Jalan Menuju Pilpres 2024, Rumit-Pelik! Ruwet-Mbulet-Mbundet!
- sebagai ruh dari semangat demokrasi itu sendiri dengan tidak tersandera pada politik kepentingan atas dasar tiket 20% serta meminimalisir cukong (oligarki ekonomi-politik) bermain dalam patgulipat komposisi koalisi dan pasangan nama capres-cawapres, seyogyanya tetap dengan empat pasangan capres-cawapres. Disitulah kemerdekaan demokrasi dipertontonkan -

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Jalan Menuju Pilpres 2024, Rumit-Pelik! Ruwet-Mbulet-Mbundet!
“tetapi yang lebih pokok tidak takut akan “posisi” yang kemudian menjadikan politik tukar tambah telah membutakan peta jalan menuju Indonesia yang adil dan makmur. Dan bagian itu bentuk kekawatiran terhadap oligarki ekonomi yang sudah menancap kuat di Indonesia terdepak dari jerat sistemnya. Lantas gigit jari!”
SITUASI jelang Pilpres 14 Februari 2024 makin riuh. Partai-partai terus menjalin komunikasi dengan harapan dapat terjalinnya koalisi untuk mendapatkan tiket, begitu juga dengan para kandidat calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres) yang terus bergerak untuk mencari posisi.
Jelas terhalang aturan presidential threshold 20% menjadikan penyebab “keasyikan” situasi politik saat ini yang sebenarnya adalah rumit, pelik dan bingung, kecuali PDIP yang mempunyai kursi 20% di parlemen, meski persoalannya muncul siapa yang akan diusung.
Partai Gerindra dan PKB misalnya, terpaksa harus kawin dan saat ini harus “diada-adakan” dengan membuat sekretariat bersama pemenangan Pilpres, yang mana intinya masih dalam posisi “jaga-jaga” mengamankan tiket saja, tetapi tidak untuk posisi cawapresnya. Apakah sudah jaminan Prabowo-Cak Imin berpasangan, juga komitmen finish koalisi Gerindra-PKB. Jadi, sekber-nya Gerindra-PKB, ya, hanya untuk dinamika saja, aslinya, bingung! Bisa juga akhirnya Prabowo-Puan, Prabowo-Ganjar, Prabowo-Erick Tohir, Prabowo-Airlangga.
Begitu juga problem internal PDIP, yang mana Ketum Megawati dikepung untuk umumkan Ganjar sebagai capres di tengah menjaga brand partai bahwa Puan-lah capresnya ruh PDIP (Soekarno), hingga kekawatiran Puan akan terdepak dari PDIP kedepannya bila mengusung capres di luar trah Soekarno, dan menang Pilpres. Pilih Puan atau Ganjar, Puan! Ganjar! Puan! Ganjar!, Menang! Kalah! Menang! Kalah! Atau gabung Gerindra, atau pilih wakil saja, dsb., 1000 kalkulasi masih terus dihitung dan diracik formulasinya. Mbak Mega benar-benar pusing juga!
Belum lagi tercium aroma rivalitas poros Megawati dan Poros Jokowi sesama keluarga banteng. Jokowi yang cukup kuat namun riskan telah berhasil membuat partai-partai masuk dalam asuhannya, meski dinamikanya, hubungan Mega vs Jokowi yang renggang menjadi triger kesempatan partai-partai merdeka dari Jokowi. Kendati demikian, bukan seorang Jokowi namanya sebagai orang yang punya kuasa nomor 1 di Indonesia, meski tidak mempunyai wadah partai politik yang jelas, namun kekuatan itu nyata ada dalam poros Kepada Daerah-Forkompinda hingga Kades se-Indonesia.
Membaca dan menduga-duga Jokowi dalam positioning politik melalui pergerakannya muncul spekulasi-spekulasi. Harapan diusungnya Ganjar sebagai sintesis Jokowi melalui PDIP tipis. Harapan amannya proyek strategis nasional (PSN), termasuk sampiran kepada presiden terpilih dengan ikut membuat capres adalah demi keberlanjutan IKN, telah dibaca dalam serangkaian pergerakan yang aktif dan dinamis bahwa bagian itu harga mati, termasuk upaya penataan Gibran dan Kaesang dalam sirkuit Pilkada Jakarta, Pilkada Jawa Tengah, Pilkada Sumatera Utara hingga Pilwalkot Solo. Pendek kata, meski tak ada partai politik, namun jaringan birokrasi hingga Kepala Desa punya. Dugaan-dugaan itu disinyalir pada isu 3 periode dan perpanjangan jabatan Presiden. Artinya, Jokowi mencari positioning yang strategis. Dan, Jokowi juga terus “kepikiran”, apalagi yang akan terus dikelola?
Begitu juga Surya Paloh si empunya Partai Nasdem yang sudah mendeklarasikan Anies sebagai capres pilihan partai Nasdem, belum jaminan juga hal itu terkunci. Mengingat koalisi dengan Demokrat dan PKS masih tarik ulur untuk pengisian cawapresnya, apakah diisi oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Aher, bahkan dimungkinkan Khofifah Indar Parawansa. Ya, seolah-olah urusan cawapres diserahkan pada Anies untuk memilih, tetapi tidak begitu juga, tetap peran Paloh dan kedua partai koalisi lainnya turut mengambil peran untuk memutuskan.
Karena, Nasdem dalam hal ini Surya Paloh meskipun sudah berani ikrar capres pilihan Partai Nasdem, namun sikap Surya Paloh dibaca tetap mengambang, hal itu karena posisi Nasdem yang masih bersama dalam satu kabinet pemerintahan, bukan sebagai partai oposisi, seperti halnya sikap PKS dan Demokrat. Maka terlihat Suryo Paloh juga masih sibuk kesana-kemari membangun komunikasi, karena frame dasarnya Nasdem dibaca tetap dalam positioning dua skenario, yaitu Koalisi Perubahan berlanjut atau Nasdem mencari celah bila pasangan capres-cawapres 2024 hanya dua pasang koalisi besar. Maka kesan mendua Suryo Paloh tetap terlihat. Dan itu posisi Nasdem.
Begitu juga posisi Koalisi Indonesia Bersatu, poros Golkar-PAN-PPP, yang dalam hal ini masih terus berusaha mencari momentum untuk pisah (merdeka) dari Jokowi, tentu dalam upaya bila Airlangga Hartarto capresnya, KIB mampu tegak berdiri sendiri mengusung capres.
Namun secara umum, posisi KIB yang masih menjadi satu sebagai bagian dari partai pendukung kabinet, terlihat tidak dengan sikap yang jelas. Lagi-lagi Golkar (KIB) terus mencari positioning bilamana kelak hanya ada dua pasang calon koalisi besar, dimana posisi Golkar, itu yang terus dijadikan satu kesatuan pergerakan Golkar (KIB), dengan terus meracik potensi mengusung capres-cawapres dari KIB. Dengan demikian, posisi Airlangga Hartarto dkk, hampir mirip saja dengan Surya Paloh, 11-12 saja, masih mengambang saja, juga dibaca “bingung”.
Kendati demikian, upaya Golkar untuk terus menata terlihat ketika Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil masuk ke Partai Golkar, ditangkap bahwa Ridwan Kamil akan naik kelas menjadi calon gubernur DKI Jakarta.