Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (3)
Yang perlu dipikirkan di masa depan adalah, bagaimana kota tetap bisa menghidupi dirinya sendiri, seperti dengan konsep "integrated farming system," khas "urban farming."
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura
TAK hanya buah rambutan, duku, kedondong, dsb, yang sering-sering disebut dalam literasi budaya masyarakat Betawi (Jakarta). Jakarta tempo dulu juga terkenal dengan Salak Condet.
Sejarah Salak Meener Condet
Daerah Condet yang termasuk ke dalam wilayah administrasi kota Jakarta Timur, dinamakan Condet diambil dari nama anak sungai Ciliwung bernama Ci Ondet.
Di daerah kawasan Condet yang dahulu sebagai sentra penghasil salak, hingga kemudian dinamakan Salak Condet, karena berasal dari daerah Condet. Menurut laman perpusnas dikutip dari buku berjudul Betawi: Queen of the East, karya Alwi Shahab. Sentra salak condet terletak di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Dulunya merupakan lahan swasta atau tanah partikelir. Lahan sejuk di pinggiran Batavia dengan pepohonan rimbun seluas 816 morgen atau sekitar 52.530 hektare itu merupakan hasil penjualan pihak kolonial Belanda di Batavia kepada Frederik Willem Freijer pada 8 Juni 1753.
Lahan di kawasan Condet yang subur karena berada di tepi aliran Sungai Ciliwung, membuat Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik jatuh hati. Dikenal sebagai Daniel Cornelius Helvetius, ia adalah tuan tanah sekaligus putra Gubernur Jenderal Jeremies van Riemsdjik yang membeli Condet dari Jacobus Johannes Craan pada 1770. Craan adalah pemilik ketiga Condet setelah membelinya dari Adrian Jubels pada 1763, di mana Jubels menguasainya dari Freijer. (Iim Imaduddin, peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung pada Jurnal Patanjala edisi Maret 2015).
Kemudian, kawasan Condet dikembangkan menjadi sebuah kawasan pertanian dan peternakan terkemuka oleh Helvetius. Selain menghasilkan beras, dari kawasan ini juga tumbuh tanaman buah berkualitas, seperti salak, duku, durian, gandaria, nangka, mangga, dsb. Pemberian pupuk organik dari kotoran sapi, kerbau, dan kambing menjadikan kualitas serta rasa buah-buahan asal Condet terkenal di kalangan elite Belanda.
Selain sebagai kawasan pertanian, Belanda juga menjadikan kawasan Condet sebagai ruang terbuka hijau atau Groeneveld/Lapangan Hijau. Kemudian berkembang menjadi kawasan elit untuk peristirahatan favorit para pejabat Belanda karena letaknya tak jauh dari pusat kota. Para pejabat membangun villa yang dinamakan dalam kawasan Tanjung Oost atau Tanjung Timur, Groeneveld membentang dari Depok hingga Srengseng dan Condet serta menjadi bagian besar dari Meester Cornelis:Jatinegara, kota satelit penyangga Batavia. (Laporan Tahunan Hindia Belanda “Regeeringsalmanak” tahun 1927).
Seiring berjalannya waktu, hingga pasca kemerdekaan, wilayah Condet terus tumbuh sebagai kawasan hasil bumi masyarakat Betawi, khususnya yang terkenal sebagai sentra penghasil salak dan duku. Bahkan hasil bumi dari kawasan Condet sering mengisi piring-piring hidangan di Istana Merdeka di era Presiden Soekarno.
Dinamika kota Jakarta terus tumbuh, urbanisasi gencar, berakibat pada jumlah penduduk ibu kota terus bertambah. Maka zona-zona pemukiman, industri dan utilitas kota lainnya terus dibangun.
Untuk melindungi kawasan Condet tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1974 menetapkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No: D.I.-7903/a/30/75 tentang Penegasan Penetapan Kelurahan Condet Batu Ampar, Kelurahan Condet Balekambang, Kelurahan Kampung Tengah, Kecamatan Kramatjati, Wilayah Jakarta Timur sebagai Daerah Buah-Buahan.
Selain itu Ali Sadikin juga mengeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. D.IV-1V-115/e/3/1974 tentang Penetapan Kampung yang Diperkembangkan sebagai Daerah Tempat Tinggal Baru di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam kawasan cagar budaya, yang terdiri dari Kelurahan Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah.
Pada tahun tersebut (1974), kawasan Condet masih dihuni masyarakat Betawi dengan tingkat populasi sebesar 90 persen. Serta dijadikannya kawasan Condet sebagai pusat konservasi salak (Sallaca zallaca) dan duku (Lansium domesticum) yang menjadi buah endemik khas Jakarta (Condet).
Menurut catatan, masa kejayaan salak Condet di era modern tahun 1970-an, rerata produksi buah salak per tahunnya mencapai 285,7 ton dengan dua kali panen dari jumlah rumpun pohon salak sebanyak 1.656.600 di lahan 300 ha.
Akhirnya, dampak urbanisasi tahun 1970-an seiring di bukanya jalan poros baru, seperti Jalan Raya Bogor, kawasan Condet berubah menjadi kawasan pemukiman. Pelan tapi pasti, deretan kandang ternak, empang berisi ikan, aneka pohon buah-buahan lambat laut mulai menghilang.
Tak hanya berhenti di situ saja. Kawasan cagar budaya sebagai kawasan budaya Betawi, akhirnya dicabut pada tahun 2024, karena keberadaan entitas Betawi semakin menghilang. Banyak masyarakat Betawi yang semakin tersisihkan dan terpinggirkan, pindah dan keluar dari ruang-ruang wilayah budayanya.
Kini, upaya pelestarian kebudayaan Betawi dipindah ke kawasan Setu Babakan. Dipilihnya kawasan Setu Babakan di Kecamatan Jagaraksa ini, karena masih terdapat banyak masyarakat (suku) Betawi yang tinggal di daerah ini dibandingkan di tempat lain.
Dan akhirnya, Salak Condet pun tinggal cerita. Salah satu upaya dari Pemprov DKI Jakarta untuk melestarikan keberadaan salak Condet dan buah Duku, pada tahun 2007, Pemerintah DKI Jakarta membeli sebidang lahan di Balekambang sebagai habitat salak asli Condet untuk dijadikan kawasan konservasi seluas 3,7 ha yang dibeli dari sejumlah warga Betawi yang sebagian masih menanam buah salak, dan sekaligus dilibatkan dalam bagian pelestarian budaya.
Konservasi Salak Condet kini dinamakan “Cagar Buah Condet,” beralamatkan di:
Jl. Kayu Manis No.3, RT.7/RW.5, Balekambang, Kec. Kramat jati, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13530.
Selain itu juga terdapat komunitas pelestarian buah Condet bernama “Komunitas Ciliwung Condet,” di Jl. Munggang No.53, RT.10/RW.4, Balekambang, Kec. Kramat jati, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13530.
Daerah Condet saat ini, tidak mungkin lagi kembali ke puncak kejayaan sebagai sentra penghasil buah-buahan. Saat ini tak lebih dari 200 kilogram saja salak yang dihasilkan untuk kepentingan kepariwisataan.
Selain itu, upaya pembibitan aneka buah khas budaya Betawi (endemik), dibudidayakan di kawasan Cagar Buah Condet ini, serta menjual aneka bibit buah-buahan, terutama buah endemik Condet (Jakarta).
Jakarta saat ini benar-benar sudah disulap menjadi kampung besar dengan bangunan pencakar langit nya. Tentu, zona pemukiman, perkantoran, industri dan infrastruktur/utilitas kota telah menancap di bumi Jakarta. Space untuk ruang terbuka hijau juga tidak mungkin lagi dilebarkan. Banyak faktor tentunya, salah satu alasan klasiknya ada demografi.
Bila ditarik dari “Jakarta Punya Cerita”, akan cerita-cerita masa lalu sebagai kawasan seribu rawa, kawasan pertanian yang subur, dalam kesatuan yang utuh kebudayaan Betawi tentu tidak bisa dihadirkan kembali secara menyeluruh. Sifatnya lebih pada konservasi dan pelestarian budaya.
Namun demikian, ruh dari menjaga ekosistem bumi agar tetap hijau dan berkesinambungan “sustainable ecologi,” yang dihadirkan kembali dalam kehidupan di Jakarta, tetaplah hadir sebagai ciri alami untuk keseimbangan ekosistem. Apapun bentuknya, pasti alam akan membentuknya dengan alami, hampir semacam “biodiversity“.
Salah satunya keberpihakan pengambil kebijakan (pemerintah) diharapkan melakukan intervensi kebijakan dengan menjadikan seluruh masyarakat Jakarta, baik instansi maupun masyarakat untuk menumbuhkembangkan kembali budaya pertanian dengan bentuk yang sederhana/baru sebagai “urban farming“. Pemanfaatan lahan-lahan kosong atau lahan tidur, pekarangan yang sempit, dsb, harus kembali ditumbuhi tanaman-tanaman untuk banyak fungsi. Seperti tanaman sayur-sayuran dengan di tanam pada media polibag. Tergantung seberapa luas lahan yang dimilikinya, dengan menanam kembali buah-buahan khas Jakarta.
Hal tersebut seperti di atas juga bertujuan untuk mengurangi potensi banjir, yang mana akan menambah volume resapan air agar beban sungai tidak terus menerus berat, dengan daya tampung yang terbatas.
Dengan demikian, “Jakarta Punya Cerita” memanglah benar adanya, tetapi jangan sampai hanya berhenti pada cerita-cerita yang sangat romantis. Seperti halnya ketika melihat Jakarta dalam kenyataannya yang kontradiktif dengan logo-logo kota administratif Jakarta yang khas dengan lambang flora dan fauna.
Kita tetap percaya, sepesat-pesatnya pembangunan, semodern-modern nya gaya hidup artifisial/digital, budaya pertanian sebagai representasi lingkungan hidup tetaplah merupakan hal yang paling pokok dalam mendasari kehidupan manusia. Kita tidak bisa hidup dengan komputer atau bangunan infrastruktur fisik, tetapi kita bisa hidup dengan air Ciliwung, buah salak, rambutan, hewan ternak, dsb, sebagai sumber pangan.
Maka, semaju-majunya Jakarta, pemikiran sebagai “orang kampung” atau orang desa dalam penafsiran kebudayaan Betawi secara menyeluruh tetaplah harus hidup. Karena, pemikiran dan wujud kebudayaan Betawi tetaplah tidak jauh dengan budaya pertanian, maritim/pesisiran, yang erat dengan sungai-sungai, rawa-rawa, beternak, bercocok tanam, dsb. Di situlah sebenarnya esensi hidup (kehidupan) dalam hubungannya antara manusia dan bumi.
Dengan demikian, terkadang dikotomi antara desa dan kota sebagai tempat sumber pangan dan tempat tujuan (pusat) yang disangga, tidak selamanya benar. Sebagai contoh, dampak dari pembangunan yang telah menjadi pembangunanisme dengan praktik pemekaran daerah dengan menjadikan semua kawasan atau daerah sebagai kota (pusat), lantas apakah kebutuhan pangan masih disangga dari desa, sedangkan desa telah berubah menjadi kota.
Yang perlu dipikirkan di masa depan adalah, bagaimana kota tetap bisa menghidupi dirinya sendiri, seperti dengan konsep “integrated farming system,” khas “urban farming.”
“Buah duku buah kedondong
buah rambutan buah manggis”
“Cerite gue kaga’ berbohong
Sampe jumpa lagi si nona manis”
Selesai
Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (2)
Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (1)
Fatahillah dalam Diskursus Sejarah Kelahiran Kota Jakarta (1)
Gambang Rancag Pantun Betawi, Si Jali-jali Abang Jampang, …
Moda Transportasi Massal Modern Jakarta Integrasi Masa Depan. Perbedaan KRL, MRT, LRT, BRT dan Non BRT Bus Listrik (1)