Keroncong Perjuangan, antara Cinta dan Medan Pertempuran

10 November 2021, 04:28 WIB

Nusantarapedia.netKeroncong Perjuangan, antara Cinta dan Medan Pertempuran

Crong crong crong!

Itulah bunyi instrument “Machina dan Prunga,” dalam set orkes musik keroncong Jakarta-nan, di Solo, dinamakan “Cak dan Cuk.” Pada kebudayaan universal dinamakan “Ukulele,” instrument khas dari Hawaii. Menjadi bentuknya seperti saat ini, terinspirasi dari gitar kecil Portugis bernana “Cavaquinho.”

Puncak musik keroncong di Indonesia, terjadi pada masa pergerakan dan pasca kemerdekaan, telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Sejarah awal timbulnya musik diatonis secara umum maupun genre keroncong sebagai awal musik masa evolusi, pada rentang waktu 1522 – 1660.

Musik keroncong khususnya, semakin berkembang meski dalam bentuknya yang sederhana pada periode 1660 – 1880. Peletak dari dasar musik, dibawa oleh pelaut Portugis saat menguasai Nusantara, terutama pada kebudayaan Maluku (Ambon). Budaya Portugis sendiri lebih condong ke gaya Spanyol karena bagian dari koloninya.

Saat hegemoni Portugis tergeser oleh Belanda, banyak tawanan Portugis yang ikut dipindahkan dari markas dagang di Ambon ke Jayakarta (Batavia). Terjadilah percampuran komposisi gaya bermusik Spanyol dan Eropa, juga perkembangan musik gereja.

Para tawanan Portugis mendirikan perkampungan di Kampung Tugu, budaya bermusiknya turut berkembang ditempat barunya, selanjutnya menjadi dasar pembentukan musik keroncong yang berstruktur.

Pada pengaruh lain, instrument ukulele dan gaya dari kebudayaan Melanesia-Polinesia-Mikronesia atau kebudayaan Pasifik turut melebur. Indonesia punya kultural itu pada kawasan Papua-Maluku-Minahasa. Tak heran, gaya bermusik Indonesia Timur dengan gaya Jakartanan awal ada kemiripan, meski akhirnya lebih ke pembentukan genre pop, sedangkan Jakartanan lebih ke etnik.

Episentrum pembentukan musik keroncong berada di Batavia, sebelum akhirnya berkembang ke seluruh wilayah Nusantara, terutama mengikuti jalur kereta api yang dibuat oleh Hindia Belanda.

Belanda Bagian Leluhur Nusantara, namun Harga Mati Penghapusan Penjajahan

Kota Surabaya, Surakarta, Semarang, Bandung adalah tempat kedua tumbuhnya musik keroncong. Tahun 1880 – 1920 dinamakan masa keroncong tempo dulu. Tahun 1920 – 1960 sebagai keroncong abadi atau keroncong perjuangan. Pasca 1960 sampai sekarang sebagai keroncong modern dalam gairah musik industri.

Disinilah corak musik keroncong menjadi sangat etnikal. Budaya Betawi, Tionghoa, Arab, Eropa (kolonial) dan etnis Nusantara, berpadu dalam gaya bermusik yang beraneka ragam. Musik gambang kromong, tanjidor, gamelan, instrument eropa, serta cengkok nada-nada etnik, menghasilkan komposisi musik yang unik.

Lagu-lagu seperti; Keroncong Moritsko, Stb. Jampang, Sirih Kuning, Jali-Jali, Pasar Gambir, Kemayoran, menjadi komposisi musik yang kaya. Rasa nada orientalnya, format musik baratnya, lirik melayunya, instrument lokalnya, serta tariannya yang lokal terkadang mendansa, menjadi sangat kompleks.

Rasa sosiologis didalamnya yang merakyat, borjuis, kelas pekerja, pegawai, juga bar-barnya, sangat riuh penuh canda dan tawa, juga luka dan kesedihan, mengetengahkan bahwa Jakarta tempo dulu adalah panggung dunia. Multi etnis dan kulturnya telah menjadi satu, yang selanjutnya menjadi ciri khas gaya Jakartanan atau Betawinan sebagai pewarisan.

Pada masa pergerakan kemerdekaan hingga tahun 1960-an, lagu lagu keroncong berlirik nafas perjuangan. Keindahannya bercerita seputar hubungan cinta yang kekasih hatinya harus rela pergi untuk berjuang, bertempur di medan laga.

Lagu-lagu seperti; Langgam Pahlawan Merdeka, Juwita Malam, Hasrat Menyala, Stb. Jauh Di Mata, Dinda Bestari, Setangkai Bunga Mawar, Rangkaian Melati, Selendang Sutra, Melati Di Tapal Batas, Sapu Tangan Dari Bandung Selatan, Sepasang Mata Bola, Pemuda Pemudi, dan masih banyak lagi yang bertema perjuangan.

Gesang, juga turut andil didalamnya, sebagai pelaku sejarah, hidup pada jaman Belanda, Jepang dan Indonesia, mengerti betul akan penderitaan yang dialami akibat penjajahan, pun disatu sisi sebagai manusia yang berhak atas anugrah cinta harus terpisah dengan kekasihnya karena tugas negara, untuk bertempur melawan kolonial.

Langgam Jembatan Merah, Sapu Tangan, Caping Gunung, Dongengan, adalah dua sisi manusia, yang berhak atas cinta, namun harus kandas karena kematian kekasihnya, telah menjemputnya di medan laga untuk membela bangsa.

Itulah tema yang lazim diusung dalam lirik lagu keroncong perjuangan.

Cinta dan Bela Bangsa

Cinta dua anak manusia adalah anugrah, apa kan jadinya bila hidup tanpa cinta. Lautan emosi dari kasih sayang yang saling tarik menarik mempengaruhi. Tak terlukiskan seberapa besar akan pengorbanan diri yang telah dilakukan. Ibarat gunung kan didaki, lautan disebrangi, tak lain untuk mendapatkannya.

Daya upaya pada banyak bagian sebagai bentuk empati, kasih sayang, perasaan bersalah, kepatuhan, tolong menolong, dan apapun itu sebagai obyek tujuan keinginan. Itulah Cinta!

Bila Sujiwo Tedjo berkata: “Orang yang tidak bisa dinasehati, ketika sedang jatuh cinta.” Dalam banyak literatur, seperti pada sastra pertengahan maupun klasik dalam Serat Macapat, begitu banyak yang mengetengahkan urusan asmara.

Sepanjang umur dunia, cinta tiada habisnya, bahkan cinta itu buta, tak memandang harta dan kasta, hingga cinta bagai surga dan neraka.

Cinta menjadi tidak terbatas, mampu menembus batas dan dimensi apapun, seperti kecintaan manusia pada Tuhan dan Rasulnya, ataukah cinta dalam dimensi kemanusiaan, yang mampu menyelinap dalam aneka ruang.

Ken Arok dan Ken Dedes membuktikannya dalam kesatuan cara pandang. Harta, takhta dan wanita adalah tujuan (obsesi) bagi sebagian orang.

Namun, tidak selamanya cinta berada pada ruang keegoan, cinta mampu mengubah dan membalikkannya dengan cepat, sekalipun obyek tersebut tak dapat direngkuhnya. Adalah keikhlasan, bahwa kekecewaan dan kepedihan itu juga cinta, bahkan lebih dalam lagi kekuatannya.

Pertempuran Surabaya dalam Peristiwa 10 November, Mempengaruhi Opini Dunia

Cinta pada calon istri atau keluarga, harus rela dipisahkan sementara untuk tugas negara, seperti pengabdian anggota TNI yang rela bertugas di daerah konflik yang resikonya gugur.

Dengan demikian, kembali pada pendulangan nilai kepahlawanan, yang bersifat rela berkorban, segenap jiwa dan raga demi membela harga diri dan kehormatan bangsa. Jiwa yang patriotik dan nasioanalisme. Itulah Pahlawan! “Cinta Tanah Air.”

Aneka Petikan Lirik Lagu Keroncong Perjuangan

Stb. Jauh Dimata

Kekasih hatiku, pergilah engkau
pergilah pergi berjuang, …
daku menunggu selamanya
selagi hayat di kandung badan

Lgm. Dinda Bestari

Maafkan dindaku
beta lama tak bersua
karena sedang membela negara
yang terserang bahaya, …

Lgm. Setangkai Bunga Mawar

Penuh dengan riwayat yang sedih
menawan dalam hati
karena engkau tinggalkan pergi
tak lagi kembali, …

Setangkai bunga mawar yang merah
sepanjang hidupku
ternoda karena tetesan darah
musnahlah hatiku

Jembatan Merah

Mengenang susah hati patah
ingat jaman berpisah
kekasih pergi
sehingga kini belum kembali

Biar Jembatan Merah
andainya patah, akupun bersumpah
akan kunanti dia di sini
bertemu lagi

Sepasang Mata Bola

Sepasang mata bola
dari balik jendela
datang dari Jakarta
menuju medan perwira

Kagum ku melihatnya
sinar sang perwira rela
hati telah terpikat
Semoga kelak kita berjumpa pula

Kr. Hasrat Menyala

Kini hasratmu menyala
tinggi membakar jiwamu
kini dirimu dalam api perjuangan

Oh… di liputi kabut pancaroba
kini dirimu menjelang
gerbang bahagia

Melalui samudra ujian
untuk tumpah darahmu
kini dirimu kau peras
sekuat tenagamu

Sapu Tangan dari Bandung Selatan

Sapu tangan sutra putih 
dihiasi bunga warna 
sumbang kasih jaya sakti 
di selatan Bandung raya

Diiringi kata nan merdu mesra 
Terima kasih dik janganlah lupa

Alr mataku berlinang 
saputangannya kusimpan 
ujung jarinya kucium 
serta doa kuucapkan 

Selamat Jalan selamat berjuang
Bandung selatan jangan di lupakan

Indah bukan, ekspresi lirik diatas? Tidak bisa dibayangkan rasa kesedihan yang mendalam. Hanya keikhlasan yang mengiringi kekasihnya pergi untuk berjuang, bertempur di medan laga yang tiada pasti akan kembali atau gugur. Bila kembali itu harapannya, yang selalu dipanjatkan dalam doa-doanya, bila gugur memang sudah suratan, ikhlas dalam kebahagiaan sebagai taruna bangsa.

Gaya Pacaran Modern

Hal ini mengingatkan kembali pada masa lalu kita, menjalin hubungan asmara alias pacaran dengan gaya dan caranya oleh generasi tahun 60an, 80an, 2000an, dan saat ini sebagai kaum milenial tentu berbeda. Bila dahulu kita berkirim surat, itupun hanya tiga bulan sekali, kini 24 jam nonstop tiada henti berkat kemajuan tekhnologi.

Bukan hal cintanya yang perlu dirumuskan kembali, karena itu hakiki, namun penggunaan dan pemanfaatan tekhnologi yang perlu dikendalikan. Jangan sampai dengan tekhnologi merubah tata kelola dan tatanan hidup kita menjadi tidak manusiawi. Jauh dari etika ketimuran dan akhlak.

Macapat dalam Medium Garap Penyajian Karawitan

Modern dan kuno, cepat dan lambat, itu hanya cara pandang saja, seperti keteladanan para keluarga pejuang waktu itu yang rela menunggu dalam ketidakpastian.

Surga untuk keluarga yang ditinggalkan; Ibu, Mbak, Adik, Neng, atas gugurnya Ayah, Bapak, Akang, Mas, Kakak dalam membela bangsa, sekalipun harus putus cinta.

Terkait

Terkini