Kedatuan Bayat dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno (3)

21 Desember 2021, 01:29 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Kedatuan Bayat dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno

Sunan Pandanaran yang kemudian menjadi Susuhunan Tembayat, telah berada di Bayat sekitar tahun 1450-1500 M.”

SUNAN PANDANARAN atau Wahyu Widayat, disebut juga Susuhunan Tembayat, berkedudukan di “Kedatuan” Bayat, yang dibangun bertahap pada periodesasi masa pemerintahan yang berbeda-beda, tentu melebur dalam orientasi arah kekuasaan sebagai tujuan dalam kerangka siar Islam.

Analisa yang realistis dan tidak terjebak pada alam pemikiran yang mistis (fiksi), perlu ditelaah secara fungsionil agar melahirkan kesejarahan yang mendekati benar, bukan mitisme yang abstrak. Hal ini perlu diketahui agar pengetahuan didalamnya menjadi logis, tidak simpang siur.

Rumusan kesejarahan “Bayat” dapat dihubungkan dengan garis waktu periodesasi, sebagai berikut;

(1) Tahun 1300-1419, politik global Islam paling awal.

(2) Tahun 1447-1478, Islam melebur dalam bagian geo-politik dan strategi kerajaan.

(3) Tahun 1478-1520-1547, Transisi Majapahit-Demak, Era Kerajaan Demak

(4) Tahun 1568-1587, Era Kerajaan Padjang

(5) Tahun 1587-1755, Era Mataram Islam

(6) Tahun 1755-1800-1945, Era Mataram Anyar, VOC-Hindia Belanda

Sunan Tembayat hidup sejaman dengan Sunan Kalijaga, yang mana Sunan Kalijaga turut serta dalam prakarsa pendirian Masjid Agung Demak menurut Babad Tanah Jawi. Pada dinding mihrab tertulis angka tahun 1479 masjid didirikan. Juga semasa dengan Sunan Kudus yang mendirikan Masjid Menara Kudus tahun 1549.

Sunan Kalijaga yang bernasab ningrat Tuban, lahir tahun 1450, sampai 1513 meninggal. Sedangkan Sunan Kudus pada kisaran tahun 1500-1550.

Dengan demikian, Sunan Pandanaran yang kemudian menjadi Susuhunan Tembayat, telah berada di Bayat sekitar tahun 1450-1500 M.

Sunan Pandanaran nama lengkapnya Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah, yang beristri Nyi Ageng Kaliwungu dan Nyi Ageng Krakitan, dan mempunyai anak Ki Ageng Gribig I Jatinom. Mengenai hubungan nasab ayah dan anak dengan Ki Ageng Gribig, belum  ditemukan bukti yang kuat koherensinya, bahwa Kedatuan Bayat dan Gribig Jatinom ada hubungan ayah dan anak. Justru saya berkeyakinan hampir seperti terdapat perbedaan madzhab antara Bayat dan Jatinom meski dalam satu kesatuan agenda Islam.

Susuhunan Tembayat atau Sunan Bayat dengan nama lain Pangeran Mangkubumi, Sunan Pandanaran II atau nama kecilnya Wahyu Widayat.

Alkisah :

Sunan Pandanaran I adalah seorang Adipati di wilayah Semarang (kebudayaan Semarangan), sebagai cikal bakal pendiri kota Semarang. Sepeninggalnya diteruskan oleh putranya Wahyu Widayat (kemudian Sunan Bayat) sebagai Adipati Semarang II atau Sunan Pandanaran II.

Awal pemerintahannya sangat baik, namun seiring berjalannya waktu, tugas kepemerintahannya sering dilalaikan, karena mabuk harta dunia.

Akibatnya, Prabu (Sultan Demak) mengutus Sunan Kalijaga untuk menyadarkannya, hingga akhirnya sang Adipati rela mengundurkan diri dari jabatannya, dan menyerahkan kekuasaan kepada adiknya.

Kemudian pergi mengembara ke selatan (Bayat) untuk “mandeg mandito,” sebagai pertapa. Terdapat banyak versi mengenai kisah ini menurut babad atau cerita rakyat dalam teks prosa.

Salah satu jejak dalam pengembaraannya dalam perjalanan dari Semarang menuju Bayat, munculah cerita rakyat akan penamaan tempat untuk istirahat sementara. Nama tempat seperti Salatiga, Mojosongo, Boyolali, Selo Gringging, Wedhi sebagai nama “tingalan” karena ada momen khusus didalamnya.

Dari teks tersebut perlu dikaji lebih dalam, cerita yang ada dapat diverifikasi untuk mengungkap jejak sejarahnya dengan pencocogan dari berbagai sumber, misalnya kroscek Babad Semarang dengan Babad Salatiga atau Babad Bayat, adakah kontradiktif didalamnya, karena yang terjadi Babad versi Salatiga dan Bayat tidak cocog, terutama berkaitan dengan angka tahun.

Analisis kritis seperti itu perlu dimunculkan agar lahir teori atau versi baru, mengingat Babad yang ada ditulis atau diprosakan setelah era yang berbeda, dan dilakukan oleh kekuasaan yang rawan pembelokan.

Contoh: Babad Tanah Jawi baru ditulis pada era Mataram Kartosuro, juga Babad Bayat yang ditulis baru pada era Surakarta.

Namun pada kesimpulan geo-strategi politik, Sunan Pandanaran tetap sebagai utusan para wali untuk syiar dan dakwah Islam di Kota Bayat, dipilihnya Bayat sederhana karena telah menjadi kota, dengan potensi demografinya serta aspek sosiologis yang dinamis karena dalam poros episentrum politik.

Kedatangan Sunan Pandanaran di Bayat, kedatuan itu semestinya telah berdiri, bila Sunan Tembayat berada dalam garis waktu Demak, maka kedatuan yang telah ada tersebut terakhir dalam hegemoni Majapahit.

Pusat spiritual yang telah membentuk pada era Majapahit merupakan warisan bentuk spiritual pada era Medang Kamulan, mulai dari masa Airlangga, Kediri dan Singhasari.

Dugaan saya, telah terdapati banyak ritus kepercayaan di Jabalkat (Bayat Raya) masa Medang Kamulan. Ada aliran Siva-Budha versi warisan Syailendra dan Sanjaya, ada penghayatan versi Jawa asli, bahkan ajaran Bhairawa Tantra yang banyak dianut para Raja era Jawa Timuran.

Era sebelumnya pun demikian (Mataram Kuno:Jawa Tengahan), bentuk upacara dan kegiatan spiritual juga sudah ada beraneka ragam. Ada kluster Syailendra-nan yang fundamen Budha, atau Sanjaya-nan yang Hindu campur Jawa, juga kefahaman asli Jawa. Belum lagi kluster ketiganya bercabang menjadi aliran-aliran atau madzhab baru.

Bila ditarik mundur lagi, bertemu pada warisan jejak manusia modern awal pada kluster Gunung Sewu, yang mana sudah ada teknik penguburan mayat dengan kepercayaan bekal kubur, dan itu berpotensi terjadi di Bayat.

Dalam kesimpulannya, Bayat dari masa ke masa sudah menjadi kekuatan politik sebagai faksi religius. Lantas, kedatuan seperti apa bila Bayat ditulis dalam bagan organisasi, tentu akan terdapati nama-nama umaro maupun imam, sebagai Sunan Bayat I, II, III dan seterusnya, beserta angka tahun jabatannya.

Artinya, jejak sejarah masih terlihat pada era Demak sampai Surakarta. Sebelumnya itu mengarah pada spekulasi dan keniscayaan.

Terkait

Terkini