Kamus Dewan: Dewan Kolonel, Dewan Kopral, Dewan Rakyat, Kamu Dewan Apa? Dewan Perindu Suara Kehidupan! (2)
Bila itu tidak ditemukan, akhirnya dengan segala daya upaya, rindu itu terobati juga, meski berada dalam suara-suara kehidupan di dalam bumi dan di langit kehidupan

Nusantarapedia.net, Jurnal | Puspawarna — Kamus Dewan: Dewan Kolonel, Dewan Kopral, Dewan Rakyat, Kamu Dewan Apa? Dewan Perindu Suara Kehidupan!
Analisa Sederhana;
Rerata partai politik (parpol) di Indonesia tidak tumbuh dalam suasana dan praktik demokrasi yang berlandaskan pada pemikiran-pemikiran individu yang terwadahi dalam sistem internal parpol, baik itu pemikiran revolusioner:maju:intelektual:prestasi, kinerja,etalase, dsb. Nafas dan langgam yang diciptakan dalam sistem internal parpol terbentuk dan sengaja berkultur feodal. Letak dari bentuk feodal tersebut jelas tercermin pada satu figur sentris paternalistik dalam roda partai. Dengan demikian, tentu sudah umum “segala sesuatu diputuskan oleh pimpinan tertinggi”.
Puan Maharani sebagai cucu Soekarno adalah putra dari Megawati, publik menilai PDIP adalah Megawati, bahkan Soekarno pun diposisikan sebagai PDIP dalam makna simboliknya.
Megawati yang dulu merana di jaman orde baru, tersingkir oleh poros tengah, kalah “gercep” dan strategi dari SBY, maka harus rela PDIP menaikkan Jokowi untuk upaya strategis pemenangan dan kemenangan. Dengan demikian, sudah saatnya trah Soekarno memimpin.
Meskipun PDIP mendapatkan tiket capres dengan aturan presidential threshold 20 persen melenggang tanpa harus berkoalisi, persoalan PDIP ada pada problem internal, siapa yang akan dicalonkan. Pilihannya adalah Puan dan Ganjar. Bagaimana untuk mengurai hingga menemukan komposisi yang pas soal siapa capres PDIP masih terus berdinamika dengan sangat pelik.
Pendek kata, urusan dukungan, potensi kemenangan ada di Ganjar Pranowo, keseluruhan elektoral yang ada dalam diri Puan dan Ganjar, Puan kalah.
Sebagai catatan, narasi di atas bukan dalam pengertian Ganjar lebih baik dari Puan, hemat penulis keduanya dalam kapasitas dan keseluruhan penilaian dari berbagai aspek dengan skor 50:50.
Kemunculan Dewan Kolonel yang kemudian ditandingi dengan lahirnya Dewan Kopral adalah juga salah satu tradisi dalam perpolitikan di Indonesia. Dewan kolonel di framing oleh lawannya sebagai sekumpulan elit, elit yang dikonotasikan buruk, seperti: budaya top down, tegak lurus, atau sebagai sekelompok dalam posisi berada di Menara Gading.
Sedang Dewan Kopral diopinikan (framing) sebagai pihak yang tersakiti, disakiti, hingga terbentuk sebagai representasi simbol perlawanan kekuasaan yang kaku.
Dengan demikian politik pembelahan dengan narasi kontradiktif/pembenturan elit vs rakyat, juga permainan playing victim itu jelas sebuah tradisi perpolitikan yang umum dilakukan di Indonesia.
Dengan obyektif, hemat penulis katakan, sebaiknya “Ganjar” atau dalam hal ini para relawan, tidak harus memaksakan berada di lingkaran PDIP, karena dalam waktu yang dekat ini hingga 2024, tidak mungkin budaya itu bisa dirubah. Artinya, PDIP memutuskan Puan sebagai capres adalah logis. Logis dalam fakta kultur partai. Perkara Puan elektabilitasnya ngangkat atau tidak, hingga menang atau kalah itu urusan lain.
Tentu, Ganjar Pranowo sudah memahami itu semua. Situasi dan kondisi memang harus dilakukan oleh Ganjar dengan mengatakan bahwa, “meminta semua menahan diri, karena urusan pencapresan merupakan wewenang Ketua Umum Megawati.” Itu yang normatif harus dikatakan, juga dalam faktanya bahwa PDIP dalam semua aspek memang Puan lah yang pas.
Yang menjadi spekulasi di publik adalah, bagaimana dalam hal ini skenario yang akan dimainkan oleh Ganjar bila dibaca sebagai “Ganjar berporos Jokowi”, atau Jokowi memberikan peta jalan untuk Ganjar sebagai langkah/upaya untuk menggantikan dirinya. Karena persoalannya jelas, Ganjar tidak punya kendaraan, meski PDIP partainya. Hal yang sama terjadi pada Anies Baswedan.
Saat ini, upaya dari PDIP untuk “mewangikan” Puan jelas semakin dirasakan. Tetapi PDIP tetap tidak gegabah dengan buru-buru mendeklarasikan Puan sebagai capres dari PDIP, karena sekali dengan strategi yang salah akan fatal. PDIP masih terus berdinamika dengan hitungan dan formulasi yang ampuh untuk menentukan calonnya dengan terus membuat skenario 1 hingga 3, dengan tetap Puan sebagai skala prioritas, meski pada akhirnya PDIP harus memilih satu pilihan di antara banyak pilihan, seperti formulasi pasangan dengan komposisi duet dalam kesatuan membangun koalisi dengan partai lain.
Pilihan itu bisa saja, akhirnya:
• Puan – Ganjar
• Ganjar – Puan (peluang kecil)
• Prabowo – Puan
• Puan – Erick Thohir
• Puan – Anies
Dengan analisis seperti di atas, maka, apa yang pernah diusulkan oleh Rocky Gerung bahwa, agar demokrasi tumbuh maka ambang batas pencalonan presiden harus 0 persen. Bila 0 persen, posisi Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan tidak sepelik ini.