Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (2)

Kota Jakarta Pusat dengan lambangnya buah Rambutan dan burung Alap-alap. Jakarta Utara dengan tanaman Nyamplung dan burung Raja Udang. Buah Rambutan Rapiah dan burung Gelatik menjadi logo kota Jakarta Selatan.

31 Agustus 2022, 16:53 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura

Jakarta Tempo Dulu Penghasil Buah-buahan, Sentra Frutikultura

Kita tidak asing lagi dengan istilah hortikultura yang berarti: seluk-beluk kegiatan atau seni bercocok tanam sayur-sayuran, buah-buahan, atau tanaman hias. (KBBI)

Hortikultura juga berarti budidaya tanaman kebun. Sedangkan arti frutikultura adalah turunan dari hortikultura yang lebih spesifik pada tanaman penghasil buah-buahan. Bila frutikultura khusus pada tanaman buah, sedangkan olerikultura merupakan jenis tanaman hortikultura dalam bentuk tanaman sayur-sayuran.

Tanaman hortikultura yang didalamnya melingkupi jenis frutikultura dan olerikultura terdiri dari dua macam, yaitu tanaman tahunan dan musiman.

Apa relevansinya kota Jakarta dilihat dari sejarahnya sebagai kota metropolitan dengan tanaman frutikultura. Bukannya Jakarta adalah sebuah kota yang tentunya tidak punya areal pertanian atau perkebunan penghasil pangan. Jakarta adalah lahan tempat gedung-gedung pencakar langit dibangun. Jakarta penuh sesak dengan bangunan kantor, instansi pemerintah dan swasta, zona pemukiman, industri dan sederet bangunan infrastruktur dan utilitas kota lainnya yang beragam. Semuanya ada di Jakarta.

Menilik ke belakang, kota Jakarta secara administratif sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI), mempunyai bentuk pemerintahan dibawahnya sebagai daerah administratif bukan otonomi, yaitu pemerintah kota administratif Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Selatan, Barat dan Timur, serta Kabupaten Kepulauan Seribu.

Pernahkah kita melihat logo pemerintahan kota administratif tersebut. Bahwa kota Jakarta Pusat dengan lambangnya buah Rambutan dan burung Alap-alap. Jakarta Utara dengan tanaman Nyamplung dan burung Raja Udang. Buah Rambutan Rapiah dan burung Gelatik menjadi logo kota Jakarta Selatan. Untuk Jakarta Barat dengan Anggrek Dendrobium dan ikan Cupang Serit. Sedangkan kota Jakarta Timur dengan logo pohon bambu Apus dan burung Sri Gunting.

Mengapa demikian? Seolah melihat kota Jakarta saat ini tidak nyambung (kontradiktif) dengan maskot tersebut di atas, bahwa Jakarta punya flora dan fauna. Dan seolah hanya dongeng semata, karena memang sudah tidak dijumpai lagi, misalnya ada itu hanya bagian kecil dan bersifat konservasi dalam skala kecil.

Tentu, kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menata segala sesuatunya tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah dan kulturalnya, meski perkembangan suatu daerah (Jakarta) telah modern. Modernisasi Jakarta saat ini dalam proses yang panjang tentu tidak ujug-ujug. Jakarta tempo dulu adalah sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang budaya masyarakatnya tidak terlepaskan dari kebiasaan agraris (bercocok tanam). Jakarta tempo dulu adalah kawasan atau daerah pertanian yang subur yang mempunyai kekhasan tersendiri dibanding dengan daerah lainnya. Kekhasan yang dimaksud, selain sebagai daerah penghasil tanaman hortikultura (frutikultura), juga sebagai daerah berkultur maritim, yang erat dengan budaya pesisiran, seperti; pelabuhan, bandar dagang, dsb, terutama di wilayah pesisir nya (Jakarta Utara).

Dengan demikian, sepesat-pesatnya pembangunan kota Jakarta, masih menyisakan kebudayaan yang tergambar dalam logo pemerintahan kota-kota Jakarta. Tak lain saat ini, budaya Betawi sendiri yang masih merasakan dan melestarikannya sebagai penjaga kultural Betawi, meski entitas atau budaya Betawi yang dimaksud semakin menghilang ditelan laju modernisasi, terutama pada hal budaya populer, namun tetap masih ada sisa-sisa kejayaan tanaman frutikultura khas Jakarta.

Gambaran keadaan kultural tersebut masih dapat dijumpai dalam ruang literasi yang lain. Cobalah tengok pada syair-syair pantun Betawi, betapa nama-nama buah-buahan Nusantara selalu disebut-sebut dalam budaya Betawi. Nama buah seperti; buah rambutan (Rapiah), buah kedondong, buah manggis, buah duren, salak (Condet), mundu, mangga, srikaya, nangka lande, duku, menteng, kecapi, sirih kuning, dsb.

Selain menyebut nama buah-buahan, nama fauna juga disebut-sebut dalam budaya Betawi, seperti; burung tekukur, burung gelatik, buaya, macan (harimau) nama-nama ikan, dsb.

Tak hanya flora dan fauna, tanaman kayu atau pohon juga disebut-sebut, seperti nama pohon jati, pohon buni, buah kupa atau gowok, pohon jengkol, pinang, dsb.

Tak mengherankan banyak nama-nama (toponim) daerah di Jakarta dari asal-usul nama buah-buahan. Ada kampung Rambutan (Nephelium lapaceum), Kemanggisan (Manggis:Garcinia mangostana), Menteng (Baccaurea sp.), Kemang (Mangifera kemanga), Gandaria (Bouea macrophylla), Bintaro (Carbera manghas). Mengapa bisa demikian, karena daerah tersebut dahulu sentra atau ditumbuhi banyak tanaman tersebut.

Begitu juga nama daerah dengan nama rawa, karena Jakarta dahulu sebagian kawasan berupa rawa-rawa. Keberadaan tanah lunak di Jakarta berasal dari endapan bekas rawa, aliran sungai atau berbatasan dengan bekas aliran sungai, yang mana tidak terlalu jauh dengan kawasan pesisir utara Jakarta. Maka kawasan Jakarta atau Jabodetabek dijului dengan kawasan “Seribu Rawa”.

Jadilah saat ini nama-nama daerah seperti Rawamangun, Rawa Badak, Rawa Buaya, Rawa Belong, Rawasari, dsb. Khusus nama Rawa Buaya, ya, karena dahulu kala terdapat hewan buaya. Di samping itu budaya Betawi erat dengan hewan buaya sebagai simbolisasi kesetiaan pada pasangan dengan “Roti Buaya” untuk hantaran pesta perkawinan. Namun demikian, nama Rawa Badak contohnya, kata “badak” bukan berarti di rawa tersebut banyak hewan badak. Definisi “badak” berarti “luas,” atau rawa yang sangat luas. (Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta tulisan Rachmat Ruchiat)

Pada budaya pantun Betawi contohnya, nama-nama frutikultura banyak disebut, seperti;

“Palinglah enak si mangga udang
Hei sayang disayang pohonnya tinggi pohonnya tinggi buahnya jarang”
(lagu Jali-jali)

“Buahlah mundu Tuan si buah duren
kampung Melayu jauh sekali
hatiku rindu Tuan dari kemaren
untuk bertemu si jantung hati”
“Ukirlah ukir Tuan si kayu jati
kayu di balik dibikin meja
jangan dipikir Tuan sampai di hati
lebihlah baik bernyanyi saja”
(Stambul Jampang)

Siri kuning sayang
Warnanya ijo nona
Yang putihlah kuning ya sayang
Yang putihlah kuning ya sayang
Sudah terjodoh”
(Sirih Kuning)

Kedondong buah kenari
Dengar keroncong senang sekali
Kedondong buah kenari
Dengar keroncong senang sekali”
“La la la la la la la laaa
Terang bulan terang di kali
Jiwa manis indung disayang
La la la la la la la la oo
Buaya timbul buaya timbul disangka mati”
(Keroncong Kemayoran)

Di atas adalah contoh dari sekian banyak pantun Betawi yang disajikan dalam medium kesenian. Namun ada beberapa buah yang menarik perhatian, sesuai dengan logo pemerintah kota administratif di Jakarta, yaitu buah rambutan atau salak condet misalnya. Buah rambutan khas Jakarta, ada varietas yang cukup terkenal yaitu Rambutan Rapiah.

Sejarah Rambutan dari Jakarta

Disarikan dari laman syahrilachmad.blogspot.com, dalam artikel berjudul Kisah Rambutan Rapiah, begini sejarah buah rambutan di Jakarta.

Di Jakarta selatan khususnya, buah rambutan sangat terkenal sekali. Rambutan juga disebut sebagai pu’un. Tanaman buah Rambutan (Nephelium lapaceum), disebut rambutan mengacu pada kulit buahnya yang menyerupai “rambut”.

Pada era pemerintahan Hindia Belanda (Batavia), daerah Pasar Minggu merupakan penghasil buah-buahan terbaik. Buah-buahan dari pasar Minggu tersohor sampe ke pulau seberang. Menurut K Heynes, dalam buku De Nuttige Planten van Netherland-Indie yang terbit pada tahun 1922, menyebutkan bahwa daerah di Jakarta Selatan, yakni Pasar Minggu merupakan penghasil buah rambutan terbaik dengan banyak varietas rambutan. Seperti; rambutan si macan, rambutan si nyonya, tangkweh, lebak bulus, lebak serta rambutan rapiah (rapi’ah).

Bahkan, masyarakat di Sumatera Utara misalnya, kepingin menanam sendiri pohon buah-buahan asal Batavia. Dalam salah satu iklan komersial di Koran De Sumatra Post terbitan 18 Mei 1918 tertulis:

Hadji Moela
“Mesdjid Kling, tegenover Tangsi Gew. Politie verkoopt verschilllende
tjangkokans van Batavia o.a.
Tjangkokan Manggis, Ramboetan, Doekoe, Sawo Manilla, Djeroek enz
Tjangkokans van rozen, palmen, chevelures, enz. te veel om te roemen.
Prijzen van f I.— tot f 1.50 per stuk”

“Ada seorang pedagang di daerah Mesjid Keling Medan, menjual bibit cangkokan berbagai tanaman buah-buahan asal Batavia (Jakarta). Cangkokan tanaman buah tersebut terdiri cangkokan manggis, rambutan, duku, sawo manila, jeruk dan sebagainya. Harga tanaman cangkokan yang ditawarkan berkisar antara 1 hingga 1,5 gulden per pohon.”

Varietas Rambutan Rapiah
 
Alkisah, di daerah Pasar Minggu ada seorang perempuan tua yang mempunyai sebatang pohon rambutan yang sangat enak rasanya. Buahnya manis, sangat lezat dan daging buahnya gampang terkelupas atau ngelotok. Perempuan tersebut bernama Rapi’ah, orang Betawi memanggilnya Nyai atau Nyi Rapi’ah.

Kemudian, buah rambutan milik Nyi Rapi’ah menjadi terkenal, saking terkenalnya kemudian khalayak memberikan nama atau julukan rambutan Rapi’ah (Rapiah), sesuai dengan nama sang pemilik pohon rambutan tersebut.

Peminat rambutan Nyi Rapi’ah membludak, pada mulanya Nyi Rapi’ah menjual kepada tengkulak dengan harga 3 sen seikatnya. Satu ikat berjumlah 20 buah rambutan. Meskipun rambutan Rapia’h menjadi primadona, namun Nyi Rapia’h hanya menjual sama dengan jenis rambutan lainnya senilai 3 sen.

Saking laris dan terkenalnya, akhirnya para tengkulak berani membeli rambutan Nyi Rapia’h dalam keadaan belum matang, atau membeli dengan sistem “ijon“. Karena permintaan pasar tidak bisa dikendalikan, akhirnya Nyi Rapia’h menaikkan harga rambutannya sebesar 10 sen, sedangkan rambutan lainnya tetap di kisaran 3 sen.

Akhirnya, Nyi Rapia’h timbul ide, yaitu mencangkok buah rambutan miliknya dan dijual dalam bentuk bibit. Per satu bibit cangkokan dihargai 5 rupiah untuk jenis Rapia’h, sedangkan jenis rambutan lainnya hanya dipatok 50 sen.(disarikan dari Mingguan Djaja, 22 Juni 1963).

Berawal dari situlah, akhirnya rambutan jenis Rapia’h (Rapiah) berkembang ke seluruh Indonesia.

Menurut catatan Departemen Pertanian, hingga tahun 2005, varietas unggul rambutan sudah dipatenkan dan dikembangbiakkan, yaitu Rambutan jenis;
1. ‘Rapiah’ dari Pasar Minggu
2. ‘Bahrang’ dari Langkat,Sumatra Utara
3. ‘Lebak bulus’ dari Pasar Minggu
4. ‘Sibatuk Ganal’ dari Sungai Andai, Kalimantan Selatan
5. ‘Nona’ dari Kampar, Riau
6. ‘Binjai’ dari Sumatra Utara
7. ‘Antalagi’ dari Sungai Andai, Kalimantan Selatan
8. ‘Sibongkok’ dari Sungai Luhut, Kalimantan Selatan
9. ‘Garuda’ dari Sungai Andai, Kalimantan Selatan
10.’Tangkue Lebak’ dari Kecamatan Maja, Banten
11.’Narmada’ dari NTB

Bersambung bagian 3 …

Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (3)
Gambang Rancag Pantun Betawi, Si Jali-jali Abang Jampang, …
Moda Transportasi Massal Modern Jakarta Integrasi Masa Depan. Perbedaan KRL, MRT, LRT, BRT dan Non BRT Bus Listrik (1)
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)
Manthous, Benyaminnya Jogja! dari nge-Band hingga Nembang (1)

Terkait

Terkini