Kedaulatan Digital Adalah Keniscayaan, Bukan Hanya Drama
Soal kedaulatan digital yang dimaksudkan, cukup dimaknai dan dipraktikkan dengan perilaku penggunaan internet (digital) di Indonesia sebagai sesuatu hal yang dianggap penting tidak penting.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Iptek — Kedaulatan Digital Adalah Keniscayaan, Bukan Hanya Drama
“Bila Indonesia benar arahnya ke dalam kedaulatan digital, bagaimana road map-nya. Siapkah kita? meski jargon “tidak pernah ada kata terlambat” itu sangat membumi bagi kultural Indonesia, entah itu tercapai atau hanya sebatas angan. Sederhananya, kedaulatan tersebut menurut hemat penulis adalah, bagaimana misalnya BUMN menciptakan seperti “Google-nya Indonesia”. Kalau Amerika punya Google, China punya Baidu, kenapa kita tidak?”
Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informasi) Johnny G Plate, menyatakan bahwa pada tanggal 20 Juli 2022 merupakan batas akhir pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Apabila sampai tanggal tersebut tidak melakukan pendaftaran, maka sangsinya bisa dilakukan pemblokiran, atau tidak bisa beroperasi di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, aturan tersebut berlaku bagi perusahaan-perusahaan besar dalam negeri maupun mancanegara. Secara teknis, pendaftaran tersebut dapat dilakukan melalui sistem OSS atau online single submission.
PSE diatur dan khusus pada aturan registrasi (pendaftaran) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2021 atas Perubahan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Ruang lingkup penyelenggaraan PSE yakni, PSE Lingkup Publik adalah penyelenggaraan sistem elektronik oleh instansi negara atau institusi yang ditunjuk oleh instansi negara. Sedangkan, PSE Lingkup privat merupakan penyelenggaraan sistem elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat.
Adaupun contoh perusahaan penyelenggaraan PSE Lingkup Privat, seperti: Marketplace, toko online, Fintech, Payment Gateway, Layanan On-Demand berbayar, Media Sosial (Fb, Twitter, Ig, WhatsApp, dlsb), Search Engine, Aplikasi (PUBG Mobile dan Mobile Legends), dlsb.
Untuk perusahaan atau penyelenggaraan PSE Lingkup Publik, seperti; Aplikasi Peduli Lindungi, MyPertamina, dan situs-situs maupun aplikasi milik pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah.
Informasinya bahwa, perusahaan besar seperti Google, Netflix, Twitter, WhatsApp, Instagram, Facebook, dkk terancam diblokir di Indonesia, lantaran aplikasi tersebut belum terdaftar dalam PSE Lingkup Privat.
Menurut data Kominfo, perusahaan yang sudah mendaftar yaitu, di antaranya: Traveloka, Tokopedia, Gojek, Ovo, TikTok, Resso, Spotify, Capcut, Helo, Dailymotion, Mi Chat, dan Linktree.

Signal Kedaulatan atau Ada Udang di Balik Batu
Menanggapi apa yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, kita sebagai masyarakat patut mengapresiasi sebagai langkah yang tegas dalam penegakan aturan, yang mana berimplikasi pada bidang lainnya hampir di seluruh tata kelola perbidangan. Mengingat penggunaan teknologi berbasis internet dan produknya telah menguasai hajat hidup, seperti ekonomi dan keuangan, kesehatan, pendidikan, bahkan tata kelola pemerintahan sendiri.
Jika benar terjadi pemblokiran karena mereka belum mendaftar PSE oleh pemerintah, kita acungi jempol dan kita dukung, tetapi persiapan dan kesiapan dan dampak lanjutannya harus diperhitungkan. Mengingat, sudah terjebak ke dalam ketergantungan atau jerat sistem di pelbagai bidang pada penggunaan berbasis internet beserta produknya. Jadi, benarkah itu?
Jangan-jangan, ada hal komunikasi global yang menyeret Indonesia ke dalam politik tukar tambah, deal tertentu, atau posisi tawar tertentu yang menjadi satu kesatuan dalam hal politik (kebijakan) tata kelola penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri di tingkat internasional.
Jangan lagi kemudian, dalam rangka itu kemudian hanya menjadi drama-drama sandiwara yang ujung-ujungnya tidak tuntas. Drama yang manakah itu? Sebagai contoh kelangkaan minyak goreng pada waktu yang lalu, bahwa endingnya adalah ganti harga, apapun itu alasannya. Dari semula harga minyak goreng curah paling mahal per-Liternya Rp.7 – 9 ribu, akhirnya naik di kisaran Rp.13 – 15 ribu.
Menurut Alfons Tanujaya, pakar keamanan siber, dikutip dari detikINET, Senin (18/7/2022), mengatakan;
“Diharapkan ditegakkan pada saat pertama kali dengan elegan dan tidak menimbulkan kekacauan. Komunikasikan dengan baik dan terukur. Berikan kesempatan yang fair dan cukup dengan timeline yang jelas dan profesional. Dan kalau memang harus melakukan tindakan tegas, kalau sudah diperingati dan tetap membandel, penegakan aturan tetap harus dilakukan. Infomasikan kepada masyarakat dan lakukan antisipasi yang diperlukan untuk meminimalisir kerugian atau masalah yang akan timbul sehubungan dengan terhentinya layanan PSE ini. Kalau bargaining position apps sudah sedemikian kuat, dan dibiarkan. Pada suatu titik nanti negara yang kalah dan kepentingan komersial pembuat aplikasi yg diutamakan. Pada akhirnya pengguna apps itu yang akan menjadi korban.” (Alfons Tanujaya)
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa kedaulatan digital sangat penting di era disrupsi teknologi, disampaikan di hadapan civitas akademika Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu (18/6/2022), dikutip dari kata.kata.co.id.
Erick menjelaskan bahwa kedaulatan digital harus dimulai dengan mempersiapkan infrastruktur fisik maupun manusia yang siap berkompetisi di era digital. Kementerian BUMN terus mengupayakan agar akses digital via sambungan internet dinikmati merata di seluruh nusantara.
Selain itu, Telkom didorong untuk mempercepat infrastruktur digital seperti data center, cloud, dan fiber optic. Dengan persiapan dan kesiapan tersebut, misi besar untuk mewujudkan kedaulatan digital Indonesia dapat terwujud.
“(Dengan begitu) Indonesia tak sekadar konsumen di era digitalisasi melainkan pula kekuatan utama yang mampu bersaing di pentas dunia. Di era disrupsi digital ini kita harus mulai membangun infrastruktur digital. Alhamdulillah Presiden meminta infrastruktur digital ini benar-benar dibangun. Tak hanya itu kita juga mesti mempersiapkan generasi muda yang mengerti digital. Karena itu kita bekerja sama dengan kampus. Jika dulu eranya listrik masuk desa, sekarang eranya wifi masuk desa. Adapun Telkomsel lebih fokus sebagai agregator untuk costumer, seperti game lokal dan konten lokal. Ini ekosistem digital yang coba kami bangun.” (Erick Thohir)
Mendengarkan dan mempercayai statemen dari poros-poros (para) penyelenggara negara tersebut sangatlah menggugah semangat. Dan, harapan itu adalah keniscayaan, bukan lagi bias. Namun, …
Data pada tahun 2019 tercatat ada 2.193 perusahaan baru (startup) yang didirikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir. Melihat fakta tersebut, tentu bisnis penyelenggaraan digital berbasis internet di Indonesia sangat menjanjikan dengan dukungan demografi Indonesia yang besar. Menempati lima besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak dan negara dengan pertumbuhan pengakses dan pengguna produk berbasis internet yang besar pula.
Pertanyaannya? Apabila Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan digital tersebut, bukannya sudah terlambat. Mengingat, perusahaan besar seperti Google misalnya, atau Baidu telah melebarkan sayapnya ke dunia dengan sebegitu massifnya.
Pola yang dipertontonkan para perusahaan digital tersebut sebelumnya dapat dibaca, contohnya; Indonesia hampir tidak ada pembatasan kecepatan data internet seperti di negara Rusia, Korea maupun Jepang. Indonesia menjadi pasar besar penjualan Android dengan harga yang sangat murah. Indonesia pengguna besar aplikasi berbentuk hiburan atau sosial media.
Pola tersebut, dilanjut dengan menawarkan hasrat yang menggiurkan pada aplikasi-aplikasi yang ditawarkan berbasis internet, seperti platform sosial media.
Selanjutnya, semakin massif lagi bahwa, penyelenggaraan tata kelola negara oleh pemerintah juga berbasis internet. Tentu alasannya adalah transformasi digital untuk memudahkan pelayanan dan pertumbuhan ekonomi, dlsb. Lihatlah sistem online di banyak layanan pemerintah dari pusat sampai daerah berbasis internet (online). Bahkan, sesuatu yang tidak perlu di online kan atau di internet- kan pun dipaksa bertransformasi ke bentuk digital.
Nah, dengan demikian Indonesia sudah ketergantungan produk berbasis internet, dari yang perlu sampai tidak perlu, dari yang berguna sampai yang mudarat. Dengan demikian, potensi menjadi mesin pendulang uang adalah logis. Wajar perusahaan internet global di Indonesia untung besar.
Bila Indonesia benar arahnya ke dalam kedaulatan digital, bagaimana road map-nya. Siapkah kita? meski jargon “tidak pernah ada kata terlambat” itu sangat membumi bagi kultural Indonesia, entah itu tercapai atau hanya sebatas angan. Sederhananya, kedaulatan tersebut menurut hemat penulis adalah, bagaimana misalnya BUMN menciptakan seperti “Google-nya Indonesia”. Kalau Amerika punya Google, China punya Baidu, kenapa kita tidak?
Tentu sebelum membuat layanan web. utama seperti Google, bagaimanakah sistem kedaulatan satelit Indonesia. Atau, jika satelit sama-sama menyewa dan berbagi satelit dengan perusahaan dunia yang lain, rugi tidak, dan sejauh mana posisi tawarnya.
Klir di tahap dasar soal satelit, selanjutnya membangun “Google-nya” Indonesia, tentu harapannya benar-benar menjadi perusahaan BUMN yang berpihak pada ekonomi nasional. Kemudian, dilanjutkan dengan ekonomi kreatif pembuatan beragam aplikasi untuk tujuan dan kebutuhan yang beragam pula. Mulai dari sistem website, sosial media, game, dlsb.
Sementara itu berjalan, dibukanya pabrik peralatan digital milik Indonesia, seperti; produksi laptop, tablet, android, personal computer, hingga cashing android pun turut di produksi. Kemudian belum lagi mengambil keuntungan dari penjualan paket data, dlsb.
Dalam pokoknya, infrastruktur digital berbasis internet bisa dibangun dari hulu sampai hilir. Soal ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai sumber daya manusia-nya, tentu kita percaya Indonesia mampu. Ribuan universitas di bidangnya ada, ribuah tenaga ahli juga tersedia, terlebih soal tenaga kerja. Lantas, dimanakah persoalannya? Persoalannya adalah posisi tawar Indonesia sendiri, mengingat yang dihadapi adalah sekelas Google dan kawan-kawan.
Di lain sisi, hemat penulis adalah, kedaulatan digital adalah terus diperjuangkan, tetapi alangkah baiknya bila memperjuangkan terlebih dahulu kedaulatan yang jelas-jelas ada di depan mata, seperti: kedaulatan pangan (pertanian), kedaulatan industri kelautan, kedaulatan industri energi, dlsb.
Soal kedaulatan digital yang dimaksudkan, cukup dimaknai dan dipraktikkan dengan perilaku penggunaan internet (digital) di Indonesia sebagai sesuatu hal yang dianggap penting tidak penting. Penting dalam konteks pelayanan, tidak penting ketika hal tersebut hanyalah menciptakan dunia baru yang sebenarnya lebih ke hal yang sia-sia, seperti pengguna aplikasi hiburan yang massif dibanding sisi primernya.
Maka, mengurangi penggunaan internet dan medsos untuk sesuatu yang tidak perlu adalah upaya realistis sebagai bagian dari kedaulatan digital Indonesia. Belum lagi aspek kemassifan internet (digital) di Indonesia condong membawa pada aspek sosiologis yang merugikan, merusak dan menjerat. Argumentasi supplay and demand adalah pola-pola yang diterapkan oleh neo-kapitalisme dalam bentuk baru, seperti praktik dalam platform “digital virtual.”
Terakhir, jangan lagi kemudian, seolah-olah hadir kedaulatan digital Indonesia dengan segala pembangunan infrastrukturnya dari hulu sampai hilir, tetapi ujung-ujungnya yang berdaulat hanya namanya belaka, tetapi isi di dalamnya adalah hasil dari investasi global dengan beragam skenario dan skema pembiayaan, yang akhirnya kedaulatan tersebut hanyalah semu. Juga sebagai peta jalan untuk menarik investasi global ke dalam ruang-ruang dalam negeri guna pemenuhan kebutuhan uang cash hand negara untuk banyak keperluan.
Dengan demikian, membaca upaya Indonesia melalui Kominfo sebagai ending dari kedaulatan digital adalah langkah yang harus di dukung oleh segenap bangsa dan negara. Tetapi, asalkan kesemuanya bukan berupa drama dan sandiwara yang bias, bias dalam artian tidak terpraktikkan ke dalam etalase keadilan dan kemakmuran rakyat.
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme
Menjawab Dilema Digitalisasi di Indonesia
Internet Positif, Korelasi Netizen Journalism dan Pengaruh Buruk Medsos
Statistik Pengguna Internet Dunia dan Indonesia, Medsos Rajanya!
Menakar Kekuatan Rakyat dan Kebijakan Pemerintah dalam Isu Global Krisis Pangan (1)