Kita Pahami Ibu Mega!

Tak ada harapan seorang ibu-ibu dan bapak-bapak yang anaknya akan menjadi biang keladi kerusuhan negara, asalkan indeks pembangunan manusia itu tercukupi berdasarkan hak kodrati, terlebih atas paradoksal Indonesia yang "lautan saja kolam susu", "bumi emas tanah air", "gemah ripah loh jinawi-tata tentrem kerta raharja"

22 Februari 2023, 10:54 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Kemanusiaan — Kita Pahami Ibu Mega!

– pemakhluman itu terjadi, meski apa yang dikatakan ibu Mega adalah gambaran penyelenggaraan kehidupan saat ini, yang mana keadilan itu jomplang. Disparitas keadilan itu nyata ada antara oligarki ekonomi dan rakyat kecil. Dimana negara hadir? –

KETUA Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. (H.C) Hj. Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua Umum Partai PDI Perjuangan (PDIP), membuka secara resmi “Kick Off Meeting Pancasila dalam Tindakan” yang digelar di Gedung Tribrata, Jakarta, Kamis (16/02/2023).

Acara Kick Off Pancasila tersebut dengan tema “Pancasila Dalam Tindakan Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting”. Mantan Presiden Indonesia kelima tersebut dalam pidatonya berbicara tentang pentingnya tanggung jawab perempuan di dalam keluarga serta pengasuhan anak-anak dalam manajemen keluarga. Megawati juga menekankan perempuan harus memiliki kemandirian.

Di tengah-tengah pidatonya, Megawati yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini, berbicara mengenai hal-hal yang hemat penulis sangat tidak bijak dipandang dari kapasitas Mega selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP, Ketua Umum PDIP yang mana sebagai partai penguasa, juga sebagai negarawan.

Berikut petikan pidatonya yang dirasa kurang bijak, kurang menunjukkan kepekaan pada rakyat kecil (wong cilik), atas ketokohan Megawati sebagai cendekiawan Indonesia yang pantas dijadikan panutan.

“Sekarang kan, kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya dibully. Kenapa toh? Seneng banget ngikut pengajian ya. Iya loh, maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu. Iki pengajian iki sampai kapan to yo? Anake arep dikapakke? He, iya, dong! Boleh, bukan nggak berarti, boleh, boleh! Saya juga pernah pengajian kok? Maksud saya, nanti bu Risma saya suruh, nanti ibu bintang saya suruh … tolong bikin managemen! Managemen rumah tangga kekeluargaan itu! Saya ndak ngerti tadi, beliau, kan bilang, coba untuk periksa opo, …, lha, lha iya. Mbok ya, mbok ya, terus saya lihat nih, ibu-ibu loh, saya kan ngikut mode, karena apa, cucu saya 7, 5 perempuan, 7, eh 2 laki. Alhamdulillah mungkin, mungkin tapi masih, akhir tahun ini atau permulaan tahun depan, yang 5 jadi sarjana, ngono lho? Kan kalo denger gitu, koyo ngono Ya Allah, udah gitu tinggi-tinggi! Keren-keren! Jadi sekarang udah aku bilang, kalau ada yang naksir nggak usah klenger dulu, ya! Nah, dijejer-jejer aja, nah, lihatin dulu, supaya tanding. Jangan cari yang pendek ya, bener loh? Saya bilang dari sisi ilmu genetika itu ngerusak banget aku bilang, aduh nggak dah! Ha ha, ya, ketawa to, pokoknya saya ceplas-ceplos, lho iya dong, maunya 180, saya ngomongin dong ma cucu saya, keren, ganteng. Kalau yang ini kan 5 perempuan, cantik-cantik lagi, aduh, aku ya sayang noh kalau dipek wong elek, yo emoh, jadi nyarinya yang ganteng gitu, pinter gitu kan. Terus, ae… ngeliat anak sekarang, aku kan ngeliat ini, ibunya nih kemana ya, suka begitu, loh. Ayo sekarang tawur, ayo ibu-ibu ya kalau dari organisasi mana yang dari yang lain, tawur, loh kok, ada saya lihatnya, ni di TV lo, em … ada 20an pakaian seragam di razia polisi, apa, apa sih, kok saya nggak begitu ngerti, katanya main game, di game apa itu ya, tidak bisa sendiri, itu kalau itu saya kuper deh! Iya itu di razia, pakaian seragam, artinya itu kan sudah berani banget, kemana orang tuanya? Kemana ibunya? Dan lupa loh, katanya surga itu di bawah telapak kaki ibu. Jadi kalian ini sekarang ke mana? Ke mana? Anak udah, geng? Bawa apa itu? Ini semua saya lihat di TV lho, apa, senjata keras, ayo … Artinya pasti ibunya juga nggak tahu anaknya di mana, artinya antara ibu anak itu tidak bonding, saya sampai presiden, nah nanti dibilang sombong, tapi ini yang saya ngomongin sama ibu-ibu, saya masih masak lho buat keluarga saya. Betul, saya masih ngeladeni suami saya, padahal saya presiden lho, urusannya beda, itu di luar, tapi kalau dalam manajemen kekeluargaan, lha itu,” kata Megawati.

Disparitas Keadilan

Menurut Ralp Linton, membagi status dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu; Ascribed status, yaitu status yang diperoleh secara alami dan pembawaan dari lahir. Contohnya: anak dari keluarga bangsawan. Ascribed status biasa ditemukan dalam masyarakat feodal. Kemudian Achieved status, yaitu status yang diperolah dari perjuangan dan usaha-usaha panjang yang disengaja, contoh: seseorang menjadi dokter karena upayanya menempuh pendidikan kedokteran, seseorang menjadi saudagar kaya raya karena usahanya dari nol hingga besar. Dan, Assigned status, yaitu status yang didapat karena pemberian. Status yang diberikan orang lain karena jasa-jasanya atau prestasinya, contoh; mendapat beasiswa, mendapat julukan siswa teladan, mendapat julukan orang kaya baru, dsb.

Menyambung dari teori di atas. Nah, hidup dalam serba berkecukupan materi atas pewarisan harta orang tua dan pewarisan perusahaan misalnya, itu adalah kultural. Ini berlaku untuk generasi lanjutannya yang berpotensi kaya juga. Kaya naluriah (kultural) akan ilmu-ilmunya, juga kaya ekonomi dari warisan dan ilmu yang didapat untuk mendapatkan ekonomi atau status, hingga menjadi orang-orang kaya, terpandang, birokrat, bahkan kaum cendekiawan.

Lihatlah contoh, para pejabat negara, rerata adalah keturunan dari orang-orang kaya dari moyangnya, yang mana mempunyai langkah, akses hingga kesempatan untuk menjadi kaya.

Tak hanya soal ekonomi/kekayaan saja, maka orang yang moyangnya pejabat kelak keturunannya juga akan berpotensi menjadi pejabat, yang moyangnya kaya raya keturunannya juga akan kaya raya.

Menyambung dengan apa yang dikatakan ibu Mega. Tak diragukan lagi siapa Megawati! Tentu kesempatan untuk menjadi individu seperti di atas jelas mungkin.

Lain halnya, bila itu terjadi pada kaum miskin, yang mana moyangnya juga hanya kaum miskin:rendahan, misalnya, yang tidak punya akses dan kesempatan untuk hidup layak, terlebih dengan status sebagai orang bangsawan, kaya raya, terpandang. Namun, hanya sebatas orang yang hidup ala kadarnya. Boro-boro memikirkan hidup yang perfect, untuk makan, pendidikan dan kesehatan saja pontang-pantingnya bukan main.

Membaca apa yang dikatakan ibu Mega yang dianggap sebagai negarawan dan atas jabatannya yang melekat, maka pantaskah berbicara seperti itu.

Perlu diketahui, bahwa hidup wong cilik saat ini sudahlah sangat tunduk dan patuh dari apa yang diinstruksikan oleh para-para penyelenggara negara. Suruh iuran BPJS siap, suruh pajak PBB siap, suruh pajak kendaraan ok, suruh meramaikan transformasi digital ok, BBM dinaikkan siap, suruh mendaftar kartu tani yess, suruh mendaftar NPWP ok. Dalam pokok, rakyat kecil siap dan siap untuk negara ini. Meskipun kebutuhan untuk anaknya compang-camping alias dinomorsekiankan.

Ibu-ibu yang datang ke majlis pengajian adalah dalam rangka untuk mencari keseimbangan dunia pada bidang spiritual. Bisa juga bentuk kepasrahan akan beratnya tuntutan kehidupan yang akhirnya diserahkan pada jalur spiritual. Tidak ada ceritanya anak-anak terlantar karena ibunya ikut pengajian, bahkan (padahal) pengajian yang dimaksud diselenggarakan oleh organisasi keagamaan, bahkan organisasi keagamaan tersebut adalah bagian tegaknya penjaga kebijakan negara. Trus gimana ini, alurnya, sungguh membuat bingung!

Kasus kenakalan remaja seperti yang diungkapkan ibu Mega di atas, tentu banyak variabel-nya, bila salah satu hal yang menyebabkan adalah karena manajemen orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anaknya, lantas sebaliknya, apakah sudah diterima oleh anak-anak Indonesia hal-hal hak hidupnya secara kodrati.

Apakah anak-anak Indonesia sudah makan daging, ayam, telur, ikan, susu dsb, sesuai dengan standar dunia, hingga akhirnya potensi stunting itu zero. Dan, para ibu-ibu dan bapak-bapak yang dalam manajemen rumah tangganya sudah sangat berlaku hidup hemat, irit, efektif, efisien yang konsekuensinya harus banting tulang kesana-kemari agar anaknya dapat memakan makanan yang bergizi, hingga berpostur tinggi, dalam pokok demi keberlangsungan hidup.

Padahal, tuntutan hidup saat ini atas kebijakan-kebijakan yang selalu menawarkan hasrat kepada masyarakat kecil, menjerat pada supplai and demand terus terjadi. Orang tua memikirkan paket data untuk anak-anaknya, memikirkan pengadaan sepeda motor untuk bersekolah, karena minimnya angkutan umum, belum lagi memikirkan biaya pendidikan, seperti semenjak Perguruan Tinggi (PT) berbadan hukum yang konsekuensinya biaya pendidikan di PT negeri mahal.

Terlebih misalnya, emak-emak yang memikirkan agar dapur tetap mengepul, disaat beras dan minyak goreng mahal. Minyak curah yang dipatok maksimal dengan harga HET Rp14.000, idealnya Indonesia yang surga industri kelapa sawit, harusnya cukup Rp5.000 saja per-liter. Indonesia yang negeri beras, katanya padi petani tidak diserap maksimal demi impor, atau alasan produksi padi nasional tak cukup untuk menopang kebutuhan beras nasional.

Lantas manajemen rumah tangga yang seperti apa yang dimaksud. Apakah peta masalah ke-Indonesiaan ini bersumber dari rakyat kecil, yang sejatinya rakyat kecil adalah wayang. Apapun dilakukan demi untuk menyenangkan sebuah kebijakan, tetapi mengapa masih menjadi pihak yang terus dipersalahkan, dikambinghitamkan, dan akhirnya menjadi objek-objek pengentasan kemiskinan yang mereka muncul bak “pahlawan” dengan sederet program.

Tidak ada seorang ibu yang akan menelantarkan anaknya, sekalipun itu ada karena waktunya terampas untuk mencari duit (penghidupan) guna melangsungkan kehidupan. Asal tahu saja, duit Rp50-100 ribu, yang cari pontang-panting, terus dapat apa?

Tidak ada harapan seorang ibu anaknya putus sekolah, pastilah menjadi anak yang cerdas dan pintar hingga dibiayai sampai perguruan tinggi, namun apalah daya, biaya kuliah mahal.

Tak ada seorang ibu yang tega rupa anak-anaknya kurus, kotor dan katrok, bila ada duit untuk mengurus makannya, dan keperluan sehari-hari terselenggara dengan baik.

Tak ada harapan seorang bapak-bapak yang anaknya akan stunting, bila duit itu ada untuk membelikan makanan yang bergizi untuk istrinya saat anak masih dalam kandungan.

Alangkah senangnya ibu-ibu dan bapak-bapak bila cukup punya uang, anak-anaknya bisa makan dengan standar gizi dunia, bisa sekolah, bisa les musik, les olahraga, les pendidikan, piknik tiap akhir pekan, pakaiannya bagus, bersih, gemuk, sehat, ceria, dsb.

Tak ada harapan seorang ibu-ibu dan bapak-bapak yang anaknya akan menjadi biang keladi kerusuhan negara, asalkan indeks pembangunan manusia itu tercukupi berdasarkan hak kodrati, terlebih atas paradoksal Indonesia yang “lautan saja kolam susu”, “bumi emas tanah air”, “gemah ripah loh jinawi-tata tentrem kerta raharja”.

Terkait

Terkini