Jalan ke Surga
"Kang Harun, pengen nikah lagi nggak?” ”Iya, jika Kang Harun ingin nikah lagi, dengan rela aku akan memberi izin.”
Nusantarapedia.net — Jalan ke Surga
“Iya, tetapi aku sebagai istri ingin membuat Akang senang. Ingin membuat Akang lebih bahagia lebih dari hari ini,”
Oleh Edi Warsidi
Seperti biasa, bada Asar kaum ibu mengikuti pengajian rutin. Sore itu giliran Ustaz Memed mengisi ceramah. Ceramah beliau dijuduli ”Jalan ke Surga?”.
”Di antara sekian banyak jalan menuju surga, sesuai dengan sabda Rasulullah saw., yakni istri yang memberi izin kepada suaminya untuk menikah lagi. Istri yang demikian itu ialah orang yang paling mulia di sisi Allah. Bahkan, ia termasuk orang yang paling dulu masuk surga.”
Kemudian, Ustaz Memed mengupas keutamaan seorang istri yang berbakti kepada suaminya. Segala keinginan suaminya selalu dipenuhi. Segala perintahnya selalu dituruti. ”Bahkan, sabda Rasulullah saw., jika saja Allah membolehkan sujud kepada sesama manusia, niscaya aku akan perintahkan kepada tiap istri agar bersujud kepada suaminya. Hal ini pertanda bahwa semua kaum ibu harus taat kepada suaminya,” kata Ustaz Memed sambil menghela napas panjang.
Lanjut Ustaz Memed, ”Jangankan engkau melakukan pekerjaan yang jelek, mau melakukan pekerjaan baik pun seperti halnya berangkat ke majelis pengajian ini, jika tidak ada izin suami dan ibu memaksa berangkat ke Masjid At-Taqwa ini, maka hukumnya dosa,” pungkas Ustaz Memed.
Baru tiga tahun berumah tangga dengan Harun, Neta telah dikarunia seorang anak laki-laki yang kini berusia satu tahun. Neta merasa sangat tertarik dengan isi ceramah Ustaz Memed itu. Kata hatinya ingin sekali masuk surga lebih dulu. Ia membayangkan betapa bahagianya jika mampu melaksanakan isi ceramah Ustaz Memed. Oleh sebab itu, begitu ia sampai di rumah, langsung berkata kepada suaminya.
”Kang Harun, pengen nikah lagi nggak?”
Mendengar pertanyaan tiba-tiba dari sang istri itu, Kang Harun terkejut bukan main. Bahkan, ia merasa keheranan dengan ucapan istrinya itu.
”Apa kamu bilang?” jawab Harun balik bertanya.
”Kang Harun, pengen nikah lagi nggak?”
”Apa maksudmu bertanya seperti itu?” kata Kang Harun mendelik.
”Iya, jika Kang Harun ingin nikah lagi, dengan rela aku akan memberi izin.”
”Untuk apa harus nikah lagi. Kamu juga masih cantik, masih menarik. Pokoknya, bagi Akang sudah cukup! Kamu ini istri yang paling sempurna. Kamulah yang paling cantik di dunia. Jadi, mengapa harus menikah lagi?” tegas Kang Harun.
”Iya, tetapi aku sebagai istri ingin membuat Akang senang. Ingin membuat Akang lebih bahagia lebih dari hari ini,” kata Neta.
”Ah, kamu ini ada-ada saja! Pokoknya, kamu ini sudah lebih dari cukup bagi Akang. Kamu penuh pengertian. Pagi sudah menyiapkan kopi, sarapan, dan masakan kamu ini sangat enak! Jika malam menjelang, kamu siapkan makan malam. Bahkan, bahagia yang tidak terhingga jika kamu ada di samping Akang.”
”Ah, itu kan hanya setitik di tengah lautan! Aku ingin membahagiakan Akang lebih dari itu! Pada pengajian di masjid tadi sore, Ustaz Memed mengatakan bahwa istri yang memberi izin kepada suaminya untuk menikah lagi, ia akan menjadi calon penghuni surga, bahkan paling dulu masuk surga!”
”Jadi, bagaimana keinginanmu?” tanya Kang Harun penasaran.
”Iya, jika Akang ingin menikah lagi, dengan rela aku akan mengizinkan!” tegas Neta.
”Jika ini kemauanmu, ya terserah saja!” Akhirnya, Kang Harun mengalah walaupun hatinya tetap merasa heran. Tetapi, tidak apalah. Kang Harun ingin membuktikan omongan istrinya itu.
”Tetapi, Akang tidak mau tahu. Semuanya terserah kamu!”
”Tidak usah cemas Kang! Pokoknya, Kang Harun terima beres. Aku yang mengatur semunya!” jawab Neta sangat gembira sebab telah mampu menundukkan hati suaminya.
Dengan susah payah, Neta mencari gadis yang mau dimadu oleh suaminya. Akhirnya, pilihan Neta jatuh pada Kania. Setelah gadis itu bersedia dan orang tuanya setuju, Neta menyiapkan keperluan hajat walimahan pernikahan suaminya. Kania kini resmi menjadi istri Kang Harun. Neta menarik napas lega sebab semua acara akad nikah berlangsung lancar.
Pada malam hari setelah acara pernikahan, Neta melamun sendirian. Ia gelisah juga akhirnya. Lamunannya mengawang jauh. Terbayang Kang Harun dan Kania memandu kasih malam itu. Terbayang pula malam pertama ketika Neta baru saja resmi menjadi istri Harun. Saling merapatkan badan, mencurahkan kasih sayang semalam suntuk. Sekarang, Neta harus tidur seorang diri. Tidak ada teman untuk mencurahkan rasa rindu dan kasih sayang, sementara suaminya sedang memadu kasih dengan istri barunya. Makin malam, gelisah itu makin memuncak.
Alangkah sakit hatinya, tidur tanpa suami tercinta. Baru semalam Neta merasakan ditinggal suami. Apalagi jika ditinggal selamanya, rasanya akan menderita lahir-batin. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan ketika Nabi Ibrahim menikah lagi dengan Siti Hajar sebab tidak kunjung mendapat keturunan. Siti Sarah bersandar pada pohon pisang sampai-sampai pohon itu kering karena terbakar panasnya hati Siti Sarah sebab tidak tahan dimadu oleh suaminya.
Sementara itu setan datang menggoda. Jati diri kewanitaannya datang pada saat itu juga. Tanpa pikir panjang, ia langsung berangkat ke rumah madunya, padahal saat itu baru pukul 10 malam. Pengantin baru sedang bercumbu rayu, baru saja mencurahkan kasih sayang pada malam pertamanya. Tiba-tiba, tok-tok-tok! Neta mengetuk pintu madunya sambil berteriak. ”Kang Harun! Keluaaar!” teriak Neta.
Sudah tentu pengantin baru merasa kaget, mendengar suara teriak di tengah malam buta. Siapa gerangan orang yang tak diundang, menganggu kesenangan orang saja. Mungkin orang gila! Pikir mereka.
Kemudian, pintu dibuka. Kang Harun kaget. Ternyata yang teriak tengah malam itu istrinya, Neta. Kang Harun murka sekali, lalu membentak. ”Neta, setan apa yang membawamu kemari, tengah malam buta berteriak-teriak seperti orang kesurupan?” “Pokoknya, Kang Harun harus ikut aku sekarang juga!” Neta geram.”Apa tidak besok pagi saja! Ada apa sih malem-alem begini?””Tidak bisa! Saat ini juga Kang Harun harus ikut aku!” teriak Neta sambil menarik-narik tangan suaminya. Ia sama sekali tidak menghiraukan Kania yang hanya melongo, kaget, dan bingung melihat kejadian yang mendadak itu.
Setiba di rumah, Kang Harun bertanya, ”Ada apa sih, kok kamu ini bikin orang kaget saja?”
”Aku nggak tahan tidur sendirian tanpa Akang di sisiku!” kata Neta manja. Nafsu amarahnya mendadak kendur dan menghilang saat itu juga.
”Makanya kata Akang juga, nggak akan tahan tidur sendirian …” jawab Kang Harun sambil tersenyum, lalu mendekap Neta erat sekali.
”Iya, kan tadinya aku ingin masuk surga lebih dulu. Tak tahunya jadi begini. Malu aku …” kata Neta.
Hening. Sepi. Tidak ada ada yang tahu cerita mereka selanjutnya. Kecuali suara sayup-sayup derit tempat tidur.
Edi Warsidi, alumnus Sastra Indonesia FIB Unpad. Kegiatan tulis-menulis ditekuni sejak 1991 sampai sekarang. Selain menulis, ia juga menjadi pengajar LB untuk Mata Kuliah Bahasa Indonesia, Literasi, Penulisan Artikel, dll. di STAI Sabili Bandung dan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Di samping menulis dan mengajar, ia juga diberi amanah oleh ITB untuk mengelola penyuntingan naskah dalam unit penerbitan, ITB Press.
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Penjual Klepon
Sepenggal Kisah Bersama Mbah
Road Map Sastra Jawa
Angkringan atau Wedangan dan Budaya Jagongan
Perempuan, Sastra dan Euforianya