Jalan Sesak Mendapatkan Tiket
Nah, sekarang bisa dibayangkan, betapa berlikunya jalan itu untuk mendapatkan tiket, pun dalam satu kesatuan pandang elektoral di semua lapisan dan sumber daya untuk mencapai target yang diinginkan hingga meraih kemenangan. Masih belum lagi memikirkan pat gulipat hukum di dalamnya, hingga lagi-lagi berkaitan dengan oligarki.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Jalan Sesak Mendapatkan Tiket
“Duh, betapa ribet, repot dan pusingnya dalam rangka menuju keadilan dan kemakmuran untuk rakyat. Apa, begitu, ya, politik? Dan apakah begitu ya “fastabiqul khoirot” dalam langgam perpolitikan Indonesia untuk tujuan memuliakan rakyat, dalam arti bangsa dan negara Indonesia atas prinsip ‘dari rakyat-oleh rakyat dan untuk rakyat'”
AMANAT Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, terutama pada Pasal 222 yang mengatur mengenai ambang batas presidential threshold (PT) sebagai syarat pencapresan.
Pada Pasal 222 berbunyi; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Hal tersebut yang sampai saat ini menjadi polemik, bahwa ambang batas presidential threshold (PT) 20% terlalu berat. Banyak usulan untuk diturunkan angkanya dengan mengajukan gugatan/uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar PT diturunkan menjadi 7-9% (persen), bahkan dihapuskan menjadi 0%. Namun berkali-kali uji materiil oleh para pemohon ditolak MK
Hal itulah yang dianggap proses demokrasi dalam pemilihan presiden (Pilpres) tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, dengan tidak memberikan/menghalangi kesempatan kepada para calon. Meskipun pemilihan presiden telah dilaksanakan dengan memilih langsung, namun tidak pada mekanisme pengusulannya. Disitulah ruh dari demokrasi menjadi kabur (sesak), dengan tidak memberikan kesempatan yang sama (adil) kepada yang berkeinginan dan pantas menjadi seorang calon.
Dampaknya, akan melahirkan iklim demokrasi yang tidak sehat, karena akan banyak kepentingan di dalamnya secara politis yang melibatkan banyak instrumen, sumber daya, dan semua aspek dalam tatanan kehidupan berpolitik. Lebih khusus lagi, energi partai politik habis untuk memperebutkan tiket tersebut yang telah dimulai 2-3 tahun sebelum Pilpres digelar.
Selain parpol yang disibukkan urusan tiket, terkorelasi dengan calon yang akan diusung untuk mendapatkan komposisi yang tepat demi meraih kemenangan, baik calon dari kader partai maupun independen.
Selain itu, praktik saling jegal, pembelahan, dan praktik tidak sehat lainnya acapkali terjadi, bahkan PT 20% sebagai biang keladi polarisasi di masyarakat, karena berpotensi hanya akan ada dua pasang capres, paling banter tiga pasang, itupun dengan dinamika yang menguras energi.
Mendasari dari hasil Pemilu 2019, maka proyeksi Pilpres 2024 dapat dibaca dari sumber daya yang ada di setiap partai politik maupun calonnya. Dengan demikian, Pilpres 2024 akan ada sedikitnya 2 hingga 4 poros koalisi mengusung capres. Secara realistis dari potensi yang ada akan ada 3 poros koalisi capres.
Di masing-masing parpol, kecuali PDIP yang telah mendapatkan tiket, telah tersandera dalam “ketergantungan” membentuk koalisi untuk menutup angka 20 persen tersebut. Di saat angka 20 persen terpenuhi oleh parpol koalisi, konflik muncul dalam koalisi perihal kader “jagoannya” yang saling meminta posisi calon presiden maupun wakil presiden, atau dengan syarat berat lainnya sebagai tukar tambah, hingga mahar politik dan deal-deal tertentu. Maka potensi pecah kongsi atau bubar terbuka lebar.
Tak berhenti pada ketergantungan dan tarik ulur pengisian capres dan cawapres, serta bentuk “bargaining” lainnya, persoalannya muncul ketika calon yang diusulkan tidak qualified, dalam artian tidak menjual, dengan popularitas dan elektabilitas yang rendah.
Selanjutnya, politik tukar tambah atau bargaining, hingga sandera menyandera disinyalir akan terus dilakukan melalui celah-celah pergerakan “operasi politik.” Menjadi pat gulipat didalamnya antara ranah hukum dan politik yang tumpang tindih, yang mana dijadikan senjata “bargaining power“. Ya, sesuatu yang halal (“politik”) dilakukan untuk memperoleh posisi yang endingnya untuk kemenangan dan kekuasaan. Jerat dan sandera pun dilakukan, karena titik kelemahan pada oknum pejabat sekaligus politisi pada beberapa kasus yang membelitnya sewaktu berada di lingkaran kekuasaan maupun telah purna (mantan bagian kekuasaan), telah berpotensi ke depan akan muncul sprindik-sprindik sebagai posisi tawar. Saling mengetahui kunci kelemahan, yang itu terkait dengan “masalah hukum”.
Publik Tanah Air setidaknya akan mendapat hiburan dari movement koalisi parpol dalam upaya mendapatkan tiket dan meracik komposisi ampuh capres cawapres hingga Pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari 2024 mendatang. Masihlah cukup panjang! Dan, menariknya lagi ketika hasrat memperoleh kemenangan pada poros-poros tersebut harus tersandera oleh kepentingan kapital pemilik modal. Karena memperoleh kemenangan dengan biaya politik yang tinggi akan membuka peluang adanya “pesan sponsor.” Artinya, Indonesia sebagai panggung bisnis yang empuk, peran serta kelompok oligarki dalam gelaran Pilpres cukup mendominasi dalam pembentukan format koalisi hingga penentuan tokoh capres-cawapresnya.
Melihat dinamika yang berkembang sampai saat ini (25/5/2023), ada beberapa catatan yang dapat dianalisa, terkait dengan berapa poros koalisi atau pasang capres-cawapres, berapa putaran Pilpres, hingga prediksi potensi kemenangan.
Hal yang paling menentukan konfigurasi koalisi parpol adalah “Jokowi faktor”, mengingat, power Jokowi yang kuat berada di hampir semua parpol. Dengan demikian dibaca, Koalisi Indonesia Bersatu, yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP akan mengikuti arah dari Jokowi.
Maka, diprediksi KIB akan mempunyai tiga opsi, yaitu;
Pertama, KIB yang terdiri dari Partai Golkar-PAN dan PPP, tetap berdiri sendiri sebagai poros koalisi dengan capresnya Airlangga Hartarto. Koalisi ini bermodal 25,73% atau 148 kursi dari total kursi 575 DPR RI, dengan suara partai sebanyak 23,67% atau 33.125.559 atau 23,67% dari total suara sah Pilpres 2019 sebanyak 139.970.810 suara.
Kedua, KIB bergabung bersama poros Prabowo atau Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, menjadi gabungan parpol Gerindra-PKB-Golkar-PAN, dan PPP. Airlangga berpotensi menjadi cawapres Prabowo. Koalisi ini dengan modal, 49,39% atau 284 suara kursi DPR, dengan suara nasional sebesar 69,5% atau sebesar 139.970.810.
Ketiga, KIB bergabung bersama poros PDI Perjuangan, menjadi gabungan parpol PDIP-Golkar-PAN dan PPP, dengan modal suara parlemen sebesar 276 kursi atau 48% dan total suara partai sebesar 43,31% atau 60.629.520 suara. Ganjar akan ditemani oleh Airlangga.
Ketiga opsi arah dari KIB tersebut, dibaca peran Jokowi sangat menentukan. Pendek kata, para Ketua Umum mengikuti arah Jokowi.
Untuk poros Prabowo Subianto atau Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, bila KIB benar-benar akan berdiri sendiri atau berkoalisi dengan PDIP, maka tak ada pilihan lain agar tetap bisa “manggung,” sekalipun “terpaksa” dengan cawapresnya Muhaimin Iskandar. Dibaca sejak awal, posisi Gerindra mesra dengan PKB adalah dalam upaya mengamankan tiket, sebagai antisipasi bila Gerindra benar-benar tanpa deal koalisi dengan partai lain atau ditinggal partai lainnya. Karena, tekat Prabowo jelas, sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden. Maka skenario besar mengawinkan Ganjar dengan Prabowo melalui koalisi besar PDIP-Gerindra-Golkar-PKB-PAN, dan PPP, sulit terwujud, hampir mustahil.
Sedangkan di poros Anies Baswedan, sudah cukup solid untuk mengamankan tiket 20% bersama Koalisi Perubahan dan Persatuan. Meskipun Nasdem dihantam citranya atas kasus Johnny Plate, namun secara administrasi tidak terpengaruh, seperti isu “pembubaran partai Nasdem”, kecuali peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh Moeldoko atas partai Demokrat dikabulkan oleh para hakim, maka tamatlah sudah koalisi ini. Dalam hal ini, justru “penggoyangan” melalui PK Moeldoko kepada Partai Demokrat, adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap enteng, mengingat menyangkut aspek legalitas hukum oleh Kemenkumham sebagai partai politik. Artinya, bila Moeldoko berhasil, maka Demokrat keluar dari koalisi ini, yang mana PT 20% tidak terpenuhi.
Dengan analisa seperti di atas, maka Pilpres 2024 dengan dua, tiga, dan empat pasang poros koalisi capres terbuka lebar, meski yang paling mungkin adalah dengan 3 poros koalisi, yaitu poros Prabowo, Anies dan Ganjar, dengan catatan tersebut di atas.