Ki Jlitheng Suparman, Profil dan Antologi (2)
Nusantarapedia.net | JURNAL, CITRA PERSONA — Ki Jlitheng Suparman, Profil dan Antologi (2)
Ki Jlitheng Suparman, Si Kampret Ngomyang #kampretngomyang jargonnya, yang kini tinggal di Desa Siwal, Sukoharjo, Jawa Tengah, masih terus berkesenian dan berkebudayaan. Ia aktif manggung, baik dengan gelaran wayang kulit purwa klasik maupun wayang kontemporer seperti WKS, pentas di instansi-instansi, kampung ke kampung, maupun di kampus-kampus. Juga sebagai pembicara di forum-forum budaya dan ilmiah. Aktivitas di sanggar seninya terus dibuka sebagai ajang bertukar pikiran dan gagasan, juga sarana mengembangkan aneka seni budaya tradisi dan modern maupun kontemporer, khususnya pakeliran wayang kulit purwa. (bagian 1)
Berikut ini (antologi) lima artikel pendek Ki Jlitheng Suparman yang ditulis aktual dalam satu bulan terakhir, akan situasi kondisi sosial politik di Tanah Air yang carut marut.
Problem Moral-Etika Jawabannya Kebudayaan
Oleh : Jlitheng Suparman
SAYA sengaja meluangkan waktu melalui kanal YouTube menyimak dua peristiwa yang hari ini ditunggu-tunggu banyak orang, yakni pidato Megawati dan pertemuan tokoh bangsa yang diberi tajuk Majelis Permusyawaratan Rembang.
Saya berharap ada kejutan dari dua peristiwa tersebut dalam merespon kondisi perpolitikan Indonesia saat ini. Tapi harapan tersebut belum terpenuhi, respon yang mengemuka relatif datar dan “aman”. Kok pakai istilah ‘aman’? Ya silahkan ditafsir sendiri lah…
Namun dari pertemuan tokoh bangsa di Rembang, saya menemukan satu catatan menarik. Yakni pesan dari Gus Mus kepada majelis yang sowan, bahwa permasalahan kebobrokan moral dan etika di ranah politik jawabannya adalah “kebudayaan”.
Secara pribadi saya sangat sepakat dengan pesan atau pandangan Gus Mus tersebut. Menurut hemat saya pribadi, pandangan Gus Mus tersebut merupakan pandangan yang jernih, jujur dan obyektif dari seorang ulama. Pandangan yang berbeda dengan kebanyakan para ulama sejauh saya ketahui.
Kecenderungan ulama berpandangan bahwa permasalahan akhlak (mentalitas), moral dan etika jawabannya adalah agama. Pandangan mayoritas ulama tersebut tidak salah namun kurang tepat. Bahkan pandangan tersebut eksesif, sering dijadikan dalih membenturkan antara agama dan budaya (kecenderungan ulama memang berpandangan minor terhadap kebudayaan).
Mentalitas, moralitas dan etiket dibentuk oleh pergaulan sosial dan lingkungan. Habit, kebiasaan, budaya perilaku sebuah komunitas masyarakat dan kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap bangunan mentalitas, moralitas dan etiket seseorang. Maka beda komunitas masyarakat beserta kondisi lingkungan geografisnya akan berbeda rumusan nilai pranata sosialnya.
Agama memang punya andil, tetapi tidak berurusan langsung dengan pembentukan mental, moral dan etiket. Yang berurusan langsung adalah kebudayaan sebagai ruang pergaulan yang kompleks.
Dan sesungguhnyalah agama lebih berurusan dengan spiritualitas. Rumusan pranata yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Maka agama perangkatnya relatif terbatas dan tidak mampu menjangkau ruang pergaulan manusia yang sangat kompleks (peradaban).
Agama tidak mampu menyatukan perbedaan oleh karena sifatnya yang memang eksklusif dan dogmatik. Kebudayaan lah yang mampu menyatukan kodrat kemajemukan manusia.
Kampret sendiri sering berseloroh: “agama kuwi urusan neng kamar, budaya kuwi urusan neng latar”. Agama adalah kegiatan privat kita berinteraksi dengan Tuhan, sedang kebudayaan adalah kegiatan kita di ruang terbuka kehidupan berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan alam.
So. Agama dan kebudayaan punya ruang dan tugas masing-masing, jangan pernah dibentur-benturkan… yen ra kepengin babak bundhas dewe…
Maaf kalau Kampret salah! (js)
Solo, 13 November 2023