“Kicauan” yang Penuh Pembelajaran dan Makna
- Semua yang tertulis benar-benar moto (quote) yang jika diingat dapat dijadikan motivasi serta muhasabah untuk diri kita -
Nusantarapedia.net, Gerai | Resensi — “Kicauan” yang Penuh Pembelajaran dan Makna
Oleh Nadhira Shalihan
TINGGINYA cita-cita, menyempitkan waktu santaimu. Dalamnya ilmu, meluaskan jalan baktimu. Ketika ilmu yang dibincangkan lebih banyak daripada yang diasup seharian; hampa dan ngilu menyesak ke kerongkongan. Tabiat ilmu berlelah-lelah sebab ia jalan untuk naik ke ketinggian; pendakiannya terjal, udaranya menipis, sesak dan payah.
Walaupun telanjur dianggap berilmu, jangan malu mengatakan “Aku tak tahu!” dengan begitu Allah yang akan jadi gurumu. Jagalah ilmu dengan amal. Jagalah amal dengan ikhlas. Jagalah ikhlas dengan istikamah. Jagalah istikamah dengan ihsan. Kesalahan para muda; mengira kecerdasan penentu pengalaman. Kesalahan para tua; mengira pengalaman penentu kecerdasan.
Kata-kata yang sangat indah di atas adalah salah satu “kicauan” Salim A. Fillah. Masih banyak lagi “kicauan” yang penuh pembelajaran dan makna, semuanya tercantum dalam buku Menyimak Kicau Merajut Makna.
Setiap kata yang diberi oleh Ustaz Salim A. Fillah memberikan makna yang mendalam bagi kehidupan. Meskipun demikian, ternyata ini adalah buku pertama yang sumbernya dari ”kicauan” Twitter.
Semua yang tertulis benar-benar moto (quote) yang jika diingat dapat dijadikan motivasi serta muhasabah untuk diri kita. Ada salah satu kisah dalam buku ini yang membuat hati pembaca bergetar dan terharu saat membacanya, yakni bab Keindahan Hukum di Zaman Umar.
Diceritakan ada seorang musafir yang membunuh seorang bapak tua karena melihat bapak itu sedang menyembelih untanya. Lalu, musafir tersebut marah dan membunuh bapak tersebut. Bapak itu memiliki dua orang anak, yang kemudian mereka mengadukan hal tersebut kepada Umar agar menegakkan hukum, kisas.
Musafir tersebut sudah bersedia untuk dikisas. “Tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah kisas atasku. Aku rida kepada ketentuan Allah,” ucap musafir tersebut. Namun, dia ingin menyelesaikan urusan muamalah kaumnya yang diamanahkan pada musafir tersebut dan minta waktu tiga hari untuk menyelesaikan urusannya. Umar pun sudah menyetujuinya untuk memberikan waktu tiga hari agar kembali lagi untuk dikisas.
Dua pemuda itu meminta ada yang menjamin bahwa musafir tersebut akan kembali dalam waktu tiga hari. Namun, musafir tersebut memberitahukan bahwa dia tidak memiliki sanak saudara pun di tempat itu sehingga tidak mungkin ada yang bisa menjaminnya. “Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini. Hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman kepada-Nya,” ucap musafir.
“Harus ada yang menjaminnya,” ujar penggugat.
“Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mukminin!” sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak. Itu Salman Al-Farisi.
“Salman? Demi Allah, engkau belum mengenalnya! Jangan main-main dengan urusan ini, cabut kesediaanmu!” hardik Umar
“Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu ya Umar, aku percaya padanya sebagaimana engkau memercayainya,” ujar Salman.
Dengan berat hati, Umar menerima penjaminan yang dilakukan Salman baginya .
Tiga hari sudah berlalu, detik-detik menjelang eksekusi semakin dekat. Tetapi, pemuda musafir itu belum muncul juga, Umar gelisah mondar-mandir. Mentari di hari batas nyaris terbenam, Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ke tempat kisas. Tetapi, sosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok, terjerembab, lalu bangkit, dan nyaris merangkak. “Itu dia!” pekik Umar.
Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh dan napas putus-putus ambruk di pangkuan Umar. “Maafkan aku,” ujarnya “hampir terlambat. Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari”.
“Demi Allah, ” ujar Umar sambil menenangkan dan meminumi “bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini ? Mengapa susah payah kembali ?”
“Supaya jangan sampai ada yang mengatakan,” ujar terdakwa itu dalam senyum “di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”
“Lalu kau, hai Salman, ” ujar Umar berkaca-kaca “mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali ?”
“Agar jangan samapi dikatakan, ” jawab salman teguh “di kalangan Muslim tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara”
“Allahu akbar! “, pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya “Allah dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya”
“Kalian,” kata Umar makin haru, “apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi dikisas? Allahu Akbar! Mengapa?” tanya Umar.
“Agar jangan ada yang merasa,” sahut keduanya masih terisak “di antara kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang”.
Masih banyak cerita lainnya dalam buku ini. Setiap kalimat yang ditulis benar-benar indah dan bermakna. Dengan segala kelebihan yang ada, buku ini mampu menghadirkan diri sebagai gebrakan baru di tengah derasnya buku-buku yang lain. Dengan berbekal ilmu dan pengalaman pribadi, penulis menyajikan pemikirannya dengan gaya bahasa yang mudah dipahami.
Peresensi, mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) STAI Sabili Bandung
Andy Noya Gagal Menjadi Penjahat
Bagaimana Seni Tinggal di Bumi?
Pelajaran Mencari Cinta
Hantu, Tuhan, dan Tahun
Sajak Edi Warsidi
Penurunan Tanah di Jakarta dan Semarang