Kalau Boleh Memilih

Semenjak pandemi melanda negeri, usaha catering gulung tikar. Dan Mak Munah pun harus kehilangan salah satu sumber penghasilannya. Pekerjaan yang bisa diandalkan hanyalah sebagai buruh cuci gosok saja.

28 April 2022, 08:39 WIB

Nusantarapedia.net — Kalau Boleh Memilih

| cerminPerpisahan Abadi
Mundy Sae

“Mak, sebentar lagi Lebaran. Aku belum punya baju baru. Kapan Emak belikan untukku?” tanya Titi, gadis berusia dua belas tahun itu setengah terisak.

“Sebentar, ya, Nak, nunggu Emak dapat THR,” jawab Emaknya sambil membelai rambut keriting putri semata wayangnya itu. Entah mau dapat THR dari mana, karena toh dia bukan seorang pegawai. Dia hanya mencoba yakin akan kekuasaan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

“Teman-teman sudah beli semua. Titi nggak mau main kalau belum punya baju baru?”

“Emang kenapa?”

“Semua mengejek Titi miskin karena nggak bisa beli baju baru, Mak,” jawab Titi tak bisa menahan desakan air mata. Tangis itu semakin berderai. Emaknya segera membawa Titi ke dalam rengkuhannya, untuk sekadar memberikan kekuatan batin.

Ada getir dalam hati Emak. Namun, dia tak akan menyalahkan siapa pun atas keadaan ini. Kesulitan ekonomi yang kian hari kian terasa, semenjak pandemi corona. Hanya kekuatan hati yang membuat Emak mampu bertahan.

Emak Maemunah adalah seorang janda berumur 45 tahun. Sudah lima tahun dia menjanda. Selama itu pula dia bekerja banting tulang seorang diri, untuk terus melanjutkan hidup bersama Titi, anak satu-satunya.

Sebelum pandemi Mak Munah sehari-harinya bekerja di salah seorang pengusaha catering rumahan. Selain itu juga menjadi buruh cuci gosok panggilan, yang tidak setiap hari ada.

Semenjak pandemi melanda negeri, usaha catering gulung tikar. Dan Mak Munah pun harus kehilangan salah satu sumber penghasilannya. Pekerjaan yang bisa diandalkan hanyalah sebagai buruh cuci gosok saja.


Seandainya waktu bisa diputar mundur, Titi lebih memilih tidak punya baju baru. Biar pun dihina miskin, tidak apa-apa. Toh itu kenyataan, meski cukup pahit untuk ditelan. Namun, kenyataannya waktu tak bisa diputar mundur ke belakang. Waktu akan terus berjalan maju.

Sekarang, jasad Mak Munah sudah terbujur kaku di atas meja. Warna putih kain kafan yang membalut tubuh perempuan itu, sedikit bernoda merah karena darah masih terus merembes, akibat luka di kepala.

Emak Maemunah harus meregang nyawa. Menjemput takdir yang tidak pernah bisa ditebak kapan waktunya. Tepat di hari-hari terakhir bulan Ramadan. Saat semua orang tengah sibuk mempersiapkan Lebaran.


Pagi hari sebelumnya ada yang menyuruh menggosok pakaian untuk persiapan Lebaran, yaitu Bu Haji Patmi. Tetangga desa yang sudah sering memakai jasa Mak Munah. Selesai menggosok, Bu Haji memberikan bingkisan dan amplop yang berisi sejumlah uang. Rasa syukur tak henti Mak Munah panjatkan pada Allah. Juga rasa Terima kasih dia haturkan pada Bu Haji, atas kemurahan hatinya.

Sungguh senang hati Mak Munah karena akhirnya bisa membelikan baju baru untuk Titi. Tanpa mempedulikan tubuhnya yang lelah, Mak Munah langsung ke pasar. Dia akan memberikan kejutan untuk Titi, jadi belanja sendiri tanpa mengajaknya.

Namun, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Saat perjalanan pulang dan menyeberang jalan, tiba-tiba ada sebuah motor yang melaju cepat, dan menyambar tubuh kecil Mak Munah.

Tubuhnya terpental beberapa meter. Luka parah di bagian kepala, membuat nyawanya tak bisa ditolong. Namun, baju baru untuk Siti, tak lepas dari genggaman tangannya. Tas kresek putih pembungkusnya pun berubah warna menjadi merah.


Titi Aulia, gadis kecil yang beranjak remaja, dia dibesarkan dengan segala keterbatasan oleh Mak Munah, terkejut mendengar kabar itu. Apalagi tahu kalau kepergian Emak demi membeli baju untuk dirinya. Dia meraung dan menangis, memeluk jasad Emak. Kini dia tak hanya yatim tapi juga piatu.Titi si anak yatim piatu, lengkap sudah kepedihannya.

Manusia tak ada yang bisa untuk menghindari takdir dari Allah, walau sedetik pun. Takdir hari ini, membuat Titi harus berpisah selamanya dengan Emak. Tepat lima hari sebelum Lebaran, dia harus rela melepas Emak ke peristirahatan terakhir.

‘Mak kalau boleh memilih, aku lebih memilih ada Emak di sisiku, meski tanpa baju baru.’ Titi bermonolog dalam hati.

Air mata terus berderai, mengantar Mak Munah ke peristirahatan terakhirnya. Ada sesak yang menghimpit dada Titi. Nyatanya, dia terlalu lemah untuk tetap bisa berdiri tegak. Toh dia memang sudah kehilangan penyangga hidupnya selama ini.

Membayangkan Lebaran tanpa Emak, menjadi beban tersendiri dalam pikiran Titi. Menit berikutnya dia roboh. Tak kuat menahan segala rasa yang ada. Seketika dunia gelap menyergap.

‘Mak, aku ikut Emak!’


Magelang, 26 Ramadan 1443 H

Sebuah Pengharapan
Penjual Klepon
Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah
Peran E-Commerce Bagi Ekonomi Kreatif di Bulan Ramadan
Jokowi Putuskan Larang Ekspor Minyak Goreng dan RBD/CPO
Nastar Kue Favorit Lebaran 2022

Terkait

Terkini