Ketidak Masuk Akalan Filosofis Orang Jawa

Nusantarapedia.net | OPINI, RELIGI — Ketidak Masuk Akalan Filosofis Orang Jawa
Oleh : Alvian Fachrurrozi
– filsafat wani ngalah adalah sesuatu yang sangat gila nan kontra-revolusioner jika disandingkan dengan spirit zaman yang selalu mendamba akan kemenangan –
“Sesungguhnya kalimat “wani ngalah luhur wekasane” itu lebih merupakan tonjokan satire terhadap ambisi dan keserakahan manusia yang tiada habis-habisnya. Bagi orang Jawa, ambisi dan keserakahan itu harus “direm” harus dibatasi, sehingga lahirlah koan Jawa seperti kalimat “wani ngalah” itu. Dalam terang filsafat Jawa, orang Jawa yang baik itu bukanlah orang yang tamak dengan ambisi tanpa batas, melainkan orang yang tahu diri bahwa ada saatnya kita sebagai manusia harus memiliki nyali keberanian untuk mengalah, untuk tidak populer, untuk sejenak menyepi dan menyingkir dari bisingnya kompetisi.”
TANAH Jawa, barangkali ini adalah tanah anomali yang sekiranya perlu diteliti zat kimiawi macam apa yang dikandungnya, sehingga di tanah ini bisa memunculkan manusia-manusia dengan ketidak masuk akalan demi ketidak masuk akalan di atasnya. Contoh ketidak masuk akalan yang sangat nyata itu adalah filsafat yang dikandung oleh orang Jawa itu sendiri.
Ada sebuah susunan kata paradoks yang sangat intim dalam masyarakat Jawa dan yang sekaligus mencerminkan filsafat kehidupannya, yaitu ungkapan “wani ngalah luhur wekasane” yang berarti “berani mengalah akan berakhir dengan keluhuran”. Ungkapan ini sesungguhnya sangat provokatif alias menantang pikiran waras kita, bagaimana tidak, kita ditantang bukan untuk berani menang atau berani melawan, melainkan kita ditantang untuk berani mengalah atau menyingkir. Sungguh sesuatu yang di abad modern yang begitu memuja kompetisi ini, tentu saja filsafat wani ngalah adalah sesuatu yang sangat gila nan kontra-revolusioner jika disandingkan dengan spirit zaman yang selalu mendamba akan kemenangan.
Lantas dengan demikian, apakah benar juga jika ada yang mengatakan bahwa filsafat Jawa itu menanamkan mentalitas fatalis yang “nrima ing pandum” alias menerima saja setiap nasib kekalahan dalam hidup? Dan apakah benar juga jika manusia Jawa itu memiliki mentalitas takut bersaing dengan dalih ujaran “wani ngalah luhur wekasane” itu? Menurut saya kok tidak, saya pikir leluhur Jawa yang menanamkan filsafat “wani ngalah” itu bukanlah orang-orang pandir dengan spirit fatalisme sebagaimana aliran Jabariyah yang pernah ada dalam dinamika sejarah Islam. Ajaran Jawa tentang “wani ngalah” itu perlu dipahami dalam suatu konteks ruang kontemplatif tertentu.
Sesungguhnya persandingan paradoks antara kata “wani” (berani) dan “ngalah” (mengalah) itu bisa dipahami dengan perspektif “koan” dalam tradisi Zen Buddhisme di Jepang, koan adalah serangkaian kata/kalimat tidak masuk akal yang biasa diberikan oleh seorang Master Zen kepada para murid meditasi Zen bukan untuk dipahami atau dipecahkan maknanya secara intelektual, melainkan untuk dikontemplasikan dengan kejernihan batin. Begitu juga dengan koan Jawa “wani ngalah”, itu sebenarnya juga bukan untuk dipahami secara intelektual, melainkan untuk dikontemplasikan dengan kejernihan batin atau “olah rasa”. Dengan perspektif olah rasa lah ungkapan “wani ngalah” atau yang secara lengkapnya “wani ngalah luhur wekasane” itu baru bisa dihayati dan tidak bertentangan dengan prinsip rasionalitas.
Jadi sesungguhnya kalimat “wani ngalah luhur wekasane” itu lebih merupakan tonjokan satire terhadap ambisi dan keserakahan manusia yang tiada habis-habisnya. Bagi orang Jawa, ambisi dan keserakahan itu harus “direm” harus dibatasi, sehingga lahirlah koan Jawa seperti kalimat “wani ngalah” itu. Dalam terang filsafat Jawa, orang Jawa yang baik itu bukanlah orang yang tamak dengan ambisi tanpa batas, melainkan orang yang tahu diri bahwa ada saatnya kita sebagai manusia harus memiliki nyali keberanian untuk mengalah, untuk tidak populer, untuk sejenak menyepi dan menyingkir dari bisingnya kompetisi. Dengan menganut filsafat “wani ngalah luhur wekasane” itu, mungkin kita oleh dunia di zaman edan ini akan dianggap lemah dan tolol, padahal sesungguhnya hanya manusia yang memiliki kapasitas “batin kuat” dan “batin cerdas” saja yang akan mampu menerapkan filsafat koan “wani ngalah” itu. Orang yang kapasitas batinnya masih lemah dan dungu hanya akan mampu memiliki nyali untuk “wani menang” (berani menang) saja, sekalipun dengan menghalalkan segala cara yang tidak etis dan sportif, mereka tidak terbiasa bertirakat untuk “wani ngalah”, karena ngalah itu tentu saja rasanya pahit dan tidak enak, berbeda dengan kemenangan yang sudah pasti nikmat dan manis.
Orang Jawa sejak dulu memang terbiasa bertirakat dan “menyesap kepahitan”, tentu saja bukan untuk menjadi pengidap masokis yang candu terhadap kesakitan, melainkan orang Jawa terbiasa menyesap kepahitan adalah untuk menggladi batin dan mental agar lebih kuat dan tahan banting terhadap segala cuaca hidup yang senantiasa mengalami perubahan alias “cakra manggilingan”.