisan, hal tersebut menjadikan keluwesan dalam hal apapun sebagai ekspresi dapat disampaikan secara bebas. Hingga menjadikan ciri khas pantun sebagai representasi kultural etnis Betawi dengan gaya berbicara yang ceplos-ceplos, los, humoris, apa adanya dan cenderung gembira (riuh/ramai).

Syair-syair dalam Pantun Betawi sangat kental merepresentasikan keadaan sosial pada kebudayaan Betawi. Isinya digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk mengungkapkan kesamaan hak manusia dalam aspek sosiologis sebagai kritik sosial. Berisi mengenai etika, moral, adab, sopan santun, nilai-nilai agama, hingga kehidupan berumah tangga dalam hubungannya dengan menantu dan mertua atau hal curahan hati.

Pendek kata, pantun sebagai bagian dari karya sastra atau puisi adalah bentuk kebiasaan masyarakat pada waktu itu untuk fungsi komunikasi yang disampaikan melalui medium seni. Selanjutnya membentuk menjadi seni sastra dalam medium kesenian, seperti musik Gambang Kromong maupun pertunjukkan teater Gambang Rancag juga Lenong Betawi.

Ciri dari Pantun Betawi tetap mengedepankan kaidah pantun (Melayu) pada umumnya. Seperti kesamaan bunyi atau rima dengan pola a-b-a-b tetap diutamakan. Secara umum sama dengan pantun lainnya yang terdiri dari empat baris. Di setiap barisnya terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, menggunakan rima berpola a-b-a-b untuk mendapatkan kesamaan bunyi pada akhiran. Baris kesatu dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga dan keempat sebagai isi.

Sampiran pada Pantun Betawi berfungsi untuk menyamakan bunyi dengan pengungkapan perasaan sesuka hati dengan kata-kata kiasan. Sedangkan isi sebagai maksud untuk menyatakan kelugasan menggunakan kata-kata yang jelas.

Contoh Pantun Betawi:

“Ke Ciawi jalannya lurus
Mampir beli mangga dibawa ke rumah”
“Orang Betawi banyak maen jurus
Ayo dijaga jangan ampe punah”

“Pagar kawat dindingnya bata
Kandang macan itu namanye”
“Salam salawat pembuka kata
Kenalin Ucan Cibinong rumahnye”

Bersambung bagian 2 …

Jakarta Tempo Dulu Penghasil Buah-buahan, Sentra Frutikultura

Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (2)
Gambang Rancag Pantun Betawi, Si Jali-jali Abang Jampang, …
Keroncong Perjuangan, antara Cinta dan Medan Pertempuran
8 Museum di Jakarta, Dijamin ‘Ngeh’ Sejarah dan Instagramable
Moda Transportasi Massal Modern Jakarta Integrasi Masa Depan. Perbedaan KRL, MRT, LRT, BRT dan Non BRT Bus Listrik (1)
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)

Terkait

Terkini