Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam (2)
Dengan demikian, Islam mulai berkembang di Majapahit dari era Brawijaya I sampai V, dan berdirinya kerajaan Demak, hingga era Mataram Islam dan VOC. Disitulah kiranya memahami Ki Ageng Gribig dari masa ke masa.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam
“Majelis dakwah perwalian ala pesisir utara, benar-benar benar dimatikan oleh Sultan Agung, peristiwa perang Mataram vs Surabaya dan pendudukan Giri Kedaton sebagai penanda berakhirnya geostrategi dan politik syiar dan dakwah Islam oleh para Wali dan utusannya dalam rangka mengislamkan tanah Jawa.”
Hubungan dan Pengaruh Ketokohan Islam dengan Petinggi Kerajaan Majapahit
Maulana Malik Ibrahim berhasil menjalin hubungan dengan Raja Majapahit saat pemerintahan Kertawijaya Raja ke-7. Kertawijaya atau Sri Maharaja Parakramawardhana memerintah Majapahit tahun 1447-1451.
Sebutan nama Raja Brawijaya I adalah Kertawijaya yang mempunyai istri Ratu Dwarawati atau putri Cempo/Champa yang beragam Islam, atau di Islamkan oleh Sunan Gresik ada benarnya, karena salah satu istri dari Sunan Gresik juga keluarga kerajaan Champa (hubungan kekerabatan), dan kerajaan Champa sudah menjadi Islam.
Bukti bahwa pintu masuk Islam bermula dari masa Kertawijaya, dapat dilihat dari batu nisan makam putri Champa yang berangka tahun 1448 di Trowulan, senada dengan masa Raja Kertawijaya.
Sebelumnya, keluarga Azmatkhan di kerajaan Champa Vietnam, berhasil di Islamkan oleh dinasti dari nasab Maulana Ibrahim, hingga hegemoni muslim dari Asia Barat semakin berkembang di pesisir utara maupun Trowulan (ibu kota Majapahit), nama Azmatkhan tetap disematkan dalam kenasaban para wali selanjutnya.
Percampuran muslim Handramaut dan Azmatkhan Champa adalah yang paling mendominasi pada awal perkembangan Islam di wilayah Majapahit, selain muslim dari kebudayaan pan-muslim lainnya.
Kertawijaya digantikan oleh sesebutan Brawijaya II atau Rajasawardhana (1451-1453), spekulasinya Kertawijaya dibunuh oleh Rajasawardhana, atau Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya.Spekulasi yang menarik bahwa Raden Patah putra dari Kertawijaya, menurut catatan nasab dari Ratu Kalinyamat Jepara.
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga tahun, Majapahit dipimpin oleh Girisawardhana Dyah Suryawikrama atau Bhre Wengker atau Brawijaya III (1456-1466). Digantikan oleh Bhre Pandansalas, bergelar Sri Adi Suraprabhawa. Dalam versi lain disebut sebagai Bhre Tumapel yang naik tahta tahun 1466, meninggal tahun 1474, juga disebut sebagai Brawijaya IV.
Pada era ini banyak terjadi kisruh internal perebutan takhta, disinilah Brawijaya V (1474-1498) menjadi tidak jelas, siapa Raja yang dimaksud.
Menurut catatan Tome Pires, Raja yang dimaksud adalah Dyah Ranawijaya yang memindahkan ibukota Majapahit di Dahanapura Kadiri. Sedangkan Raja bias yang sampai sekarang menjadi misteri adalah nama Bhre Kertabumi atau juga Brawijaya V, yang mana puncak sesebutan nama Brawijaya merujuk pada penguasa terakhir Majapahit. Bhre Kertabumi, diduga melakukan kudeta pada Dyah Ranawijaya maupun Bhre Pandansalas.
Yang perlu dicermati adalah, adakah korelasi strategi para wali dengan tokoh Bhre Kertabumi untuk menyiapkan berdirinya kerajaan Islam Demak. Dan, merujuk pada aktor sentral didalamnya yaitu Raden Patah.
Siapa Raden Patah?
Bertakhta di Demak tahun 1475-1518, disebut juga Panembahan Jimbun. Ketika Raden Patah bertakhta, Majapahit sudah diambang keruntuhan, meski Majapahit belum benar-benar berakhir. Perang Majapahit versus Demak tidak seheboh yang dibayangkan, diduga hanya terjadi sekali saja tahun 1478. Peristiwa tersebut terkenal dengan tahun sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi,” atau hilang amblas ditelan bumi.
Selanjutnya, Majapahit benar-benar berakhir sekitar tahun 1520-an, sedangkan Raja terakhir atau Dyah Ranawijaya adalah Raja bawahan Demak yang diangkat oleh Raden Patah, setelahnya itu tinggal Raja-raja kecil sekelas Adipati.
Raden Patah dihubungkan sebagai anak dari Bhre Kertabumi dari istri selir Tionghoa, namun istri selir tersebut diberikan kepada Adipati Palembang Arya Damar, dan melahirkan Raden Kusen, adik Bagus Hasan (Fattah).
Bagus Hasan tidak mau melanjutkan sebagai putra mahkota Palembang, dan lebih memilih tinggal di Surabaya berguru pada Sunan Ampel.
Versi lain, Raden Patah adalah anak masyarakat kelas miskin di Gresik, yang berdarah Jawa-Tionghoa. Tionghoa yang dimaksud adalah generasi Laksamana Cheng Ho, bukan Tionghoa muslim Champa/Cempo dari garis kerajaan di Vietnam (dinasti Azmatkhan).
Pada kesimpulannya, Raden Patah adalah seorang aktor yang disutradarai oleh penataan Majapahit, Gresik, Palembang dan Tiongkok. Disinilah, peran Wali sangatlah penting.
Namun, asal usul mengenai tokoh Raden Patah, Bhre Kertabumi (Brawijaya V), peristiwa perseteruan Majapahit-Demak, perang kefahaman, hingga pendirian Demak masih simpang siur, bias dan banyak versi. Spekulasi tersebut masihlah menarik untuk diteliti, dan masih menjadi “Misteri.”
Dengan demikian, Islam mulai berkembang di Majapahit dari era Brawijaya I sampai V, dan berdirinya kerajaan Demak, hingga era Mataram Islam dan VOC. Disitulah kiranya memahami Ki Ageng Gribig dari masa ke masa.
Perkembangan Islam dalam Periodesasi Kerajaan
Sejak kedatangan Syeikh Maulana Malik Ibrahim, Syeikh Jumadil Qubro, Maulana Maghribi sebagai generasi pertama hingga menurunkan Wali periode akhir, perkembangan Islam di Jawa menunjukkan grafik yang terus berkembang.
Terlebih ketika berhasil masuk dalam pengaruhnya terhadap kerajaan Majapahit dan Raja-Raja yang berkuasa. Namun, navigasi penyebarannya tetap tidak bisa berdiri sendiri tanpa campur tangan kekuasaan kerajaan yang menguasai wilayah teritori.
Terlebih, dikotomi wilayah kebudayaan pesisiran dan agraris pedalaman sangat kontras. Pesisir yang terbuka sebagai ciri dari kota urban, berbeda dengan wilayah pedalaman yang tertutup, seperti pada wilayah selatan bekas kotapraja Mataraman, atau Malang dengan sisa-sisa kebesaran Tumapan (Singhasari).
Garis Waktu:
(1) 1300-1419
Periode awal sebagai cikal bakal masuknya Islam oleh para Syeikh dari berbagai kebudayaan pan-muslim dunia. Sepanjang pesisir pantai utara Jawa telah menjadi kota urban dan perdagangan dunia oleh banyak etnis. Syiar dan dakwah sudah dilakukan dalam bentuk yang sederhana. Belum masuk kedalam institusi kerajaan.
(2) 1447-1478
Islam melebur dalam bagian geo-politik dan strategi kerajaan. Tonggak pentingnya sejak pemerintahan Kertawijaya, melalui putri Cempo.
Sejak saat itu hegemoni Islam telah menguasai terutama wilayah pesisir utara sebagai basis dakwah para Wali, hingga keruntuhan Majapahit tahun 1478-1520, seiring berdirinya kerajaan Demak. Namun demikian, posisi Islam di daerah pedalaman (selatan) belum sekuat dipesisir, sifatnya masih parsial dalam eskalasi pemerataan penyebarannya.
Sementara itu, geostrategi dan politik Islam telah memainkan peranannya secara global, dengan banyaknya ulama yang datang dari berbagai negara. Muslim Ahlul Bait, Handramaut, Samarkand, Tionghoa, Champa, Mesir, Persia, Gujarat, Hindia, Maroko, atau muslim Asia Tengah dan Barat, dalam definisi kebudayaan pan-Islam dunia.
Disamping itu, pelopor rute jalur laut dan pelayaran dunia oleh bangsa Portugis semakin membuat poros pesisir Utara dari Surabaya-Demak-Cirebon-Banten menjadi metropolitan dunia.
(3) Era Kerajaan Demak
Diawali oleh Raden Patah 1478, berakhir tahun 1547 saat pemerintahan Sunan Prawoto di Pati.
Demak berhasil menjadi kerajaan maritim bercorak Islam yang cukup sukses. Penyerangan ke Malaka melawan Portugis dan menundukkan Sunda Kelapa merupakan prestasi besar. Sayangnya, suksesi takhta menyebabkan Demak runtuh.
Sejak kedatangan Portugis, konsentrasi dakwah perwalian tidak seintens era Raden Patah, karena geo-strategi Demak fokus pada politik ekspansi.
Namun demikian, hegemoni muslim dipesisir utara sudah membentuk dan cukup kuat, terutama menguasai jalur perdagangan. Daerah pedalaman atau selatan Jawa juga sudah tumbuh kebudayaan Islam, meski tidak sekaffah dan sefundamen Islam pesisiran.
(4) Era Kerajaan Padjang
Gonjang-Ganjing suksesi panjang takhta Demak berbuntut kosongnya kekuasaan Demak, Joko Tingkir berhasil meredam situasi bahkan dipercaya sebagai pengisi kekosongan kekuasaan (mengambil alih). Hal ini tidak disia-siakan dengan memindahkan pusat ibukota Demak ke daerah Padjang (Solo) atau wilayah kedatuan Pengging, tempat asal dari Joko Tingkir. Selanjutnya “jumeneng noto” menjadi Raja Padjang dengan sebutan Prabu Hadiwijaya, tahun 1568.
Kekuasaan Padjang tidak lama, tahun 1587 sudah kehilangan peran kekuasaan, dan pasca 1587 sampai 1591 hanya menjadi kadipaten kecil bawahan Mataram era Ki Pemanahan, Danang Sutowijoyo.
Dalam kaitannya dengan Islam, Adiwijaya tetap menggunakan Islam sebagai corak kerajaan, namun tidak dengan totalitas. Mengingat, masa lalu Joko Tingkir/Mas Karebet yang terhubung nasabnya dari garis Ibu dengan penguasa akhir Raja Majapahit, sakit hati atas kematian ayahnya Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging II atas eksekusi mati Kerajaan Demak oleh Sunan Kudus.
Mengapa demikian, Pengging dianggap memberontak dan meminta otonomi khusus pada Demak, selain itu geo-strategi Pengging yang setengah hati dalam perannya pada Islam, justru dengan semangat ingin kembali pada kefahaman Majapahit.
Hal ini menjadi semakin terjustifikasi bahwa Islam di Pengging tidak semestinya menjalankan dengan akidah versi majelis para Wali, namun justru pengembangan Islam dalam bentuknya yang baru sebagai ajaran Manunggaling Kawula Kelawan Gusti, yang didukung oleh Syeikh Siti Jenar.
Dengan demikian, secara geopolitik pindahnya Demak ke Padjang adalah kemunduran konsep negara maritim yang kembali ke agraris jauh ke pedalaman.
Dalam proyeksi penyebaran Islam, wilayah Mataraman (selatan) memang sudah menjadi Islam, namun kefundamentalannya sangat berbeda dengan Islam ala Demak (pesisir utara), yang mana majelis dakwah perwalian sangatlah kuat, dan intensitasnya cenderung menurun saat Adiwijaya berkuasa, meskipun legalisasi legitimasi kekuasaan Adiwijaya meminta kepada Sunan Prapen di Giri Kedaton untuk melantiknya.
Dengan kesimpulan, tidak mudah mengislamkan wilayah bekas kerajaan Rakai Pikatan (Mataram Kuno) yang sudah mbalung sumsum kefahaman lokalnya dan agama Siva-Budha.
(5) Era Mataram Islam
Adalah tiga serangkai Mataram; Ki Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani. Ketiganya merupakan senopati Adiwijaya di Padjang. Bersama anaknya Danang Sutowijoyo berhasil membuat cabang ningrat baru berdirinya Kadipaten Mataram, hingga menjadikan Kesultanan Mataram.
Tahun 1587–1613 awal berdirinya Mataram, dilanjutkan Sultan Agung di Karta tahun 1613–1645, diteruskan Amangkurat Plered (1646–1680), terakhir Amangkurat Kartasura (Pakubuwanan) tahun 1680–1755.
Bagaimana posisi Islam, jelas tetap dilanjutkan dalam bentuknya yang baru, masa Panembahan Senopati masih sama dengan era Adiwijaya, namun dakwah perwalian semakin menghilang, hingga Sultan Agung kembali memberikan nafas baru Islam, namun dalam porosnya yang berbeda.
Ambisi Sultan Agung yang ingin menjadikan Mataram sebagai penguasa tunggal Nusantara tak terbendung, genealogi kakeknya (Senopati) yang menerapkan politik ekspansi semakin menemukan bentuknya bahwa pola pembangunan Mataram dilakukan dengan kampanye militer.
Untuk legalisasi, legitimasi kekuasaan dan geostrategi politik dunia, Kesultanan Turki Utsmaniyah adalah penguasa dunia, dengan demikian Mataram telah menerapkan politik Islam yang baru dengan porosnya pada Kesultanan Turki Utsmaniyah.
Majelis dakwah perwalian ala pesisir utara, benar-benar benar dimatikan oleh Sultan Agung, peristiwa perang Mataram vs Surabaya dan pendudukan Giri Kedaton sebagai penanda berakhirnya geostrategi dan politik syiar dan dakwah Islam oleh para Wali dan utusannya dalam rangka mengislamkan tanah Jawa.
Meskipun itu bukan adab Islam atau budi pekerti yang luhur, Sultan Agung tidak mau ada matahari kembar ditanah Jawa, seiring strategi pamungkas mengusir VOC di Batavia 1628.
Hal tersebut berpengaruh pada jalur perdagangan disepanjang pesisir utara menjadi sepi dan hampir mati. Jawa benar-benar menjadi tertutup, agar VOC tidak mampu lagi melihat Jawa sebagai target terakhir menguasai Nusantara.
Artinya, bagi VOC tinggal menghadapi Sultan Agung untuk menguasai penuh Nusantara, bagi Sultan Agung tinggal VOC Batavia dan Banten untuk menjadi supremasi tunggal sebagai Raja Nusantara.
Kesimpulannya, Islam tetap berkembang, namun majelis dakwah perwalian sudah berakhir, dan berporos pada Islam Turki Utsmaniyah juga Pan-Arabisme dalam bentuknya sebagai negara institusional.
Diciptakannya penanggalan Jawa, gabungan dari kalender Saka dan Hijriah, munculnya peringatan-peringatan Islam dalam bentuk atraksi budaya dalam wadah sinkretisme budaya dan agama Jawa-Islam, seperti pada peringatan hari besar, Grebeg Sekaten, Peringatan Muharram, dan perayaan lainnya.
Disitulah menjadi tradisi yang subur hingga menjadi pewarisan budaya masa Mataram Anyar dan modern. Salah satunya tradisi “Apeman,” dan Grebeg Saparan pada era selanjutnya.
(6) Era Mataram Anyar
Sejak perjanjian Giyanti 1755, Mataram terbelah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, hingga berakhir tahun 1945-1950, menjadi Indonesia, melalui masa kebangkitan era pergerakan kemerdekaan (1908), merdeka dan pasca.
VOC sampai menjadi Hindia Belanda, tidak merusak Islam dalam pengertian sebagai wadah, namun telah menyimpangkan banyak esensi Islam yang semakin kabur dari isinya.
Semangat pergerakan Islam era Budi Utomo, yang didahului pemberontakan Pangeran Diponegoro, adalah akumulasi Islam atas kemerdekaan hakiki dari ajaran Islam. Meskipun tampak luarnya tumbuh subur, namun kenyataan kehidupan bangsa Jawa dinyatakan terjajah.
Itulah pola politik divide et impera yang sesungguhnya bagi agresor, guna melanggengkan kekuasaannya di tanah Jawa (Nusantara), dengan teknik infiltrasi agama dalam entitas sosiologis.
Bersambung bagian 3 ….
Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam (3)
Kedatuan Bayat Klaten dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno (1)
Kyai Raden Santri, Makam Para Aulia di Gunung Pring Magelang
Candi Ngawen, Peradaban Buddha di Muntilan Magelang
Tinggi Tubuh Nabi Adam 27,72 M