Kisah Perempuan Miskin Yang Jujur
Sebab saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Religi — Kisah Perempuan Miskin Yang Jujur
Nuspedian, seperti kita ketahui kemiskinan kadang membuat kita merasa di titik terendah dalam hidup ini. Apalagi saat ini, segala harga kebutuhan pokok yang melonjak naik. Banyak keluarga yang kondisi ekonominya morat-marit akibat pandemi kemarin. Dan sampai saat ini belum pulih juga.
Belum lagi kenaikan harga BBM, yang akhirnya segala kebutuhan ikut naik. Tak berhenti sampai di situ, wacana pengalihan golongan listrik 450 VA akan dihapuskan, diganti dengan golongan listrik 900 VA. Pun dengan wacana konversi kompor gas LPG 3 kg ke listrik induksi. Tentu, kita hanya pasrah dengan sebuah keniscayaan, bahwa apa yang dilakukan oleh pemangku kepentingan demi mengentaskan kemiskinan.
Mayoritas orang menganggap kemiskinan sebagai beban hidup. Sebagian lagi menganggap menjadi pengangguran adalah beban hidup. Saat kita tidak bisa menghasilkan rupiah setiap setiap harinya, maka kita akan susah dan menjadikannya beban. Padahal, yang harus kita ketahui, beban hidup kita yang sesungguhnya adalah dosa. Yang akan berkaitan dengan alam akhirat kelak, dan sering disebut dengan alam keabadian.
Bersabarlah jika saat ini sedang diuji dengan kemiskinan. Karena sesungguhnya itu hanya di dunia saja. Dalam kondisi yang bagaimanapun, jangan sampai menghalalkan segala cara demi mendapatkan yang belum tentu memberikan manfaat untuk kita. Hanya sekedar keinginan kita di dunia. Naudzubillah.
Berikut, ada sebuah kisah mengharukan yang semoga bisa menjadi cermin kebaikan untuk kita teladani. Simak kisahnya, yuk.
Suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hambali dikunjungi seorang perempuan yang ingin mengadu.
“Ya syaikh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saja, saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak dan menyambi sebagai buruh kasar disela waktu yang ada. Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila bulan sedang bersinar terang.”
Imam Ahmad menyimak dengan serius penuturan si ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan. Imam Ahmad adalah seorang Ulama besar yang kaya raya dan dermawan.
Sebenarnya, hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada perempuan itu, tetapi, ia urungkan dahulu karena menunggu perempuan itu melanjutkan pengaduannya.
“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu,” tegas perempuan, kemudian melanjutkan perkataannya.
“Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?
Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?
Sebab saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.” Perempuan itu kembali menjelaskan.
Mendengar pengaduannya, Imam Ahmad terpesona dengan kemulyaan jiwa perempuan itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang begitu bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.
Maka, dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”
“Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”
Perempuan itu mengaku dan menjawab dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan.
Imam Ahmad semakin terkejut. Basyar Al-Hafi adalah gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupa-rupanya, jabatan yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Terbukti, sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad berkata,
“Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan, dengan cara menggerogoti uang negara dan menipu, serta, membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada perempuan terhormat seperti engkau, ibu.”
“Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis surban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.”
“Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal, bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara sama sekali.”
Kemudian Imam Ahmad melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada perempuan semulia engkau.”
Nuspedian,begitulah kisah yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, dari Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam, Beliau bersabda:
“Tidak akan masuk ke dalam Surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
Shahih lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan.
Kisah ini ada dalam kitab Shahih At-targhib 2/150, no.1730.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah di atas, yang apabila dikondisikan dengan jaman sekarang, sepertinya berbanding terbalik, ya. Sebaiknya kita berhati-hati dengan apa yang kita makan sehari-hari. Biarpun sederhana, asalkan berasal dari harta yang halal insyaallah berkah. Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahua’lam bisshowab.
Adil
Merindu Suara Kehidupan
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia
Kisah Seorang Pengemis yang Datang di Rumah Rasulullah