Kedatuan Bayat dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno (2)

"Sunan Pandanaran diperintah oleh majelis dakwah wali untuk syiar agama Islam di wilayah selatan pada kebudayaan Mataraman, hingga dipilihnya Bayat sebagai basisnya"

21 Desember 2021, 00:54 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Kedatuan Bayat dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno

“Dimungkinkan juga, penamaan bukit Jabalkat sejaman dengan era Majapahit akhir yang sudah Islam. Sejaman dengan teks prosa “Tantu Panggelaran,” mengenai konsep etiologi terbentuknya pulau Jawa, atau asal usul suatu tempat yang dianggap penting.”

Bayat Pusat Spiritual “Patembayatan”

Pendekatan kritis analitis dalam mengungkap sejarah masa lampau, tidak hanya berdasarkan literasi tertulis dalam naskah, yang mana rawan pembelokan kekuasaan. Begitu juga minimnya bukti arkeologis atau artefak, maka yang paling realistis menghubungkannya dengan garis waktu periodesasi.

Pendekatan asal usul sebuah nama tempat, atau nama orang dan nama sebutan atau gelar juga perlu digunakan dengan ilmu Onomastika dan Antroponomi juga cabangnya, ilmu Toponimi, sering digunakan sebagai dugaan awal (tesis).

Hal itu akan bersinggungan dengan teks ataupun cerita rakyat, bahkan dihubungkan juga dengan analisis geomitologi untuk diverifikasi.

Catatan saya, yang ini perlu dikembangkan menjadi disiplin ilmu dalam merekonstruksi sejarah, atas minimnya bukti primer, menggunakan pendekatan visi spiritual, meskipun belum terdapati rumusan yang nalar, karena terkesan mengada-ada bahkan halusinasi ataupun “uka-uka“. Namun, bukan tidak mungkin, potensi itu ada dan berkembang menjadi rumusan teknik dalam algoritma didalamnya.

Perlu diingat, cerdasnya bangsa Nusantara bila itu terkait dengan kapsul waktu, serta energi tak kasat mata didalamnya. Rumusan algoritma itu akan berhubungan dengan metode supranatural dan metafisika. PR-nya, kolaborasi ahli spiritual, fisika dan teknologi, dalam merumuskan desain visi spiritual.

Kedatuan Bayat

Secara umum, Kedatuan Bayat dikenal sebagai makam seorang waliyullah pada jaman Demak akhir. Sebelumnya, merupakan Adipati pertama Semarang, juga disebut sebagai Sunan Pandanaran II, karena putra dari pendiri kota Semarang, Sunan Pandanaran I. Nama Pandanaran diambil dari nama toponimi di daerah Semarang.

Sunan Pandanaran diperintah oleh majelis dakwah wali untuk syiar agama Islam di wilayah selatan pada kebudayaan Mataraman, hingga dipilihnya Bayat sebagai basisnya.

Sesampainya di Bayat, disebutlah sebagai Susuhunan Tembayat karena berkedudukan di Bayat. Dari analisis sederhana tersebut, hijrahnya Wahyu Widayat atau Sunan Pandanaran ke Bayat, situasinya sudah ramai, atau sudah menjadi bagian dari metropolitan kompleks masa Medang Kamulan, Mataram dan pra-Mataram.

Politik global Islam telah memetakan dengan sempurna, memulainya dari pesisir utara menjadi hegemoni kultural sampai agenda syiar di pedalaman (Bayat), maka dipilihnya wilayah padat penduduk (kota) menjadi basis awal penyebarannya. Tidak mungkin syiar dan dakwah dilakukan pada daerah yang sepi penduduk.

Kita flashback pada masa Abraham (Islam: Ibrahim), sebagai Bapak agama monoteisme (konsep keesaan Tuhan), Bapak kelahiran agama-agama pewahyuan, terjadi pada tahun 2000 SM.

Dengan demikian, Gunung Sewu juga Bayat Raya yang sudah dihuni manusia modern awal pada kisaran waktu 10000 SM, dalam rentang waktu sampai 1 M atau di Palestina era kelahiran Kristus, Bayat sudah dihuni oleh manusia atau masyarakat sebagai penduduk lokal yang tidak terputus hingga saat ini.

Dengan demikian, sekitar tahun 10.000 SM sampai budaya tulisan asli Jawa ditemukan di Candi Gedongsongo berangka tahun sekitar 600 M, Bayat ditengarai sudah menjadi kota. Salah satu spesialisasinya sebagai tempat spiritual.

Belum diketahui pusat spritual seperti apa yang dimaksud dalam ritus-ritusnya, namun dalam rentang waktu sebelum era Medang sudah ada bentuk ritus tersebut. Apakah berupa peribadatan, pemujaan, olah ilmu kanuragan dengan konsep kepercayaan seperti animisme dan dinamisme, atau sudah dengan konsep keesaan.

Kata Bayat, dari asal kata “Tembayat,” berasal dari bahasa sansekerta, artinya: bersatu;kumpul atau gotong royong, mendapatkan awalan dan akhiran menjadi “Patembayatan,” yang artinya perkumpulan:persatuan:organisasi. (Dr. Purwadi: 2019)

Pada banyak bukit, khususnya bukit Jabalkat, sudah digunakan oleh para pertapa untuk olah spiritual maupun kanuragan yang datang dari berbagai daerah.

Dipilihnya Bayat Raya sebagai tempat pertapan tak lain karena energi di dalamnya tinggi, yang mana bukit dengan kadar mineral tinggi akan cepat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud, di samping letak bukit yang semakin dekat dengan posisi langit (angkasa).

Dalam perkembangannya, karena semakin banyak pertapa, maka membentuk suatu entitas dan mengangkat pemimpin serta mengisi pos penting berdasarkan perannya masing-masing (manajemen organisasi).

Kegiatan yang paling awal sudah berlangsung pada era pra-Mataram, menjadi konsep kepercayaan asli Jawa. Setelah Kalingga dan Mataram berkuasa, aktivitas tersebut terus berlangsung dengan mendapatkan pengaruh dari agama Siwa-Budha untuk ritusnya.

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi atau Rakai Pikatan misalnya, telah terjadi percampuran konsep kepercayaan antara Bayat dan Medang.

Mengacu pada teori di atas, saya mengajukan istilah kompleks makam Bayat sebagai “Kedatuan,” seperti kedatuan yang banyak berdiri pada era Syailendra. Pada bagian lain, pendekatan cocoklogi juga digunakan, meskipun dipaksakan.

Bayat dari kata “baiat,” asal kata dari bahasa Arab yang artinya sumpah atau janji. Dilakukan saat mengangkat imam, pemimpin atau pemuka.

Analisanya, dari asal bahasa yang berbeda, kata Tembayat yang dimaksud lebih dekat pada penghubungan era Medang maupun pra. Namun, secara kebetulan kata Tembayat dan Baiat dengan lafal pengucapan yang hampir mirip antara bahasa Sansekerta dan Arab. Pada era Sunan Pandanaran yang sudah memeluk Islam di Bayat, maka lebih dijuruskan dari asal kata baiat, versi Islam.

Namun demikian, ada keraguan dengan analisa di atas. Mengapa, daerah Bayat jarang ditemukan batu candi, baik temuan lepas maupun situs bangunan. Sekalipun Kedatuan Bayat sudah mendapat pengaruh dari Mataram kuno.

Logika sederhananya, Bayat sudah punya banyak material alam berupa batu kapur dan kayu jati, dengan demikian bentuk bangunannya pun tidak terlalu mirip dengan Medang, meskipun serupa, terutama bahan bakunya.

Selain itu, mungkin Bayat memang spesial bagi Medang, dan sangat sulit untuk dibawa pada kefahaman Hindu-Budha, hingga Bayat dianggap sebagai kedatuan khusus yang Jawa asli (local genius). Saya tidak bisa menjelaskan ini, namun secara visi spiritual, sangat merasakan dan mempercayai hal ini.

Terkait

Terkini