Kebebasan Berpendapat pada Era Digital adalah Boomerang?
Perkembangan di dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia nyata.
Nusantarapedia.net — Kebebasan Berpendapat pada Era Digital adalah Boomerang?
Pada saat ini, masyarakat hampir sepenuhnya mencari segala informasi melalui media internet. Para jurnalis pun yang dulunya mengandalkan kecepatan dalam menulis, kini mereka hanya perlu merekam sebuah kejadian melalui teknologi canggih yang ada saat ini.
Bahkan kini, siapa pun orang bisa dengan mudahnya merekam sebuah fenomena dan membagikannya kepada dunia melalui internet. Namun sayang, kini media yang seharusnya menjadi wadah aspirasi banyak orang malah mampu menjadi bumerang terhadap seseorang yang hanya ingin membagikan informasi kepada publik tanpa memahami literasi media.
Hal inilah yang kini membuat sebagian masyarakat enggan membagikan sebuah informasi melalui media dan lebih baik berdiam diri. Nyatanya setiap orang berhak berpendapat atau membagikan sebuah informasi kepada orang lain selagi hal itu tidak mengganggu atau merusak nama baik orang lain dan masih dalam batas sewajarnya.
“Indonesia merupakan negara hukum memiliki peraturan yang melindungi hak-hak asasi manusia. Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak diberikan oleh negara, melainkan asasi manusia menurut hipotesis John Locke, hak-hak individu yang sifatnya kodrati dimiliki oleh setiap insan sejak dia lahir.”
Indonesia saat ini belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang subtansial yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis, sebagai contoh, kasus Prita yang pernah meramaikan stasiun Televisi yang menggugah hati nurani hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Permasalahan tersebut terjadi karena hal yang sifatnya sepele, yaitu pengalaman tidak menyenangkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit. Berkirim email pada temannya, namun tanpa diduga berdampak hukum dengan dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga harus mendekam di penjara.
Benarkah hanya karena memberi kritik seseorang bisa ditahan. Kasus Prita ternyata berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi yang tiada berhenti ujungnya. Berdasarkan pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah, sebab pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah seorang ibu dengan dua orang anak, sehingga dukungan mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh setiap negara demokrasi. Demokrasi bermakna rakyat diberi kebebasan untuk memilih dan menilai yang sekaligus mengharuskan wujudnya kebebasan berpendapat, berhimpun, dan berpesatuan.
Setiap Negara demokrasi tentu memiliki prinsip-prinsip demokrasi yang dijalankan seperti persamaan, kebebasan, dan plurasime. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya. Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia merupakan negara hukum memiliki peraturan yang melindungi hak-hak asasi manusia. Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak diberikan oleh negara, melainkan asasi manusia menurut hipotesis John Locke, hak-hak individu yang sifatnya kodrati dimiliki oleh setiap insan sejak dia lahir.
Salah satunya adalah hak berbicara dan mengeluarkan pendapat yang dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, ras dan agama.
Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Misalnya saja tulisan, buku, diskusi, artikel dan berbagai media lainnya. Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat semakin dihormati. Kebebasan berekspresi pun dapat dituangkan melalui beragam media baik media elektronik maupun media cetak.
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Penyampaian dan penyebaran informasi melalui media cetak maupun elektronik sering kali tidak mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat.
Data terbaru yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan sampai dengan akhir tahun 2013 pengguna internet di Indonesia mencapai angka 71,19 juta pengguna. Terus meningkatnya jumlah pengguna internet dari tahun ke tahun, selain akan menjadi pemicu berkembangnya beragam inovasi, juga akan melahirkan sejumlah ancaman dan masalah baru dalam penggunaan teknologi ini.
Membaca lebih jauh data APJII dan BPS, sarana internet di Indonesia terbesar digunakan sebagai instrumen untuk menerima dan mengirimkan email (95,75%), sarana mencari informasi berita (78,49%), dan alat mencari informasi barang/jasa (77,81%).
Data-data tersebut seperti memberikan legitimasi, bahwa internet di Indonesia benar-benar telah memberikan konstribusi yang sangat besar bagi penikmatan hak atas informasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi. Termasuk di dalam cakupan hak tersebut, adalah hak untuk mencari, mengirim, menyimpan, dan menukarkan informasi.
Dalam upaya mengatur pemanfaatan teknologi informasi terutama internet di Indonesia, pada tahun 2008 pemerintah telah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun demikian, setelah diundangkan, kebijakan ini justru menuai banyak kontroversi dari masyarakat.
Kontroversi ini muncul, dikarenakan selain memberikan pengakuan dan perlindungan bagi informasi, dokumen, tanda tangan, dan transaksi elektronik, UU ITE juga merumuskan serangkaian ancaman pidana. Bahkan, bisa juga kita tarik simpulan, bahwa undang-undang ini tidak menitik beratkan pada pengembangan TIK di Indonesia, serta upaya memicu perluasan perniagaan elektronik, tetapi justru kental nuansa pembatasannya.
Kuatnya nuansa pembatasan ini antara lain menyangkut rumusan dalam pengaturan konten internet, yang hampir selalu dibarengi dengan ancaman pemidanaan, yaitu: perluasan bentuk penghinaan dalam teknologi informasi, penyebaran kebencian golongan masyarakat, dan kesusilaan. Rumusan-rumusan ketentuan tersebut sangat multitafsir, cenderung melanggar prinsip dalam hukum pidana, yang dalam praktiknya memiliki implikasi serius pada kehidupan sosial politik Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebebasan yang diperoleh masyarakat Indonesia akan hak-hak yang mereka dapatkan dari supremasi HAM tersebut, justru malah gunakan secara berlebihan dan bahkan mengarah ke hal-hal yang negatif karena dapat di kategorikan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional.Salah satu contohnya adalah penggunaan hak dalam berpendapat.
Pada masa sekarang ini banyak yang melakukan kebebasan berpendapat dengan cara berdemonstrasi turun ke jalan. Apa yang mereka lakukan selalu mengatas namakan demokrasi.Namun kadang aksi-aksi demonstrasi yang mereka lakukan tidak sesuai dengan aturan yang bahkan dapat menyebabkan aksi-aksi anarkis yang tentu saja hal itu dapat mengganggu stabilitas nasional serta ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Disadari atau tidak teknologi telah menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, teknologi telah mengalami degradasi nilai yang pada akhirnya dapat membawa manusia kepada suatu titik tertentu yang justru dapat berdampak buruk untuk manusia itu sendiri. Seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait dengan teknologi ini.
Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi.
Perkembangan di dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia nyata.
Wisata Halal di Era Media Baru
Euforia Trading di Kala Pandemi