Kerajaan Sriwijaya Yang Pernah Bercahaya Menerangi Peradaban Dunia

Nusantarapedia.net | SEJARAH — Kerajaan Sriwijaya Yang Pernah Bercahaya Menerangi Peradaban Dunia
Oleh: Jacob Ereste
“Sriwijaya jelas tercatat sebagai pusat keagamaan seperti yang ditandai oleh Bikhu I-Tsing dari Cina yang bolak-balik datang ke Sriwijaya untuk mempelajari agama Budha. Ketika itu Nalanda di India riuh disebut sebagai pusat pendalaman pengetahuan Budhisme di dunia. Tapi, toh Bhiku I-Tsing tetap tertarik untuk belajar dan menterjemahkan kitab agama Budha dan memperdalam bahasa Sansekerta di Sriwijaya”
KERAJAAN Sriwijaya yang artinya “Cahaya Kemenangan” terkenal dengan kerajaan yang kuat dengan corak bahari, sehingga menguasai jalur perdagangan laut yang tangguh. Dan sampai sekarang pun masyarakat sekitarnya — Jambi, Lampung, Palembang — tetap gemar mengkonsumsi ikan, utamanya yang bersumber dari air tawar. Karena itu harga ikan air tawar jauh lebih mahal dari ikat yang dihasilkan dari laut. Bahkan pada hari raya pun, harga ikan cenderung lebih mahal dari harga daging sapi maupun daging kerbau. Akibatnya, memang ikan Belida yang over konsumsi hingga tahun 1980-an kini seakan punah, sangat sulit untuk diperoleh di kampung pedalaman yang paling pelosok sekalipun. Apalagi di pasar-pasar tradisional atau pelelangan ikan.
Kerajaan Sriwijaya yang sudah mulai bertumbuh sejak awal abad ke-7 hingga penghujung abad ke-11 Masehi, mempunyai wilayah kekuasan yang sangat luas, meliputi Sumatera, Bangka, Jawa, Melayu hingga Thailand. Bahkan mampu membangun hubungan internasional seperti dengan sejumlah kerajaan besar Cina dan Timur Tengah dalam kesetaraan, sejak awal didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Setidaknya dari prasasti Kedulan Bukit di Palembang bertarikh 682 Masehi, mampu mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-10 yang ditandai oleh armada laut yang sangat kuat dengan kemampuan mengendalikan jalur perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka yang kini didominasi oleh Singapura.
Dalam hal budaya dan keagamaan, Sriwijaya mempunyai komplek Candi Muara Takus dan Candi Muara Jambi yang indah dan spektakuler, karena terbuat dari batu bara merah yang indah konstruksi maupun tata seni arsitekturnya. Hanya saja sangat disayangkan tidak mendapat perhatian dari pemerintah pusat, apalagi dari pemerintah daerah untuk melihatnya sebagai kekayaan budaya suku bangsa Nusantara yang mempunyai nilai jual sebagai obyek ziarah spiritual kaliber dunia, karena tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia ini.
Kecuali itu — sebagai jejak sejarah ilmu dan pengetahuan — Sriwijaya jelas tercatat sebagai pusat keagamaan seperti yang ditandai oleh Bikhu I-Tsing dari Cina yang bolak-balik datang ke Sriwijaya untuk mempelajari agama Budha. Ketika itu Nalanda di India riuh disebut sebagai pusat pendalaman pengetahuan Budhisme di dunia. Tapi, toh Bhiku I-Tsing tetap tertarik untuk belajar dan menterjemahkan kitab agama Budha dan memperdalam bahasa Sansekerta di Sriwijaya. Jadi memang kedahsyatan Kerajaan Sriwijaya sungguh luar biasa. Dari nukilan sejarah yang masih perlu dilengkapi datanya, Sriwijaya bermula dari Minanga Tamwan, lalu pindah ke Jambi hingga akhirnya membangun pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Kesaksian Ibnu Hordadzbeh pada tahun 844-848 Masehi, saudagar Sulayman pada tahun 851 Masehi dan Ibn Al Fakih tahun 902 Masehi, begitu juga Ibn. Rosteh tahun 903 serta catatan Abu Zayd tahun 916 Masehi hingga catatan ahli geografi Mas’udi tahun 935 Masehi, menandakan pada masa itu Kerajaan Sriwijaya sudah berada pada puncak kejayaannya. Sejumlah prasasti bangsa asing yang menyebutkan tentang Kerajaan Sriwijaya mulai dari Nalanda, India, Ligor Thailand dan Prasasti Tanjore India.