Kebhinekaan Dalam Perjalanan Batin

29 Agustus 2024, 17:15 WIB

Nusantarapedia.net | RELIGI — Kebhinekaan Dalam Perjalanan Batin

Oleh : Alvian Fachrurrozi

ADA sekian banyak orang di dunia ini yang dalam menganut sebuah agama hanya ikut-ikutan saja, memaksakan diri tetapi sampai akhir hayatnya ia tidak berhasil atau tidak tahu sama sekali soal inti spiritualitas agamanya, tidak tahu menahu soal Tuhannya. Sehingga akibat gagal dalam mengenal Tuhannya, ia malah hanya sibuk “petentang-petenteng” dengan simbol-simbol agama. Orang seperti itu sangat banyak sekali jumlahnya dan orang seperti itu pulalah yang banyak menjadi “parasit” di negeri pluralis seperti Indonesia ini.

Padahal jauh-jauh hari, pada abad-abad yang lampau para leluhur di Nusantara ini sudah punya prinsip luhur dalam keberagamaan yang diantaranya mengatakan: “agama adalah ageman,” agama adalah ibarat pakaian semata. Maka tidak elok rasanya jika kita merasa keturunan bangsa Nusantara tetapi masih suka sibuk “mengurusi” apalagi “mempermasalahkan” dan “menanding-nandingkan” ageman kita dengan ageman saudara sebangsa kita yang berlainan.

Cobalah sejenak kita buka sejarah para leluhur di Nusantara, soal kesadaran pluralisme dan toleransi, tidak usahlah kita selalu menengok pada peradaban Barat. Pada abad ke-11 Masehi di Nusantara ini, tepatnya di Kerajaan Kadhiri, ada seorang raja yang tersohor, Prabu Airlangga. Beliau adalah seorang penganut agama Hindu mahzab Waisnawa, namun beliau juga mempunyai guru kebatinan Mpu Bharadah seorang pandita dari agama Buddha mahzab Mahayana. Jadi bukan hal yang aneh, meski Hindu Waisnawa adalah suatu mahzab agama Hindu yang terkenal akan corak Bhakti Yoga (devosi, pemujaan-pemujaan) seperti halnya dalam agama Kristen saat ini dan bukan seperti Hindu mahzab Syiwaisme dan agama Buddha yang terkenal dengan corak Raja Yoga (asketisme, pertapaan).

Namun nyatanya berkaitan dengan Prabu Airlangga sendiri, beliau juga tercatat sangat suka melakukan laku-laku asketisme sebagaimana para Yogi. Oleh sebab itu petilasan pertapaannya banyak ditemukan di berbagai tempat di Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Seperti misal petilasannya di Candi Menggung, Karanganyar, Jawa Tengah. Hal ini jelas menandakan pengaruh kuat dari guru kebatinan beliau Mpu Bharadah, sang pertapa Mahayanis. Tetapi toh di sini juga tidak ada kisah konversi ageman atau perpindahan agama dari keduanya.

Atau kita tarik sejarah kita pada abad ke-15 Masehi, pasca imperium Majapahit itu.
Di sana kita juga menemukan sepotong kisah bagaimana seorang Ki Ageng Kebo Kenongo yang menganut spiritualitas Syiwa Buddha mempunyai seorang guru kebatinan Syekh Siti Jenar yang menganut spiritualitas Tassawuf Islam. Pada waktu itu Ki Ageng Kebo Kenongo dan Syekh Siti Jenar sangat intensif sekali berdiskusi secara ilmu lahir dan secara ilmu batin perihal tuntunan kebatinan dalam Syiwa Buddha dengan tuntunan kebatinan dalam Tassawuf Islam. Pada puncaknya beliau berdua menemukan benang merah yang sama dalam puncak kebatinan, dalam nafas tauhid ketuhanan. Oleh sebab itu hasil akhirnya mereka berdua hanya bisa “diam”, serta tidak ada konversi ageman atau perpindahan keyakinan.

Terkait

Terkini