Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)

Apakah keberadaan para senopatinya yang selanjutnya disebut sebagai "Three Musketeers of Mataram" atau tiga serangkai Mataram meng-arsiteki kudeta Mataram terhadap Prabu Adiwijaya, kepada (untuk) tokoh yang di branding atau dipersiapkan sebagai pemegang tahta "Ratu Tanah Jawa" yaitu Danang Sutawijaya yang selanjutnya bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga.

3 Agustus 2022, 05:18 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet

“Apakah hal ini berangkat dari kurangnya literasi kesejarahan mengenai kerajaan Pajang, hingga narasi Joko Tingkir yang hanya mandeg dalam tokoh imajinasi spirit-fiksi-simbolik. Seperti, raja yang sakti, raja yang gagah berani, raja yang flamboyan atau “play boy”. Apakah ini soal adab dan etika atau attitude yang semakin hilang. Apakah ini bukti kebodohan gagalnya dunia pendidikan menghadirkan realita.”

Sejak tahun 1549 hingga kini 2022, waktu telah berjalan selama 473 tahun. Hampir 500 tahun diorama Joko Tingkir atau Prabu Adiwijaya menghiasi sosio-kultural masyarakat Jawa, khususnya pada kebudayaan mataraman.

Keberadaannya sebagai tokoh sentral (penguasa) hingga legenda imajinasi-fiksi, sejak dilahirkan dan meniti karir di kemiliteran kerajaan Demak hingga puncak karir politiknya sebagai raja di Pajang sedikit banyak berpengaruh pada perspektif Nusantara, minimal yang saat ini menjadi diskursus dalam konsep negara maritim dan agraris.

Namun akhirnya, kerajaan milik Prabu Adi Wijaya di Pajang runtuh begitu saja. Eksistensi Pajang hanya sekejap, hingga masa keemasan itu berhasil dikelola oleh Mataram dengan aneka tak-tiknya.

Analisa yang realistis dan tidak terjebak pada alam pemikiran yang mistis (fiksi), perlu ditelaah secara fungsionil agar melahirkan kesejarahan yang mendekati benar. Dengan demikian, Joko Tingkir atau Prabu Adiwijaya sebagai bagian dari sejarah Indonesia (Jawa), dapat digali sebagai bagian dari ilmu pengetahuan Nusantara.

Bicara soal Joko Tingkir, tentu minim bukti sejarah, pendekatan “5W 1H” (What, Who, Why, When, Where, How), tidak mewariskan bukti-bukti yang nyata. Akhirnya, bedah sejarah Joko Tingkir lebih berdasarkan dugaan, spekulasi, teori dan pendapat ahli. Tidak menjadi soal, sejarah didefinisikan dari rekonstruksi tanpa sumber sejarah selama hal itu masuk akal.

Lantas, diskursus sejarah yang manakah itu, bila umur kerajaan Pajang saja hanya seumur jagung. Peninggalan wujud budayanya juga sudah tidak berbekas. Potensi di bagian manakah yang membuat keberadaan tokoh Joko Tingkir atau kerajaan Pajang berperspektif Nusantara hingga terdapati relasi dengan arah haluan bernegara saat ini. Artinya, sebegitu pentingkah Pajang?

Tentu, sejarah tidak hanya berkutat pada narasi romantisme akan kehebatan masa lalu pendahulu suatu bangsa, hingga melahirkan dan mandeg dalam imajinasi simbolik yang mistis dan tidak nalar. Mengulik sejarah sama halnya membuat alur genealogi generasi masa lalu dan masa kini dalam pelbagai bidang, atau dalam ruang lingkup 7 unsur kebudayaan sebagai ruang lingkup utama peradaban suatu bangsa.

Telaah keberadaan kerajaan Pajang secara in depth (mendalam) dan kritis, tentu bermuara pada perdebatan analisis. Banyak argumentasi dari kedua belah pihak untuk mendefinisikan Pajang/Joko Tingkir yang sebenarnya, yang kemudian menjadi diskursus sejarah.

Diskursus tersebut seperti;

1) Apa yang memotivasi Joko Tingkir memindahkan kerajaan Demak yang sudah berjaya sebagai negara maritim terbesar di Nusantara. Demak terbukti akan ekspansinya dan perebutan hegemoni kekuasaan di Nusantara dengan Portugis di Selat Malaka dan Sunda Kelapa, yang kemudian nama ibu kota negara Indonesia pun “Jayakarta:Jakarta” atas inisiasi militer Demak. Dan Joko Tingkir tega, memindahkannya ke daerah pedalaman di kebudayaan mataraman kuno (Mataram:Pengging:Pajang) bekas kekuasaan Mataram kuno Rakai Pikatan.

Artinya, konsep negara agraris-maritim itu benar-benar sudah menjadi perdebatan dalam cara pandang terhadap haluan geo-politik dan geo-strategi kerajaan-kerajaan di Nusantara waktu itu. Sama halnya ketika “Nawacita” Jokowi dengan “Poros Maritimnya”.

2) Mungkinkah, Joko Tingkir menaruh dendam? Ya, dendam atas kematian ayahandanya akibat konflik kepahaman kerajaan Demak dan vasal Pengging yang dianggap masih berporos dengan kerajaan Majapahit akhir, yang mana masih dengan kepahaman Hindu-Buddha. Dianggap tidak selaras lagi dengan situasi global, kala hegemoni politik global Islam telah mendunia.

Apabila ditelaah lebih lanjut dalam konteks ini, maka akan timbul pertanyaan mengenai hal-hal mendasar dalam kaitannya dengan hal ini dan poin nomor satu di atas. Yakni; ajaran “manunggaling kawula kelawan Gusthi” atau “wahdatul wujud” oleh Syaikh Siti Jenar atau ajaran yang diinisiasi oleh Ibnu Arabbi. Konteks ini akan berhubungan dengan keberadaan kedatuan Bayat (Sunan Tembayat/Pandanaran).

Dengan demikian, dalam diri Joko Tingkir masih terbayang-bayang akan sebuah pilihan. Pyur ke dalam kepahaman Islam atau kembali menghidupkan rasa Majapahitan yang masih terdapati kepahaman lama. Mengingat, genetika Joko Tingkir dari ibunya masih trah Majapahit.

3) Diskursus yang ketiga adalah: “Soerja Padjang – Mataram Binangoen“. Apa yang dimaksudkan dengan jargon tersebut. Apakah Pajang versus Mataram benar-benar perang.

Apakah keberadaan para senopatinya yang selanjutnya disebut sebagai “Three Musketeers of Mataram” atau tiga serangkai Mataram meng-arsiteki kudeta Mataram terhadap Prabu Adiwijaya, kepada (untuk) tokoh yang di branding atau dipersiapkan sebagai pemegang tahta “Ratu Tanah Jawa” yaitu Danang Sutawijaya yang selanjutnya bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga.

Ataukah, Prabu Adiwijaya memberikan begitu saja dengan mudah tahta “Ratu Tanah Jawa” kepada anak angkatnya Danang Sutawijaya.

Tentu tidak bukan? Kepindahan Pajang ke Alas Mentaok (Mataram) tidak bisa disimplifikasi karena hadiah tanah perdikan atas jasa mengalahkan Arya Penangsang, dalam cerita-cerita fiksi-ilmiah perang tanding di Bengawan Sore, yang familiar dengan kuda Gagak Rimang, keris Setan Kober dan tombak Kyai Pleret.

4) Kerajaan Pajang yang menerima warisan daerah-daerah kekuasaan Demak yang luas, tidak bisa segera disatukan dalam politik integral negara kesatuan Pajang dengan sigap dan cepat. Hingga akhirnya menyebabkan umur Panjang hanya sekilas, dengan keluarnya daerah-daerah vasal yang merdeka, melepaskan diri dari kesatuan Pajang, terutama daerah di Jawa bagian barat dan timur.

5) Dimanakah letak kerajaan Pajang? Mengapa keraton hancur lebur tidak berbekas Jangan-jangan keraton Pajang tidak benar-benar dibangun sebagai “Kutha Praja,” atas situasi politik ambyarnya Demak yang kemudian saling melepaskan diri.

Artinya, hanya kedathon atau tempat (rumah) raja saja yang dibangun, sedangkan infrastruktur dan utilitas kota tidak dibangun dalam kerangka pertahanan militer. Seperti kota yang dipenuhi benteng-benteng.

Kemudian, Prabu Adiwijaya dalam cerita-cerita dengan tunggangannya Gajah putih. Apakah kerajaan Pajang sudah membangun relasi dengan kerajaan di Asia Tenggara, yang mana mendapatkan hadiah berupa hewan gajah dari daerah di sekitar Asia Tenggara atau Melayu.

6) Dan, saat ini sejarah Joko Tingkir dalam hubungannya sebagai keberadaan sebuah negara atau kerajaan, apakah dimaknai oleh generasi muda sebagai tokoh yang fiktif saja. Buktinya, Joko Tingkir pun, saat ini “Ngombe Dawet” (minum dawet/cendol).

Sepertinya, sebagian generasi muda dalam pemahaman literasi sejarahnya terus menjauh dari substansi. Bila sebelumnya, pemahaman sejarah masih agak mending dengan menempatkan figur atau tokoh sejarah ke dalam imajinasi spirit-fiksi-simbolik, tetapi jauh dari nalar yang sebenarnya. Itu masih mending, ada nilai-nilai yang masih tersirat.

Kacaunya saat ini, pemahaman simbolik-fiksi-spiritnya sudah menghilang, pemahaman literasi nalar sejarah tidak di punyai, yang akhirnya asal “ngomong” saja sebagai bentuk ekspresi, seperti “Joko Tingkir Ngombe Dawet“, parahnya lagi kalau hal ini tidak segera diluruskan, nanti akan ada lirik lagu “Joko Tingkir Nganggo Ca**t” alangkah itu sangat melecehkan sejarah.

Apakah hal ini berangkat dari kurangnya literasi kesejarahan mengenai kerajaan Pajang, hingga narasi Joko Tingkir yang hanya mandeg dalam tokoh imajinasi spirit-fiksi-simbolik. Seperti, raja yang sakti, raja yang gagah berani, raja yang flamboyan atau “play boy“. Apakah ini soal adab dan etika atau attitude yang semakin hilang. Apakah ini bukti kebodohan gagalnya dunia pendidikan menghadirkan realita. Seringkali sejarah dimaknai dengan pendekatan dongeng, meskipun sejarah banyak digunakan sebagai alat pembelokan fakta bagi kemenangan kekuasaan, namun tidak demikian cara kerja ilmu pengetahuan.

Nah, poin di atas adalah beberapa diskursus sejarah ihwal kerajaan Pajang dengan rajanya Prabu Adiwijaya atau Joko Tingkir yang hebat semasa mudanya. Masihlah banyak hal yang perlu didalami hal Joko Tingkir dan kerajaan Pajang yang hingga saat ini masih misteri.

Mari kita dalami dengan sumber literasi yang minim, berdasarkan penghubungan waktu periodesasi, dan dugaan-dugaan lainnya dengan argumentasi yang masuk akal.

)* bersambung bagian 2

Sejarah Joko Tingkir Trah Pengging

Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (2)
Episentrum Mataram dalam Sumbu Imajiner
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Road Map Sastra Jawa
Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)

Terkait

Terkini