Kamus STB, dari Urgensi 16 Besar Piala Dunia hingga “Macan Ketawa”

- Pada kesimpulannya adalah, mari berfikir sejauh mana oligarki ekonomi di Nusantara telah benar-benar menguasai hajat hidup rakyat. Dan, dimanakah itu posisi oligarki politik -

8 Desember 2022, 20:08 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Puspawarna — Kamus STB, dari Urgensi 16 Besar Piala Dunia hingga “Macan Ketawa”

“Cilakanya lagi yang kedua adalah, tidak dianggap miskin, hingga gagalnya terima bantuan STB, mau beli STB tidak punya duit, karena versi data-data dari atas tidak masuk kriteria miskin.”

TETIBA, … riuh di media sosial, ramai di toko-toko elektronik, di mall, hingga di pasar-pasar. Awalnya, signal itu tidak terlalu digubris oleh sebagian masyarakat lantaran jauh sebelumnya sudah ada informasi ihwal pemutusan siaran TV Analog yang bertahap. Atau juga karena sudah bertransformasi ke ruang smartphone dan laptop.

Meski ada beberapa boss TV yang sempat bersitegang dengan pengambil keputusan, lantaran stasiun TV dibuatnya merugi. Meski juga ada masyarakat yang menyambutnya dengan penuh ekspresi “riang” bahwa digitalisasi ditangkap sebagai transformasi adalah keniscayaan yang dianggap “smart” dan “modern”. Meski juga tak sedikit masyarakat yang mengumpat atas kebijakan tersebut. Lantaran, ujung-ujungnya, solusinya atas nama transformasi digital yang katanya “smart” itu, toh, akhirnya, endingnya, ya duit, duit dan duit solusinya, harus ditebus dengan mahar yang bernama “duit”.

Tetapi, hingga tahap akhir batas waktu pemutusan TV Analog sudah mencapai 100 persen di seluruh wilayah, nampaknya juga masih anteng-anteng saja suasananya di permukaan, meski dalam suasana bathin “masyarakat” sudah tahu jawabannya, bahwa ini soal duit atau memang tidak tahu apa yang dipikirkannya akan kenyataan yang terjadi. Hebatnya, karena sebagian besar makmur, ya, anteng-anteng saja, karena sejurus kemudian, pasti tinggal beli di toko elektronik, dan ini, nih, lamat-lamat kata “bantuan”, bantuan dan bantuan sudah nyaris-nyaris terdengar jelas.

Yach, ingat pepatah Jawa, “Jerone kedung isa dijajaki, Jerone ati sapa sing ngerti“, yang artinya, “Kedalaman danau bisa terlihat (diketahui), tetapi siapa yang tahu isi pikiran dan hati seseorang.”

Cilakanya lagi, batas akhir 100 persen pemutusan tersebut berbarengan dengan momen gelaran Piala Dunia Qatar 2022 yang mana sudah berakhirnya fase penyisihan grup menuju fase selanjutnya di 16 besar, yang mana 16 tim akan berlaga hasil saringan dari 32 tim, maka 16 tim hebat ini akan menghadirkan pertandingan sepakbola yang menarik dan kompetitif. Artinya, babak 16 besar ini adalah urgensi sebagai jawaban atas ramainya toko-toko elektronik. Wajib ditonton!

Judul narasi di atas adalah STB. Apa itu STB, akronim dari Set Top Box (STB)? STB adalah alat untuk mengonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara yang dapat ditampilkan di TV analog biasa. STB bisa digunakan untuk semua TV analog baik yang berupa TV tabung maupun TV layar datar.

Nah, STB adalah alat yang bisa diperoleh dengan cara membeli memakai duit tersebut di atas, atau dapat diperoleh melalui bantuan yang samar-samar mulai terdengar.

Mengapa harus punya STB? Karena di negeri Nusantara siaran TV Analog diputus dan diganti dengan siaran TV digital.

Kebijakan pemerintah mengalihkan siaran televisi (TV) analog ke digital yang diberlakukan menyeluruh di Indonesia, dilakukan dengan beberapa tahap dalam pemutusan siaran TV analog.

Tahap pertama pemutusan TV analog untuk 56 wilayah pada 30 April 2022 yang lalu. Kemudian siaran TV analog tahap 2 sebanyak 31 wilayah di 110 kabupaten atau kota, selanjutnya akan menyasar 25 wilayah siaran di 65 kabupaten/kota pada tanggal 2 November 2022 sebagai batas akhir pemutusan di 100 persen wilayah Indonesia.

Ini nih, ini, ini, kabar menentramkannya! Sembari terus berdoa agar dapat bantuan STB, karena akan ada bantuan STB dari pemerintah untuk masyarakat yang katanya “miskin”. Adapun anggaran bantuan STB pada tahun 2022 sebesar Rp382 miliar atau 1 juta titik, kemudian tahun 2023 sebesar Rp28 miliar untuk 80 ribu titik. Alhamdulillah, semoga dapat bantuan ya, Nuspedian. Tak usah malu, meski harus “Kridha lumahing asta” karena kenyataannya miskin.

Cilakanya lagi yang kedua adalah, tidak dianggap miskin, hingga gagalnya terima bantuan STB, mau beli STB tidak punya duit, karena versi data-data dari atas tidak masuk kriteria miskin. Pasalnya, harga STB di pasaran berkisar 200-500 ribu, padahal telur dan ayam mengantri di dapur, apakah harus tahu tempe dan gembus terus menerus, sedangkan uang saku mengantri setiap pagi, boro-boro berlibur ke Wakatobi, ach, … mimpi di siang hari.

Menariknya lagi bahwa ada produk atau merk STB yang direkomendasi oleh “pihak terkait” dengan seribu narasi keunggulan, dan tentunya narasi “perlindungan”.

Ach, pokoknya, percaya saja sama yang di atas bahwa transformasi digital itu keniscayaan, dan betul, yaitu percaya membeli STB. Karena maksud pergantian ke TV analog ke digital ini biar kualitas gambarnya tidak ada “semutnya.” Selain itu, tujuannya, hasil penghematan pita 700 MHz akan digunakan untuk sistem peringatan dini kebencanaan, layanan pendidikan dan kesehatan jarak jauh, juga untuk peningkatan layanan internet, dari konversi ini. Tuch, kan, apa ngga mulia tujuannya!

Selain itu, tujuannya untuk pemerataan siaran televisi berkualitas di seluruh pelosok daerah di dalam negeri, juga menumbuhkan 232.000 lapangan pekerjaan baru. Lapangan yang mana? Oh, iya, lapangan kerja digital maksudnya. Jadi terasa meski “bias”, sebias dari ruang digital itu sendiri yang “lebih memanipulasi”.

Selain itu juga yang jelas, kalau masih memakai TV Analog, akan terasa “katrok” kuna dan tertinggal dari negara-negara di dunia. Dengan demikian, timbul pemikiran? Bukannya sudah ada internet dengan smartphone, tablet atau laptop yang itu sudah sangat mobile di ruang maya, dan TV akan mati dengan sendirinya.

Terkait

Terkini